Alice menggigil kedinginan saat berjalan melewati lorong gelap hotel. Pria itu mengguyur tubuhnya dengan air yang dingin, tetapi Alice baru merasa kedinginan sekarang, karena pikirannya benar-benar kosong saat Andrew berbisik di telinganya dengan suara yang dalam dan parau. Saat itu, pergulatan hebat dalam dirinya membuatnya mati rasa, bahkan juga menjadi bodoh, karena tidak bisa berpikir sama sekali.
Alice tidak tahu harus melakukan apa pada saat itu, karena lagi lagi otaknya dan hatinya berbeda pendapat. Ia menyukai setiap sentuhan Andrew di tubuhnya dan ciuman pria itu, tetapi di sisi lain, otaknya menentang keras apa yang dilakukan Andrew pada tubuhnya. Pria itu memperlakukan tubuhnya seperti w************n lain, dan ia benci saat mengetahui dirinya terjebak dalam tatapan gelap Andrew yang menggoda. Mata gelap itu seakan menghipnotisnya untuk menikmati setiap inchi sentuhan pria itu. Tatapan yang dingin, kelam, namun memiliki hasrat yang begitu liar hingga mampu menarik Alice tenggelam begitu dalam.
Untungnya, Alice sadar di waktu yang tepat dan segera keluar dari ruangan terkutuk itu sebelum hal buruk terjadi. Namun, tetap saja, pikiran Alice kini kacau dan dipenuhi dengan wajah dan sentuhan pria itu. Otak kecil gadis itu mulai memutar kembali adegan saat berada di bilik shower itu. Bibirnya yang hangat menyentuh bibir Alice yang dingin. Sentuhan pria itu membuatnya lupa kalau ia sedang diperlakukan rendahan.
Andrew sialan! Pikiran mesumnya pun tidak kalah bajingannya.
Alice memukul kepalanya sendiri dan mengumpat pelan, "Oh sial! Dia benar-benar pria b******k!"
Alice mulai mengerti kenapa bayang-bayang pria itu terus menghantui pikirannya, karena Andrew adalah orang pertama yang mencium dan menyentuhnya. Alice belum pernah berciuman sebelumnya, apalagi bercinta.
Karena ia takut bercinta, tentu saja.
Sepupunya selalu menceritakan malam pertama mereka dengan pasangannya, dan mereka mengatakan kalau bercinta itu menyakitkan. Alice benci rasa sakit -yah semua membenci rasa sakit.
Ia tidak menyadari kalau dirinya sudah berada di lobi hotel dan kini ia ditatap oleh semua orang karena keadaannya yang basah. Alice menyadari hal itu dan menundukkan kepalanya, lalu berjalan cepat. Ia berjalan ke arah pintu besar yang terhubung langsung dengan kasino untuk mencari Matthew, teman yang tidak pernah ada saat dibutuhkan. Kasino sudah tidak lagi ramai seperti tadi saat ia sampai. Orang-orang sepertinya sudah pulang dan meratapi diri mereka yang kalah.
Bermain judi itu seperti memakan narkoba. Membuat ketagihan siapa pun yang terlibat di dalamnya. Selain itu, juga memberikan dampak buruk bagi si pengguna. Meskipun begitu, peminatnya masih banyak. Mata violet Alice menangkap seorang pria jakung dengan kacamata lebar tengah bermain 'besar kecil' di tengah ruangan. Permainan itu adalah permainan populer di Las Vegas. Semua kasino pasti memiliki salah satu di dalamnya.
Permainan judi itu menggunakan dadu yang dilempar, kemudian orang-orang akan mempertaruhkan uang mereka sesuai dengan angka dadu yang berhenti. Angka 1-5 tergolong kecil sedangkan angka 6-12 tergolong besar. Jika dadu berhenti diantara angka 1-5 maka orang yang mempertaruhkan uang mereka di golongan besar harus memberikan uang itu pada yang golongan kecil.
