"Kamu semangat sekali hari ini?" Mama memandangi Cindra yang sibuk di dapur, membuat telur mata sapi untuk teman nasi goreng buatan Mama.
Cindra hanya tersenyum. Ia tahu Mama pasti heran melihatnya bangun lebih pagi. Ia memang sangat bersemangat hari ini, karena nanti sore ia dan Andra akan berkencan; mereka sudah berbaikan tadi malam—sudah bicara dari hati ke hati. Lega rasanya, semuanya sudah baik-baik saja.
Selain itu, ia memang selalu menunggu Hari Sabtu. Keluarga Atmaja, termasuk Leo akan pergi menjelang makan siang dan baru pulang setelah gelap. Artinya, Cindra bisa menikmati masakan Mama di rumah seharian tanpa harus menyantap hidangan Istana Atmaja yang mewah namun membosankan.
"Sarapan sudah siap!"
Cindra meletakkan dua piring nasi goreng panas dengan telur mata sapi di atas meja makan mereka yang kecil.
"Kamu udah baikan sama Andra?" tanya Mama sambil menuang teh panas ke dalam dua buah mug.
Cindra mengangguk ceria. "Udah dari semalam, Ma. Kita sudah berbicara secara dewasa."
Mama tertawa. "Memangnya dari kemarin kamu belum merasa dewasa?"
Cindra tersenyum malu. "Cindra belajar dari Andra, Ma. Andra itu selalu bersikap tenang. Pikirannya jauh ke depan. Dia jauh lebih dewasa dari Cindra. Apalagi Leo," ujarnya bangga.
Mama tersenyum. "Kalau kamu memang serius berhubungan sama dia, ajak dia ke rumah," ucapnya lembut. "Biar Mama bisa mengobrol."
"Nanti sore saja kalau begitu. Kita kan, mau malam mingguan. Nanti Cindra minta Andra datang lebih awal. Biar Mama bisa mengobrol lama."
"Loh," Mama mengerutkan kening. Ia membuka buku agenda yang selalu berada di dekatnya. "Bukannya jam tujuh malam nanti kamu mau pergi sama Leo?"
Sesaat Cindra terdiam. Astaga! Ia menatap Mama dengan kening berkerut, rasa panik menusuk dadanya.
"Kamu ada janji dengan Leo jam tujuh nanti malam, ke pesta ulang tahun," Mama menunjukkan catatan di buku agendanya.
Tiba-tiba Cindra tersadar. Ditepuknya keningnya sendiri. "Ya, Tuhan! Kenapa bisa lupa?" Ia lalu berlari masuk ke dalam kamarnya.
"Gaun pesta kamu sudah Mama taruh di laundry room sejak kemarin untuk disetrika," ucap Mama, tahu persis apa yang dicari Cindra.
Cindra duduk kembali di hadapan Mama dengan lemas. "Cindra lupa, Ma!"
Mama menggeleng-gelengkan kepala. "Ternyata benar yang Leo bilang. Sekarang kamu kurang perhatian sama dia. Dan Mama percaya itu bukan karena kelelahan naik ojek, tapi karena sekarang pikiran kamu terbagi dua. Kamu lebih banyak memikirkan Andra daripada pekerjaanmu."
Cindra menundukkan kepalanya. "Baru kali ini kok, Ma, Cindra lupa," sahutnya pelan.
Mama menarik napas. "Kamu harus batalkan janjimu dengan Andra," ucapnya dengan nada perintah.
Cindra mengangguk tanpa berani membantah. Membatalkan kencan setelah berbaikan tadi malam? Pikirannya kacau. Cindra mengurut-urut keningnya yang mendadak pusing.
Setelah sarapan, dengan langkah berat Cindra menuju kamar Leo, membawa sepiring nasi goreng. Sebenarnya ia malas sekali mengantarkan nasi goreng itu, tapi Mama memaksanya. Selain karena Nasi goreng Mama adalah pavorit Leo, ia juga membawa misi penting dari Mama: memperbaiki hubungannya dengan Leo. Mama mengira Leo masih marah.
Cindra mengetuk pintu kamar Leo. Menunggu. Namun Leo tak membukanya.
"Leooo!"
Cindra kembali mengetuk. Namun pintu tetap tak terbuka. Pasti masih tidur! Tebak Cindra, sedikit lega. Ia akan mengetuk sekali lagi, berharap Leo tak membukanya. Namun, saat tangannya bergerak, tiba-tiba pintu terbuka.
"Aku disuruh Mama nganterin ini," ucapnya cepat, sebelum Leo sempat bertanya. Ia langsung masuk ke kamar, meletakkan nampan di atas meja kopi dan buru-buru berbalik. Ia harus segera keluar, sebelum Leo benar-benar tersadar dan menjebaknya.
