Cindra terbangun dari tempat tidur-menatap layar ponselnya dengan terkejut. Astaga! Kenapa bisa kesiangan? Pukul tujuh lewat lima belas menit! Andra pasti sedang dalam perjalanan menjemputnya, dan sebentar lagi Leo juga akan mencarinya. Cindra bergegas bersiap.
Interkom berbunyi nyaring tepat saat Cindra keluar dari kamar mandi. "Lima menit lagi aku ke sana!" seru Cindra, memotong ucapan Leo di seberang.
Lima menit kemudian, sambil menenteng tas kuliah, Cindra sudah berada di halaman belakang tempat mereka biasa sarapan. Tapi... kenapa Leo tak ada? Sebuah pesan masuk di ponselnya. Ternyata Leo menunggunya di Taman. Cindra berlari ke sana dan mendapati Leo tengah sarapan bersama kedua orang tuanya.
Uuuh! Dasar pangeran kodok! gerutunya dalam hati. Kenapa tidak bilang kalau sedang sarapan dengan Mami dan Papi? Buat apa ia menemaninya lagi? Cindra menatap Leo tajam, tapi Leo malah melemparinya kerlingan usil.
Mendadak jantung Cindra berdegup kencang. Leo pasti sedang merencanakan sesuatu. Apalagi Mami dan Papi seperti sedang menunggunya.
"Cindra! Mari sarapan bareng kita!" Mami Renata menyambut Cindra dengan senyum hangat.
"Leo belum mulai sarapan dari tadi, nungguin kamu katanya," timpal Papi, tersenyum melirik Leo.
Dengan terpaksa Cindra duduk di samping Leo, satu-satunya kursi yang kosong.
"Kamu ada kuliah pagi?" tanya Mami Renata seraya menuangkan teh lemon hangat untuknya.
Cindra mengangguk. "Iya, Mi. Sebentar lagi mau berangkat," jawabnya
"Begini, Cindra..." Papi Marlon meletakkan cangkir tehnya dan menatapnya serius.
Jantung Cindra berdebar. Ia tahu, kalau Papi sudah mulai bicara dengan nada begitu, biasanya yang keluar adalah perintah.
"Kampus kamu kan, lumayan jauh..." Papi memulai. "Tapi Papi perhatikan kamu jarang diantar supir atau berangkat bareng Leo."
Cindra tersenyum. "Iya, Pi. Cindra naik ojek biar lebih cepat sampai." Jawab Cindra, lalu tertunduk.
"Papi mengerti kamu naik ojek biar cepat sampai, tapi setiap hari naik ojek itu bikin kamu kelelahan." Papi melanjutkan. Nadanya lembut.
"Belum lagi panas dan kotor kena debu," timpal Mami Renata, penuh perhatian.
"Dan akhirnya kamu jadi kurang perhatian sama Leo." Papi kembali menambahkan.
Hah? Cindra mengangkat wajahnya kembali, membulatkan mata, mencoba mencerna ucapan Papi. Apa hubungannya naik ojek dengan kurang perhatian? Ia lalu melirik Leo, yang pura-pura sibuk mengolesi roti dengan butter. Hatinya mendadak panas.
"Apalagi, kata Leo, kamu sampai ketiduran waktu bantu dia cari sepatu kemarin sore." Wajah Mami terlihat prihatin. Entah prihatin padanya atau pada Leo.
Cindra kembali melirik Leo yang pura-pura tak melihatnya. Bibirnya terkatup rapat, giginya gemeretak menahan geram. Ingin rasanya saat itu juga ia melempar sendok ke arah Leo.
"Jadi mulai hari ini, kamu harus mau diantar jemput supir ke kampus. Kalau takut terlambat, berangkat lebih awal. Dan kalau jadwal kuliah kamu sama dengan Leo, kalian bisa pergi dan pulang bersama." Suara Papi tegas dan final.
Wajah Cindra menegang. Ia tahu ini adalah perintah. Tak ada yang bisa membantah keputusan Papi. Tapi, ia tak bisa memulainya pagi ini. Andra sudah menjemputnya.
Cindra memandang Papi, tersenyum. "Iya, Pih," angguknya. "Hm, tapi... kalau pagi ini kebetulan Cindra sudah janji sama teman buat berangkat bareng. Jadi mungkin mulainya nanti sore aja?" pintanya hati-hati, harap-harap cemas.
"Siapa yang jemput kamu?" suara Leo memotong cepat, terdengar gusar.
"Laki-laki?" Mami Renata ikut menimpali.
Cindra memandang keduanya, canggung. "Hmm... iya, Mi. Teman sekelas. Rumahnya dekat sini, mungkin sekarang dia sudah nunggu di belakang."
"Benar hanya teman?" tanya Papi sambil mengernyit.
Cindra menelan ludah, mengangguk cepat.
"Ok. Kalau begitu, mulai sore saja dijemput. Kasihan temannya sudah menunggu," ujar Papi akhirnya.
