Lucifer

1482 Words
Good reading . . . Aku mematut sekali lagi penampilanku di cermin. Rok, cek. Kemeja, cek. Blazer, cek. Make up, cek. Rambut, oke sepertinya lebih bagus diikat ekor kuda saja. Oke, penampilanku sudah wooh keren, kan? Aku segera keluar kamar lalu keluar rumah juga karena sudah nggak menemukan Widya di dapur maupun ruang santai. Di balkon depan rumah pun, gadis itu juga tak kelihatan batang hidungnya. Aku langsung menuruni undakan dengan cepat, dan benar saja, gadis yang kucari sedang di halaman toko. Berkutat dengan kendaraannya. "Kempes lagi?" tanyaku. "Hm. Ngambekan banget si biru." Widya mulai memompa ban belakang sepedanya itu. Padahal dia sudah berpakaian rapi dengan jaket koki kebanggaannya itu. "Ganti aja kali." Dia menggeleng. "Satu-satunya hadiah dari Rai nggak bisa tergantikan." Aku berdecih. Ini anak masih saja suka sama brondong yang bekerja jadi manajer baru di kafe tempatnya bekerja itu. Padahal dari sikap pria itu, aku tahu kalau perhatian-perhatiannya hanya bersifat relasi saja. Maksudnya, yah karena mereka rekan kerja. Hanya itu. "Aku boleh kasih saran nggak?" Widya bergumam menanggapi pertanyaanku. "Jangan naruh harapan terlalu tinggi. Iya kalau jatuhnya di kasur empuk. Nah, kalau di aspal pas matahari lagi terik-teriknya? Ugh, sakit, Mbak!" Widya melotot tersinggung. "Mending aku punya gebetan yang bisa dimimpiin tiap malam. Lah kamu? Masih dianggap suka cowok aja udah syukur." Bibirku tercebik. Gadis ini memang jagonya bikin hati perih. Padahal, dia nggak tahu saja gebetanku pas dulu se-wooh keren apa. Suara mesin motor di depan gerbang, mengalihkan perhatian kami. "Udah ah, terserah kalau masih mau pakai sepeda butut bekas brondong itu." Aku langsung melarikan diri ke gerbang sebelum gadis bar-bar jadi mengamuk. "Aku mau berangkat dulu. Bye!" "Mbak Ariana?" tanya sang pengendara motor begitu aku mendekat. "Iya, Mas." Aku memakai helm yang disodorkan mas-mas ini, lalu segera duduk di boncengannya. "Ke Gajah Mada Grup ya, Mas." "Baik, Mbak." Saat motor mulai melaju, aku sempat mendengar Widya yang meneriakkan doa semoga bosku setampan Kendra. Sedeng! Setelah beberapa lama di perjalanan, akhirnya ojol yang kutumpangi berhenti di depan gedung Gajah Mada. Setelah turun dan membayar, aku masuk bersama beberapa karyawan yang juga baru datang. Karena kemarin diberitahu agar menemui bagian HRD, maka aku langsung menuju ruangan itu. Di sana, ternyata sudah ada Mira yang akan mengantarkanku ke ruangan calon bos. Mira cukup ramah untuk ukuran orang yang baru kenal. Sepanjang perjalanan ke lantai 3 tempat di mana ruang kerjaku nanti berada, dia terus mengajakku mengobrol. Kenyataan bahwa dia dulu juga lulusan universitas yang sama denganku, membuat kami terlarut dalam obrolan seputar kampus. Aku lega. Setidaknya tidak mengalami awwkard moment seperti yang kutakutkan sebelumnya. Apalagi sekarang ini aku sedang dilanda gugup luar biasa karena akan bertemu bos. "Ini nantinya jadi meja kamu." Mira menunjuk satu meja kosong ketika kami memasuki ruangan yang dituju. Ruangan ini cukup luas, diisi dengan empat meja yang tiga di antaranya dipisahkan papan kubikel. Di pojok kanan ruangan ada mesin fotocopy dan printer. Sedangkan meja yang ditunjuk Mira tadi terletak terpisah, di dekat sebuah pintu cokelat. "Ini ruangan