Alice menghampiri pria itu dan menepuk pundaknya untuk menyadarkan Matthew. Pria itu berbalik sekilas dan menatap Alice sambil mengangkat alisnya. "Apa yang terjadi denganmu?"
"Ayo kita pulang," ajak Alice sambil mengeratkan jas Andrew di tubuhnya. Ia menarik lengan Matthew, memaksa pria itu untuk pulang bersamanya.
"Tunggu sebentar, aku akan bermain ini untuk yang terakhir kali," tahan Matthew sambil kembali menatap dadu itu.
Oh bagus, sekarang sahabatku sendiri bahkan ketagihan bermain judi, gerutu Alice sambil memutar bola matanya.
"Arrgh! Yang benar saja!" teriak Matthew frustrasi, karena tidak berhasil memenangkan permainan judi itu. Sialan, uangnya hangus!
"Sudah selesai kan? Ayo pulang sekarang." Alice menarik lengan Matthew tidak sabaran, karena takut nantinya Andrew membawanya lagi ke hotel.
"Kau basah," gumam Matthew ketika ditarik oleh Alice. "Dan.. jas siapa yang kau pakai itu?"
"Aku hampir mengalami yang terburuk ketika kau meninggalkanku sendiri di kasino tadi," jawab Alice dingin, sembari memukul lengan Matthew dengan segenap jiwa raganya.
Matthew diam sejenak kemudian melebarkan matanya kaget. "Kau hampir diperko..."
"Ya, dan itu semua karena kau meninggalkanku," potong Alice kesal.
"Woooww, hebat! Aku bangga padamu, Alice," canda Matthew. Perkataan Alice sama sekali tidak ditanggapinya serius, sebab Matthew tahu Alice terlalu kuat untuk sekadar diperkosa.
Alice menendang tulang kering Matthew karena kesal sahabatnya itu bercanda di waktu yang tidak tepat. "Itu bukan hal yang patut di banggakan."
Mathew terkekeh pelan dan melepaskan cengkeraman tangan gadis itu di lengannya, kemudian merangkul mesra sahabatnya itu. "Aku hanya bercanda. Kau lucu kalau sedang marah. Hei, aku percaya kau tidak akan membiarkan orang lain menyentuhmu."
Alice mendengus pelan, bosan berdebat dengan otak aneh sahabatnya. Walaupun wajah Matthew memang innocent, tetapi mesumnya tidak kalah dari Andrew.
Andrew menyandarkan tubuhnya di pilar pintu keluar kasino sambil menatap kemesraan Alice dan pria nerd itu. Entah mengapa, hatinya terbakar dan tidak nyaman saat melihat pemandangan itu. Tatapan matanya menggelap dan tidak terbaca. Ia hanya mendecak kesal, lalu matanya beralih pada tas ransel biru navy yang ditinggalkan gadis itu di kamar mandi hotel.
Ia berniat untuk mengejar Alice dan mengembalikan tas ransel gadis itu, tetapi sepertinya ia mendapat ide yang lebih baik untuk mengembalikan tas itu.
Dengan cara licik tentunya.
***
Alice menyesap pelan coffe latte yang baru ia beli tadi di kafe depan kantornya. Ia membutuhkan kopi hari itu untuk menenangkan pikirannya dari bayang-bayang Andrew. Alice tidak bisa tidur semalam, karena memikirkan pria itu, bahkan kini yang ada dalam otaknya adalah Andrew. Ia menjadi tidak fokus untuk menulis berita pertamanya di pagi itu, padahal ia harus memberikan berita itu segera pada tim penerbit untuk dicetak, pagi ini.
Alice kembali memusatkan dirinya pada laptop hitam di depannya sambil mengusir semua hal-hal berbau Andrew dalam otaknya. Ia sudah berjanji tidak akan bertemu pria itu lagi atau pun mengadakan kontak fisik dengannya. Namun, penyelidikan kasino Andrew tetap berlangsung. Alice tidak ingin hanya karena menghindari pria itu, ia kehilangan berita berharga. Jadi, bagaimana pun juga, ia akan tetap menyelidiki kasino itu dan berusaha agar terhindar dari jangkauan pria m***m itu.