Cindra tersenyum lega. Ia melirik Leo dari sudut matanya. Uuuh dasar Pangeran Kodok lebay! Geramnya. Ia yakin ini adalah rencananya. Dan ia juga yakin Leo melakukannya karena tahu kemarin sore Andra mengantarkannya pulang. Dasar sirik! Gerutu Cindra, kesal.
Selesai sarapan, Cindra berlari menuju pintu belakang-Andra sudah menunggunya di sana. "Maaf, sayang!" serunya terburu-buru.
"Enggak apa-apa. Santai aja," jawab Andra, penuh pengertian.
"Yuk, cepat pergi dari sini," bisik Cindra sambil melompat ke motor. Ia sempat melirik kamera pengawas di atas pagar. Ia tahu pasti Leo sedang mengawasinya.
Dan benar, Leo memang sedang menatap layar ponselnya di ruang makan, memperhatikan mereka dari kamera pengawas.
"Kenapa, Leo?" tanya Mami Renata, melihat wajah putranya yang tampak kesal.
"Enggak, Mi..." Leo tersenyum kaku. Tapi sesaat kemudian ia menatap kedua orang tuanya dengan ragu. "Mih, Pih... kapan Leo boleh bawa mobil lagi?"
Mami Renata terkejut mendengar ucapan Leo. "Leo..." ucapnya, menatap putra tercintanya dengan khawatir.
"Leo janji enggak akan ngebut atau nabrak lagi, Mih," ujar Leo cepat, memasang wajah memelas-jurus andalannya. "Leo kan, udah bukan anak kecil lagi, Mih. Leo malu ke mana-mana diantar supir."
Papi Marlon dan Mami Renata saling pandang. Papi lalu menghela napas. "Oke," jawabnya. "Tapi dengan syarat, kamu enggak boleh sendirian dulu selama sebulan. Harus ada yang menemani."
Mami mengangguk setuju. "Selama sebulan Pak Toto ikut kamu dulu," sambungnya. "Kalau nanti dia bilang kamu sudah bisa mengendalikan emosi, baru boleh bawa sendiri."
Leo langsung mengangguk cepat. Senyum puas mengembang di wajahnya.
---
Kelas terakhir baru saja usai. Andra menghampiri meja Cindra, duduk di sampingnya. "Kamu mau ngomong apa, sayang?" tanyanya.
Cindra mendesah berat. "Mulai hari ini aku enggak boleh naik ojek lagi, Dra. Harus diantar-jemput mobil sama supir setiap hari," ujarnya lesu.
"Oh! Enak dong!" sahut Andra santai.
"Kamu kok, malah seneng?" Cindra menatap Andra tak percaya. "Kamu tahu kan, itu artinya waktu kebersamaan kita akan makin sedikit? Kita enggak bisa pulang bareng lagi, dan kamu enggak bisa jemput aku lagi?"
"Cin..." Andra menatap Cindra dengan tenang. "Yang aku heran justru, kenapa kamu enggak mau nikmatin fasilitas itu. Mereka kan, udah anggap kamu keluarga sendiri?"
Kedua alis Cindra terangkat, terkejut dengan jawaban Andra. "Kamu enggak takut kita jadi jauh?"
"Loh, kita kan masih bisa ketemu akhir pekan. Masih bisa makan bareng, jalan bareng..." jawab Andra santai. "Waktu kita masih panjang. Kuliah kita kan, masih lama? Ya... itu juga kalau kamu enggak bosan sama aku..."
"Bosan?" Wajah Cindra mendadak berubah. "Jadi selama ini kamu pikir aku main-main?"
Andra terkejut melihat reaksi Cindra. "Bukan gitu maksudku..."
Tapi Cindra sudah keburu beranjak bangun. "Bilang aja kamu udah bosan sama aku!" ujarnya menahan tangis, lalu berlari pergi.
"Cindra..." Andra berusaha mengejar. Tapi gadis itu tak berhenti. Ia hanya bisa memandangi punggungnya menghilang. Sambil terduduk lesu Andra kembali membaca pesan di layar ponselnya: "Putusin dia secepatnya!"
Andra menghela nafas, berat.
Sementara itu, di dalam mobil yang menjemputnya, Cindra menghapus air mata yang menetes. Ia tahu, hanya tinggal menghitung hari sampai Andra benar-benar memutuskan hubungan mereka. Ternyata Andra sama saja dengan cowok lainnya, yang melihatnya bukan sebagai Cindra Estella-tapi sebagai Cindra Atmaja. Air matanya kembali jatuh. Memandangi langit sore yang kelabu. Ia tidak mau hidupnya kembali seperti dulu-menemani pangeran kodok di istananya seharian. Kalau Andra sampai memutuskan hubungan, siapa lagi yang akan menemaninya jalan-jalan keliling kota... ke taman... kulineran di pinggir jalan... nonton film di bioskop...
Cindra menghapus air matanya, menghembuskan napas panjang, sambil berharap besok semuanya akan baik-baik saja. Andra tidak akan memutuskannya.