bos, Mbak?" bisikku, menunjuk pintu itu. Mira mengangguk, menggandeng lenganku. "Kita ketemu bos kamu, yuk." Aku mengangguk, mengucapkan doa dalam hati agar bosku bukan tipe-tipe bos jahat seperti yang k****a di novel-novel. Mira mengetuk pintu itu dengan pelan, hingga terdengar suara berat seorang pria dari dalam. Aku mengernyit, mengerjapkan mata, lalu menggeleng pelan. "Permisi Pak." Mira membuka suara setelah kami masuk dan berdiri di tengah ruangan, sementara aku menundukkan kepala. "Saya datang bersama asisten baru Bapak." Tidak ada suara sahutan. Aku mengangkat kepala dengan gerakan super pelan, dan orang yang sedang duduk di kursi itu membuatku hampir terlonjak. Mulutku ternganga saking kagetnya. Mataku membulat, masih menatap pria yang juga tengah menatapku dengan sorot tajam yang kuyakini juga terselip keterkejutan di sana. "Ada apa, Pak?" Mira bertanya bingung, menatapku dan pria itu bergantian. Aku langsung memasang wajah datar. Mau jawab apa kalau Mira sampai curiga? Kulirik pria itu, yang kini dengan cepat meraih sebuah map dan segera membacanya. Setelah membaca entah tulisan apa di sana, dia mengurut pelipis kemudian menatap ke arah kami yang bahkan masih setia berdiri. "Fresh graduate?" tanyanya datar sedatar ekspresinya. "Iya, Pak. Kebetulan Ariana ini adalah kandidat yang nilai tertulis dan wawancaranya tertinggi. Sesuai permintaan Bapak." "Pengalaman?" "Ariana pernah jadi asisten sementara waktu magang dulu, Pak." Pria itu mengangguk. "Baiklah, terima kasih, Mira. Kamu boleh keluar." Mira mengangguk. "Sama-sama, Pak. Permisi." Mira sempat menepuk pelan pundakku, yang kubalas dengan senyum tipis. Aku menghela napas pelaaaan sekali. Di kepalaku, terbayang olok-olokan Om Iqbal dan Gio dengan ekspresi puas mereka, saat aku pulang nanti. Ya Allah, ini serius aku kerja dengan orang di depanku ini? "Ehm!" Aku mengerjap. Sadar bahwa pria itu kini sudah memusatkan perhatian ke arahku, yang bahkan tidak dipersilakan duduk. "Melamun?" Aku langsung menunduk. "Maaf, O-eh ... Pak." "Ini job desc kamu, dan jadwal saya beberapa hari ke depan." Pria yang itu menggeser tumpukan kertas ke tepi meja, menjadi lebih dekat dengan posisi berdiriku. "Dan pelajari data di bendelan ini. Satu jam lagi kamu ikut saya meeting." Aku segera mengambilnya. "Baik, O-Pak." Hell! Kenapa sih lidahku keseleo terus? "Kamu boleh keluar sekarang." "Baik. Permisi, Pak." "Ya." Aku menghela napas lagi, menelan segala rasa tak mengenakkan yang bercokol di hati dan kepala demi kelancaran pekerjaan idaman ini. Sebelum keluar, kusempatkan melirik tulisan yang terdapat di meja itu. Kendra Pradipta General manager Sebenarnya aku penasaran akan satu hal. Yang di dalam itu, Om Aa yang selama ini kukenal, atau hanya orang lain yang kebetulan punya nama dan muka yang mirip bak duplikat? Kok aku nggak kenal ekspresi dan nada bicaranya, ya? *** "Hei!" Aku menoleh ke arah meja yang terisi dua orang wanita dan satu pria. Salah seorang wanita yang baru berseru itu, masih melambaikan tangan ke arahku. "Duduk sini aja!" Tersenyum formal, aku mengangguk dan membawa nampan makan siangku ke meja itu. Kantin kantor memang sangat ramai, dan itu membuat pegawai baru sepertiku jadi kikuk sendiri karena nggak dapat meja. Makanya tawaran ini sangat berarti buatku. "Permisi." Wanita yang tadi berseru itu