Alice menatap layar laptopnya kosong sambil sesekali mengerjap pelan. Ia terlalu sibuk memikirkan Andrew hingga merasa melupakan sesuatu, tetapi, ia tidak tahu apa itu. Alice merasa hampa pagi itu, karena ada sesuatu dari dirinya yang hilang. Bukan Andrew tentunya. Hatinya mulai tidak tenang sejak kemarin malam. Ini semua gara-gara sentuhan pria m***m itu di tubuhnya.
Alice mendesah kesal sambil mengumpat pelan. "Oh sial!"
Ia melirik Matthew sekilas dan mendapati pria itu juga sibuk dengan laptopnya. Matthew juga sedang mengetik berita paginya untuk dicetak. Alice iri melihat tangan Matthew lancar mengetik kata-kata untuk beritanya, sedangkan dirinya hanya bisa menatap layar laptop itu dengan tatapan kosong.
Aku akan dibunuh oleh Mr. Stuart pagi ini, rutuk Alice dalam hati saat melihat layar laptopnya hanya berisi tiga kata.
Alice menangkap bunyi nyaring dari ponsel Matthew. Ia mencondongkan kepalanya ke kiri sedikit untuk mendengar percakapan sahabatnya itu. Ia sering melakukan hal itu ketika sedang menganggur, tetapi bukan percakapan yang didengarnya, melainkan erangan kesal Matthew padanya.
"Oh, Alice, aku sedang tidak ingin bermain gila denganmu. Aku sibuk," erang Matthew kesal sambil menatap Alice.
"Aku? Bermain gila denganmu? Untuk apa?" Alice mengerutkan kening bingung dengan penjelasan Matthew. Ia tidak menganggu Matthew sejak tadi. Pria itu berhalusinasi sepertinya.
"Lalu untuk apa kau meneleponku kalau kau jelas jelas sedang berada di sebelahku sekarang. Apa namanya kalau bukan bermain gila?" Matthew melemparkan tatapan kesal pada Alice sambil memijit pelipisnya.
Alice menyadari kalau sesuatu yang hilang sejak tadi pagi adalah ponselnya. Pantas saja mejanya hening pagi itu. Tidak ada ponsel yang menjerit-jerit minta diangkat. Namun, sekarang muncul masalah yang lebih besar lagi.
Di mana ponselnya?
Alice memutar kembali ingatannya semalam dan baru menyadari kalau ia melupakan tas ranselnya di kamar mandi hotel. Gadis itu bergidik ngeri berharap semoga bukan Andrew yang menemukan tas itu. Semoga saja pihak hotel atau pun orang yang ingin menginap di situ yang menemukan benda itu.
"Angkat ponselmu," pinta Alice.
Kini giliran Matthew yang mengerutkan kening bingung. "Untuk apa? Aku tidak punya waktu untuk bermain gila. Aku sibuk."
"Bukan, Matthew. Aku melupakan tas ranselku saat berada di hotel kemarin. Hanya dengan ponselmu itu aku bisa menemukan kembali tas ransel dan isinya," jelas Alice kesal, karena Matthew selalu mengira dirinya tengah bermain gila.
Matthew mengangkat ponselnya dan menempelkan benda itu di telinga. "Halo, aku Matthew teman Alice."
Alice mendengar Matthew diam sejenak lalu menjawab lagi, "Oh, tentu."
Pria itu menyodorkan ponselnya ke arah Alice dan menatapnya penuh arti. Alice menempelkan benda itu di telinganya. "Kau yang menemukan tasku? Oh, terima kasih. Boleh aku ambil tasku sekarang?"
"Tentu, sayang. Ambil tasmu di sini. Di kasino milikku," jelas seorang pria yang membuat tenggorokan Alice tercekat mendengarnya. Entah kutukan apa yang dibawa Alice sejak lahir hingga harus berurusan dengan pria itu.
Andrew Watson.