"Kamu belum minta maaf sama aku!"
Benar saja. Cindra menghentikan langkah, memutar kembali tubuhnya, memandangi Leo yang masih mengantuk. Ya, Tuhan! Matanya bahkan masih setengah terbuka tapi otak jahilnya sudah mulai bekerja. "Maafin aku!" ucapnya, mengulurkan tangan.
Tapi Leo malah tersenyum menyeringai. Cindra menarik tangannya kembali. Ia sudah menduganya.
"Temani aku sarapan!" perintah Leo sambil berjalan ke kamar mandi.
Cindra menarik napas, perasaan tak enak merayapi hatinya. Ia yakin Leo sedang menyusun rencana untuk 'mengerjai'nya lagi.
Setelah membuka jendela lebar-lebar, Cindra membawa nasi goreng ke balkon kamar Leo yang luas. Di sana, terdapat meja kecil dengan sepasang kursi rotan yang nyaman. Balkon itu menghadap langsung ke halaman depan Istana Atmaja—sebuah hamparan rumput hijau yang terawat bak padang golf mini, dihiasi pepohonan rindang.
Istana Atmaja berdiri megah di tengah kompleks perumahan itu. Papi Marlon sengaja membeli satu cluster khusus untuk membangun rumahnya yang berlantai empat, bahkan namanya pun diubah menjadi Cluster Atmaja. Namun, orang-orang lebih suka menyebutnya Istana Atmaja, karena inilah satu-satunya bangunan paling mencolok—paling besar, dan paling mewah, menyerupai istana-istana di Eropa. Papi memang terinspirasi dari istana-istana yang ada di Eropa, di mana Papi menghabiskan seperempat usianya di sana.
Leo datang dengan wajah yang sudah terlihat segar—sisa basuhan air masih nampak di wajahnya yang bersih dan mulus. Cindra sering iri melihatnya. Bagaimana tidak mulus, kena udara di luar rumah saja jarang, batinnya.
"Nasi goreng Mama kamu memang the best!" puji Leo dengan mulut penuh.
"Telan dulu, nanti keselek!" sahut Cindra. Ia bergegas mengambil sebotol air minum, mengantisipasi kebiasaan Leo tersedak saat makan bersamanya—hal yang anehnya tak pernah terjadi saat makan bersama orang tuanya.
"Semalam Mami tanya, kamu perlu dipanggilin stylist gak buat acara nanti malam?" tanya Leo setelah meneguk minumannya.
"Memangnya harus?" Cindra balik bertanya.
"Terserah!" Leo mengangkat kedua bahunya, acuh tak acuh.
"Enggak usah. Aku dandan sendiri aja," sahut Cindra. Mami Renata memang seribet itu, tapi untuk saat ini Cindra tidak ingin merepotkan. Toh, Leo juga tidak pernah memujinya.
"Terus habis ini mau ngapain?" Cindra memandang piring nasi goreng Leo yang hampir kosong.
Leo berpikir sejenak, membuat jantung Cindra berdegup kencang. "Sebentar lagi temenin aku nge-gym di bawah," sahutnya.
Cindra mengangkat kedua alisnya. "Tumben?"
"Tuh, aku olah raga kamu bilang tumben. Enggak olah raga kamu bilang malas!" gerutu Leo.
Cindra tersenyum malu. Leo memang malas sekali berolahraga. "Ok. Aku akan ke sana satu jam lagi," sahutnya, lalu beranjak bangun.
"Loh! Mau ke mana?" Leo menatapnya sambil melotot.
"Memangnya aku harus ngapain, Leo? Bengong di sini nungguin kamu?" sahut Cindra, lelah.
"Cariin aku setelan baju buat nanti malam."
"Kan, tinggal pilih aja dari dalam lemari?" jawab Cindra bingung. Semua pakaian formal Leo sudah tergantung rapi di sana.
"Ya, siapin dong! Malas banget, sih!" tukas Leo sambil membuka ponsel dan memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan tawa.
Cindra menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal. Ya, Tuhan! Seharusnya ia memang sudah sadar, masuk ke kamar Leo itu sama saja dengan masuk ke dalam jaring laba-laba. Ia akan terperangkap dan sulit melepaskan diri.
Dan benar saja, setelah menyiapkan setelan pestanya, Leo memintanya lagi menyiapkan pakaian kuliah untuk satu minggu. Padahal Cindra tahu, Leo belum tentu akan memakainya. Tujuannya memang hanya untuk 'mengerjai' nya saja.
Kini ia hanya bisa berdoa agar Mami Renata dan Papi Marlon memaksa Leo untuk pergi bersama. Please, ya, Tuhan! Bebaskan aku setengah hari saja darinya, doa Cindra, putus asa.