terkikik, "Santai aja." "Duduk-duduk." Si pria menambahkan. Aku langsung duduk dan menyengir. "Makasih." "Kenalin, aku Lisa." Wanita yang baru terkikik tadi mengulurkan tangan. "Aku Widi." "Aku Dafa." Aku membalas uluran tangan mereka dan menyebutkan nama lengkap dengan sopan. "Abis pulang meeting sama Pak Ken, ya?" tanya Dafa yang membuatku mengerutkan kening. "Kamu asisten barunya Pak Ken, kan?" "Kok tahu?" Lisa tertawa. "Kita sama-sama cungpretnya Pak Ken, kali. Bedanya, mungkin kamu yang bakal deket terus sama doi." "Kamu lihat ada 3 meja di dekat meja kamu, kan?" Dafa bertanya. Aku mengangguk. "Itu meja kita bertiga." "Kita juga baru meeting di luar," tambah Widi yang sepertinya paling pendiam di antara mereka bertiga. "Oh, gitu. Pantes tadi sepi banget di sana." Aku menyengir. "Sambil dimakan dong, Ariana." Dafa mendekatkan nampanku. "Jadi asisten Pak Ken tuh harus banyak makan." "Panggil Ana aja. Aku jarang dipanggil lengkap gitu," kataku sambil mulai menyuapkan nasi ke mulut. "Modus!" cibir Lisa pada Dafa. "Sirik aja!" Dafa memeletkan lidah. "Oh ya, Na. Angel atau Lucifer?" "Hah?" "Pak Ken lagi mode Angel atau Lucifer?" "Maksudnya?" Serius deh, aku nggak ngerti Dafa nanya apa. "Gini ya, Na." Lisa mulai menjelaskan. "Karena kamu sekarang asisten Pak Ken, kita bakal kasih tahu satu hal penting tentang Pak Ken biar kamu nggak kaget." "Apa itu?" tanyaku penasaran. "Pak Ken itu bunglon. Dia kadang bisa baiiiik banget ngalahin malaikat, tapi kadang juga bisa jahat dan kejaaaam banget kayak Lucifer." "Kok bisa?" balasku kaget. "Dia tuh moody. Kalau lagi baik, semua bawahannya bakal kecipratan kebaikan doi. Tapi kalau lagi kesel sama salah satu pegawai, beuh ... semua orang disemprot nggak peduli salah atau benar." "Serius?" Mereka bertiga mengangguk. Aku masih nggak percaya Kendra seperti itu karena selama kenal dengannya, dia nggak pernah begitu. Meskipun nggak banyak senyum dan humoris seperti Om Galang dan Om Iqbal, tapi dia itu ramah dan bisa mengontrol emosi. Termasuk padaku. Makanya tadi aku sangat kaget waktu melihat sikapnya yang benar-benar datar saat perkenalan. Bahkan sampai sekarang, dia belum menyinggung atau minimal bertanya kenapa aku bisa sampai kerja di sini. Sebagai asistennya. "Jadi Angel atau Lucifer, Na?" Suara Dafa membuyarkan lamunanku. "Ng ... Lucifer?" kataku agak ragu. "Soalnya tadi aku lihat Om ... maksudnya Pak Ken marah-marah gitu sama salah satu orang marketing, sebelum kita berangkat meeting ke Thamrin. Aku juga sempat ditegur karena typo pas ngetik diskusi Pak Ken sama Pak Ardi." Dafa ber-wooh. "Ditegurnya gimana?" "Apa pelajaran komputermu sebegitu rendahnya sampai mengetikpun kamu bisa banyak typo begini?" Aku menirukan kalimat Kendra dengan hati dongkol. Ini pertama kalinya dia bicara sepedas itu padaku. Rasanya seperti ada yang retak di dalam sini. "Woah, kasihan Dek Ana." Dafa menepuk-nepuk pundakku. "Mau Uda Dafa hibur, nggak?" "Modus!" Kali ini Widi yang berseru sambil melempar kotak tisu ke muka Dafa. Aku tertawa sambil menggigiti sedotan. Sebenarnya masih syok juga dengan kejutan hari ini. Bagaimana bisa aku jadi asisten Kendra? Padahal selama ini aku selalu menghindar untuk sekantor dengan orang-orang yang kukenal agar tidak dibilang nepotisme. Hell hell hell! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD