“Katakan padaku kenapa kau memilih kota ini untuk tinggal,” kata Dylan sore itu ketika ia menemui Daniella di hotel tempat wanita itu menginap.
Sore ini, ia sengaja menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dan segera menemui Daniella di hotel yang telah wanita itu katakan dalam pesan teks. Hotel itu agak jauh dari kantornya, jadi, Dylan pergi dari kantor lebih cepat sebelum waktu pulang agar tidak terlambat. Ia tidak suka membuat orang menunggu. Terutama wanita.
“Sudah kubilang, ada rumah sakit yang menawariku bekerja di sini. Aku tidak membual.” Daniella meraih tasnya ketika berjalan menghampiri Dylan yang duduk di sofa.
“Sudah berkali-kali kau ditawari untuk bekerja di sini, dan sebelumnya, kau tidak pernah mau. Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran? Apa hanya gara-gara pria itu?”
“Apa kau mau mendengar ceritaku di jalan atau di sini saja?”
“Di sini saja,” jawab Dylan dengan santai. Ia tidak ingin konsentrasinya menyetir pecah karena mendengar cerita Daniella.
Wanita itu mendesah dan menjatuhkan tasnya ke lantai sebelum duduk di samping Dylan. Dylan membuka lengan dan meraih Daniella ke dalam pelukannya. Untuk orang yang tidak mengerti tentang hubungan mereka, pasti pose itu akan terlihat seperti sepasang kekasih.
Namun, itu adalah bentuk kedekatan mereka. Saat ini, Dylan sudah menganggap Daniella sebagai sosok penting di hidupnya. Dan sikap duduk ini adalah hal yang wajar bagi mereka. lagipula, sebelum ini, mereka adalah sepasang kekasih.
Dylan sudah tahu ukuran p******a Daniella, juga bagaimana wanita itu di ranjang. Mereka hampir tidak memiliki rahasia lagi. Hampir karena Dylan belum menceritakan semua hal yang terjadi dalam hidupnya pada Daniella.
Nanti. Entah cepat atau lambat, Daniella akan tahu. Terutama, jika memang wanita itu benar-benar akan tinggal di kota ini. Dylan pasti akan sering datang. Alasannya, karena ia begitu menyukai Sidney. Gadis cilik itu telah mencuri hatinya sejak mereka bertemu pertama kali sekitar satu tahun lalu.
“Aku memang ingin pindah,” ucap Daniella memulai ceritanya. “Aku ingin melupakannya. Kami bertemu lagi saat seminar di Marseille dan menjalin hubungan yang indah selama dua bulan. Jadi, kota itu hanya akan mengingatkanku padanya.”
“Apa kau akan pernah mengatakan namanya padaku? Atau kita hanya akan memakai kata ganti ketiga saja?”
Dylan bisa merasakan Daniella tersenyum di dadanya.
“Gab. Gabriel. Dia dokter kandungan di sebuah rumah sakit di Gorlitz.”
Dylan tahu kota itu. Kota kecil, tetapi indah yang berbatasan langsung dengan Polandia. Nathan juga sempat tinggal di sana ketika Nayla pindah ke kota itu bersama kakaknya.
Tunggu…pikiran Dylan berkelebat mengingat-ingat. Kakak Nayla, Andra adalah seorang dokter sekaligus pemilik rumah sakit di Gorlitz.
Dulu, mungkin hubungannya dengan Andra tidak begitu bagus karena ia yang pernah mengkhianati Nayla. Namun, setelah adik mereka menikah, hubungan itu menjadi jauh lebih baik. Di pesta pernikahan, beberapa teman Andra juga datang dan salah satunya bernama Gabriel.
Apa pria itu adalah mantan kekasih Daniella sekaligus ayah Sidney?
Dylan mencoba mengingat-ingat sosoknya. Pria itu tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki badan atletis. Rambutnya gelap dan memiliki senyum cemerlang. Kening Dylan berkerut, senyum itu memang mirip sekali dengan milik Sidney. Astaga, siapa nama belakang pria itu? Kenapa ia tidak bisa ingat?
“Apa dia bekerja di rumah sakit milik Andra Aditama?” tanya Dylan setelah ia menyerah karena tidak bisa mengingat nama belakang pria itu.
Daniella bangkit dari posisinya dan duduk dengan tegak menatap Dylan. “Bagaimana kau tahu? Aku tidak pernah mengatakan apapun padamu ketika aku mabuk kan?”
Dylan terkekeh. “Tampaknya aku pernah bertemu kekasihmu di pernikahan adikku. Andra Aditama adalah kakak dari adik iparku, Nayla.” Yang juga mantan pacarku.
Ia tidak ingin mengatakannya sekarang. Selama bersama Daniella, Dylan berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama Nayla. Baik saat sadar, maupun saat ia hampir tenggelam dalam gairah. Dan selama hubungan mereka, itu berhasil dengan baik.
Daniella mendesah dan kembali meringkuk di pelukan Dylan. “Dunia memang sesempit itu kan? Aku tidak menyangka dia bagian dari orang-orang yang kau kenal.”
“Aku hanya bertemu dengannya dua kali ketika pesta pernikahan di Indonesia dan di Jerman. Tetapi, aku ingat ia adalah pria yang tidak bisa mengalihkan matanya dari wanita cantik.”
Terdengar suara gumaman, tetapi Dylan tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Ia berasumsi jika Daniella juga tahu bagaimana sepak terjang mantan kekasihnya itu terhadap wanita.
“Jadi dia menolak Sid? Begitu saja?”
“Dia tidak menolaknya, tetapi juga tidak mengatakan apapun. Gab hanya mencengkeram foto Sidney yang tidak sengaja ia temukan di tasku kemudian pergi. Setelah itu, dia tidak muncul di seminar dan aku tidak bisa menghubunginya lagi.”
Brengsek! Maki Dylan dalam hatinya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat agar tidak memukul sesuatu. Itu bukanlah reaksi yang pantas untuk seorang pria yang baru saja tahu ia memiliki keturunan. Jika Gabriel marah, akan lebih baik ia mengatakannya langsung pada Daniella daripada hanya kabur seperti seorang pengecut.
“Seharusnya kau lebih berhati-hati ketika bertemu lagi dengannya. Seharusnya kau tahu jika hal ini bisa terjadi saat kau menjalin hubungan dengannya lagi. Kita tidak akan bisa menyimpan sebuah rahasia selamanya.”
“Aku tahu, seharusnya aku memang pergi saja darinya ketika ia menyapaku. b******k! Aku tidak pernah bisa menolak senyumnya sejak dulu.”
Dylan memeluk Daniella lebih erat tanpa mengatakan apapun. Ada banyak hal yang ingin ia katakan untuk menghibur Daniella, tetapi Dylan tahu jika itu tidak akan ada gunanya. Semua sudah terjadi, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengulanginya lagi.
Bukan salah Daniella jika wanita itu kembali tergoda. Melupakan orang yang kita cintai tidak semudah ketika kita jatuh cinta pada orang itu. Butuh waktu jauh lebih lama untuk melupakannya. Dan kadang, hal itu tidak berhasil. Seperti yang ia alami dengan Nayla.
“Kau sudah bilang pada orang tuamu jika akan pindah kemari?”
Daniella mengangguk. “Itu juga menjadi alasan lainnya kenapa aku ingin mengajak Sid pergi. Dad mengalami kecelakaan dan hingga saat ini masih duduk di kursi roda. Ia masih harus menjalani banyak terapi sebelum mulai sehat lagi. Aku tidak ingin Mom terlalu lelah menjaganya dan juga Sid.”
“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Kita sering berkirim pesan.”
“Aku tidak ingin merepotkanmu dan jauh-jauh terbang ke Marseille hanya untuk menengok kami.”
“Marseille sangat dekat dari sini, Daniella! Sialan! Kau membuatku seperti orang yang tidak tahu diri. Aku mengenal ayahmu, demi Tuhan!”
Dari semua hubungan yang Dylan jalani, hubungannya dengan Daniella adalah yang paling mendekati serius. Wanita itu sudah mengajaknya bertemu keluarganya dan mengenalkan Dylan pada mereka. Jacques Leroy adalah pria yang ramah dan menyenangkan.
“Dad akan baik-baik saja,” kata Daniella sambil menepuk d**a Dylan. “Kakakku sendiri yang merawatnya secara intensif. Dia tinggal lagi di rumah untuk memantau kondisi Dad.”
Dylan belum pernah bertemu dengan kakak Daniella itu, tetapi ia juga tahu jika pria itu juga adalah seorang dokter. Bahkan, kakak beradik Leroy yang berjumlah lima orang itu hampir semuanya berprofesi sebagai dokter. Hanya adik bungsu Daniella yang memilih profesi lain.
“Ibumu setuju kau pindah? Maksudku, Sid sudah tinggal di sana sejak masih bayi. Lagipula, sekarang dia sudah besar dan tidak akan membutuhkan banyak pengawasan dari ibumu.”
“Putriku sangat bersemangat sekali. Ia ingin tinggal di kota pusat mode dunia.”
Dylan tertawa. “Dari mana ia mengetahui itu?”
“Istri Landry tentu saja. Sejak mereka di rumah, putriku menjadi sangat centil. Awalnya Sid juga menolak pindah, tetapi ketika Sylvia bilang jika Paris adalah pusat mode, Sid langsung berubah haluan dan ingin segera pindah.”
“Kenapa kalian tidak tinggal bersamaku saja? Apartemenku besar.”
Sebenarnya, Dylan sudah memikirkan itu ketika Daniella bilang akan mencari apartemen. Wanita itu tidak memiliki siapa-siapa di kota ini. Akan jauh lebih menenangkan jika Dylan bisa melihat mereka setiap hari. Ia juga memiliki pengurus rumah yang bisa menjaga Sidney saat mereka bekerja.
Daniella melepas pelukannya dan menggeleng. “Aku sudah menduga kau akan menawarkan hal seperti itu, dan aku harus menolaknya.”
“Kenapa? Aku tinggal di Penthouse dan memiliki banyak kamar kosong. Kau bisa memilih kamar mana saja yang ingin kau tempati bersama Sidney.”
“Kita bukan sepasang kekasih. Juga bukan suami istri. Terlebih, aku tidak mau mengganggu waktumu ketika kau mengajak para kekasihmu pulang.”
Bibir Dylan cemberut. “Aku tidak pernah membawa mereka ke rumahku.”
“Aku tetap tidak mau,” tolak Daniella dengan keras kepala. “Aku tidak ingin merepotkan.”
Dylan ingin mengumpat dan memaki, tetapi ia menahan diri. Ia juga sudah menduga jika Daniella akan menolak tawarannya, tetapi, seseorang boleh berharap kan?
“Kalau begitu, aku akan mencari apartemen di lantai bawah unitku tinggal. Jadi, aku tetap bisa memantau kalian.”
“Astaga, Dylan! Aku sudah dewasa dan berhak menentukan di mana aku akan tinggal. Kau tidak boleh mengaturku seperti itu.”
“Aku sahabatmu.”
“Aku tahu.” Daniella bangkit dan merapikan roknya. “Karena itu, berlakulah seperti seorang sahabat dan bukannya kekasih yang protektif. Jika kau terus begitu, aku bisa saja berpikir kau sedang merayuku untuk kembali bersamamu.”
Dylan tersenyum dan ikut bangkit dari duduknya. “Seandainya itu bisa, aku pasti akan merayumu lagi.”
Akan tetapi, mereka berdua tahu jika itu tidak mungkin terjadi. Meskipun mencoba untuk menjauh dan memulai hidup barunya di kota ini, Dylan tahu jika separuh hati Daniella masih tertinggal di Marseille. Di setiap sudut yang ia habiskan bersama mantan kekasihnya.
Hubungan mereka akan selalu seperti ini. Dekat, tetapi hanya sebatas sahabat. Tidak akan ada yang pernah berubah karena Dylan tahu mereka berdua adalah orang yang sama-sama tidak bisa pergi dari masa lalu mereka. Tidak peduli sejauh apa mereka pergi dari masa lalu itu.
“Apartemen seperti apa yang kau cari?” tanya Dylan ketika mereka mulai berkendara dan melintasi jalanan yang ramai.
“Yang dekat dengan rumah sakit sudah jelas. Aku tidak mau khawatir jika anakku jauh dariku ketika aku bekerja.”
Dylan menghela napas keras. “Sudah kubilang…”
“Stop, Dylan! Jangan mulai lagi. Lagipula, rumah sakitku dekat dengan kantormu, kau tetap bisa memantau kami jika itu yang kau inginkan.”
Oke, itu jauh lebih baik. Lagipula, ia juga jauh lebih sering menghabiskan waktu di kantor daripada di apartemennya. Dan jauh lebih baik lagi, itu masih satu distrik dengan kafe tempat Sofia berada.
“Rupanya kau serius ingin memakan muffin Sofia setiap hari.”
Daniella tertawa. “Tentu saja! Aku bisa sering ke sana dan mengganggu si pirang cantik itu.”
Ingatan Dylan langsung melayang pada bibir merah merona dan harum tubuh Jade. Sialan! Kenapa Daniella harus menyebut namanya sekarang?
“Kau terpengaruh kan?”
“Tidak,” jawab Dylan dengan cepat.
Namun, seakan berlawanan dengan apa yang dikatakannya, matanya justru menangkap sosok Jade yang sedang berjalan santai di trotoar dengan menggenggam sekantong belanjaan. Sial! Bahkan, dari jauh dan dari belakang seperti ini, Dylan bisa mengenalinya dengan baik.
Seperti biasa, rambut pirangnya diikat dengan sembarangan dan berantakan di puncak kepalanya. Lehernya yang jenjang itu membuat Dylan menelan ludah dengan susah payah saat ia menyetir semakin dekat dengan gadis itu.
Jade berpakaian santai seperti biasanya dengan celana pendek, sandal, dan kaus longgar berwarna hitam. Akan tetapi, itu membuatnya tampak berbeda dari semua orang yang lalu lalang di trotoar. Itu membuat Jade…istimewa.
“Nah, berhenti sekarang!” seru Daniella tiba-tiba.
Dylan menoleh pada wanita itu dari Jade dengan enggan. “Kenapa?”
“Itu gadismu. Aku ingin berkenalan dengannya.”
“Tidak, dia bukan gadisku.”
Mobil mereka kini semakin dekat dengan gadis itu. Namun, Dylan tidak ingin berhenti. Ia tidak ingin Daniella berkenalan dengan Jade sekarang. Jadi, Dylan kembali memacu mobilnya menjauh dari Jade.
“Kau menyebalkan,” kata Daniella sambil cemberut. “Lihat saja, aku akan menjadi teman baiknya nanti.”
Bibir Dylan tertarik membentuk senyuman. Ia tidak bisa membayangkan wanita feminim seperti Daniella berteman dengan gadis metal itu. Mereka berdua terlalu berbeda.
“Kau tidak akan cocok dengannya.” Mata Dylan melirik spion dengan bodoh. Tentu saja Jade sudah tidak terlihat lagi.
“Mau bertaruh denganku?”
Dylan menoleh dan menatap kebulatan tekad Daniella. “Danny, ini bukan pertaruhan. Dia bukan siapa-siapa.”
Namun, bahkan ketika ia mengatakan itu, Dylan tahu jika itu salah. Jade jelas bukan orang asing dan tidak berarti. Maksudnya, karena gadis itu adalah cucu Sofia yang sudah ia anggap seperti nenek sendiri. Bukan karena gadis itu berarti baginya.
Daniella mencibir. “Kau takut. Aku bisa melihatnya di matamu.”
Dylan mendesah. “Terserah kau saja. Yang jelas, gadis itu tidak memiliki arti apa-apa bagiku.”
“Katakan itu beberapa minggu lagi dan aku akan tertawa sangat keras nantinya.”
Tidak. Daniella salah. Sampai kapanpun, Jade tidak akan pernah menjadi orang itu. Dylan tahu itu.