Insiden

2028 Words
Good reading . . . "Makanya kalau dibilangin orang tua itu, nurut." Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan Om Iqbal begitu aku selesai bercerita. Juga setelah puas tertawa mengolokku bersama anak laki-lakinya itu. Tadi setelah Kendra mengijinkanku pulang-yang mana itu lewat dua jam dari jam pulang-, Gio menelepon dan memberitahu kalau dia akan menjemputku. Katanya, Tante Dewi dan Om Iqbal sudah menungguku di toko. Tentu saja untuk mendengarkan ceritaku tentang 'hari pertama masuk kerja'. Seperti dulu-dulu ketika aku juga harus menceritakan pengalaman hari pertama SMA dan kuliah. Mereka memang punya sebuah ritual tak tertulis di mana setiap salah satu anak menjalani :hari pertama', maka pengalaman itu harus diceritakan sedetail-detailnya. Peraturan itu juga berlaku bagiku, kendati aku hanya merupakan anak asuh. "Sok-sokan nggak mau dibantu, ujung-ujungnya nemplok ke Om Aa juga, kan?" Aku melayangkan tatapan tajam pada Gio yang barusan menimpali komentar ayahnya sambil santai mengemil permen yupi milik Nara. Gadis cilik itu langsung memukul lengan kakak tidak tahu dirinya. "Ana mana tahu kalau GM tuh kantornya Om Aa. Lagian Om Iqbal nggak ngasih tahu juga waktu itu." "Ya kamu nggak nanya," balas Om Iqbal dengan santainya, sambil bersandar di pundak istrinya. Masih saja bertingkah kayak pengantin muda. Dasar! "Kamu juga kemarin nggak bilang kan kalau tanda tangan kontrak di sana?" sahut Tante Dewi sambil terkekeh. Aku cemberut. "Lupa." "Ya udah sih. Malahan Om sama Tante jadi tenang, kamu kerjanya di tempat yang tepat. Padahal harusnya lebih tepat lagi kalau di tempat Om." "Kan nggak mau nepotisme," balasku. Sejak bulan pertamaku jadi pengangguran, aku memang sudah ditawari bekerja tanpa susah payah mengikuti tes atau semacamnya. Bukan saja di tempat Om Iqbal, tapi juga di tempat Om Galang. Dan bahkan Om Galang katanya berhasil memaksa Kendra memberikanku posisi karena di kantornya sedang banyak lowongan. Tapi aku menolak keras-keras dengan alasan ingin berusaha sendiri. "Nah, sekarang kan walaupun tetap di Om Aa, kamu dapetin itu dengan jujur dan kerja keras kayak yang lain." Tante Dewi mencubit pipiku. "Jadi nggak usah manyun lagi." "Iya sih," gumamku. "Om Aa juga profesional kan?" Aku mengangguk. "Banget." Gimana nggak profesional? Orang Kendra saja sudah tak terhitung menegurku saat mengulang kesalahan. Bahkan, dia menyuruhku ini itu hingga lembur layaknya perlakuan bos dan bawahan pada umumnya. Bukannya mengeluh, tapi ayolah ... hari ini bahkan hari pertamaku bekerja. Apa tidak ada pengecualian? Nggak wooh keren emang! "Oh ya Kak," Gio tiba-tiba bangkit dari lantai dan duduk mendempet dengan satu lengan melingkari pundakku. "Muka Om Aa emang bonyok?" Aku mengerutkan kening. "Kata siapa?" "Rafa." "Nggak bonyok, sih." Aku mengedikkan bahu. "Cuma patah hidungnya. Tadi aku lihat diplester gitu." "Oh ya? Kok bisa?" Om Iqbal menatapku ingin tahu. Aku menggeleng samar. "Nggak tahu." Padahal tentu saja aku tahu alasannya. Apa lagi kalau bukan kejadian di mall malam itu? Aku jelas ingat, wanita itu memukuli Kendra bukan dengan pukulan lemah ala perempuan merajuk, tapi pukulan orang yang sudah terlatih bela diri macam Widya si gadis bar-bar yang sekarang sedang lembur itu. "Pasti karena cewek tuh." Gio kembali berasumsi. "Nggak mungkin, ah. Om kalian bukan orang yang kayak gitu," bantah Tante Dewi. Aku mengangguk setuju sambil menyikut pinggang Gio. "Emang kamu? Playboy cap panda!" "Larutan penyegar, oy!" Gio mengacak rambutku, yang tentu saja kubalas dengan mencubit pinggangnya. "Ng, sebenernya ya ...," Aku menggantung kalimatku, memancing atensi mereka kecuali Nara yang asyik bermain game. "Ana punya alasan lain kenapa agak nggak rela kalau Om Aa yang jadi bosku." "Kenapa?" Gio makin mengeratkan rangkulannya. Aku membasahi bibir, memasang wajah sepolos mungkin. "Ana mau kayak di novel-novel itu loh yang ceritanya asisten dapat jodoh bosnya sendiri. Pasti seru tuh. Kalau sama Om Aa, kan nggak mungkin. Gimana ya? Kalau Ana punya cowok bos, pasti hidup Ana terjamin dan-" "NGGAK BOLEH!" "JANGAN COBA-COBA YA!" "ABANG, AYAH! JANGAN TERIAK-TERIAK! KASIHAN KAKAK ANA!" Langsung pada ngegas, guys. Wooh keren! Tante Dewi menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup kedua telinga. Wanita cantik dan lembut itu melotot padaku, mengisyaratkan kalau candaanku sudah keterlaluan. Aku hanya menyengir, mengacungkan jari telunjuk dan tengah. *** "Sesajen apa hari ini, Na?" Dafa bertanya waktu aku datang membawa baki berisi secangkir kopi dan kudapan untuk bos. "Lapis Surabaya, nih." Dafa bangkit dan mendekat, diikuti Lisa hanya untuk melihat kudapan yang kubawa. "Kelihatannya enak banget." Lisa mengelus-elus perutnya. "Duh, cacing-cacingku pada minta hak juga nih. Boleh comot satu aja nggak?" "Rakus!" Widi mencibir, dengan pandangan fokus ke layar komputernya. Aku terkikik. "Aku bawa juga kok buat kalian. Tuh, di Tupperware meja aku." Dafa dan Lisa menyerbu mejaku. Aku segera mengetuk pintu Kendra, dan langsung masuk begitu dipersilakan. "Saya bawa lapis Surabaya buat cemilan Bapak." Kutaruh kudapan di atas meja kecil yang terletak di depan sofa, sedangkan cangkir kuletakkan di mejanya. "Dan ini kopinya." Aku masih berdiri di depan mejanya. Hari ini si bos memakai kemeja merah marun yang terlihat pas di tubuhnya. Dia sedang fokus memeriksa beberapa berkas, dengan satu tangan mengusap dagu. Rambutnya yang hitam lurus itu selalu kelihatan rapi. Mengenalnya selama lebih dari delapan tahun ini, aku nggak pernah bisa menyangkal kalau penampilannya sangat keren. Apalagi kalau sedang dalam mode serius begini, kegantengannya jadi nambah berkali-kali lipat. Sayangnya, sampai tiga hari ini aku jadi asistennya, dia masih saja dalam mode Lucifer. "Apa saja schedule saya hari ini?" Aku segera membuka buku agenda kecil yang selalu kubawa kemana-mana dan membacakan jadwal Kendra hari ini. Ada dua meeting yang akan dilakukan secara berurutan hari ini, di luar kantor. Artinya aku harus tahan adu diam dengan Kendra selama di mobil. "Bahan meeting nanti sudah siap?" Nggak seperti sebelumnya, kali ini Kendra bertanya sambil mengangkat kepala dan menatap mataku. "Sudah, Pak. Tinggal dicopy ke flashdisk saja." "Bagus. Segera lakukan." Dia masih berkata dengan datar tanpa senyum sedikit pun. "Baik, Pak. Saya permisi keluar." Aku sedikit membungkuk, lalu memutar badan dan berjalan ke arah pintu. "Ariana." Tapi Kendra memanggil begitu tanganku menyentuh kenop. "Ya, Pak?" Aku balik badan. Dalam hati berdoa semoga nggak melakukan kesalahan lagi. "Baki bukan salah satu alat bekerja saya." Kendra menunjuk benda di atas mejanya dengan dagu. Aku menepuk jidat, membungkuk minta maaf dan langsung mengambil benda yang lupa kubawa keluar itu. Bersandar di daun pintu yang kututup dari luar, aku mengembuskan napas kasar. Kalimatnya barusan terdengar pedas, kan? Ck! Aku nggak suka Kendra mode Lucifer! *** "Terima kasih atas kesepakatan ini, Pak Kendra." Pak Harun menjabat tangan Kendra sambil tersenyum sumringah. "Sama-sama, Pak Harun." Kendra mengangguk, tersenyum tipis. Setelah sedikit basa-basi yang ditanggapi cukup pasif oleh Kendra, akhirnya Pak Harun bersama asistennya pamit lebih dulu. Aku menutup laptop, kemudian meneguk milkshake yang sejam ini kuabaikan karena sibuk mencatat diskusi mereka. Jari-jariku rasanya keriting saking cepatnya mengetik. "Habiskan minumanmu dan kita segera kembali ke kantor." Perintahnya itu membuatku bergegas menandaskan minuman dan segera memanggil pelayan untuk membayar bill. Dengan kartu kredit si bos, tentu saja. Setelahnya, kami langsung masuk ke mobil Kendra yang selalu dikendarainya sendiri itu. Sejujurnya sih, aku mau mengeluh kalau perutku lapar karena sama sekali belum terisi sejak jam makan siang, tepatnya dua jam lalu. Tapi dari gelagat Kendra yang masih setia dengan mode Lucifernya, aku nggak yakin dia nggak akan marah. Di jalan, seperti yang sudah terjadi tiga hari sebelumnya, keheningan menyelimuti mobil dengan aroma lemon ini. Kendra terlalu fokus mengemudi dan mengamati jalan, sedangkan aku cukup takut untuk membuka suara. Sebelum jadi asistennya, aku memang lebih dari belasan kali berada semobil dengan Kendra. Dia memang salah satu pengendara taat dimana nggak pernah melebihi aturan kecepatan, nggak pernah menerima telepon saat mengemudi-tanpa ada yang membantu memegang gawainya-, apalagi menyalip kendaraan lain. Itu berlaku saat dia menjadi bos Lucifer seperti sekarang, maupun saat jadi Om Aa yang ramah padaku meski nggak akrab-akrab amat. Makanya, sekarang aku terlalu segan untuk mengajaknya mengobrol dan hanya bisa sedikit curi-curi pandang ke arahnya. Iyalah, aku nggak munafik kok kalau mataku suka agak genit lirik-lirik tiap lihat cowok ganteng di radius kurang dari satu meter. Tapi tenang, cuma lirik-lirik saja, nggak sampai flirting gitu LOL. "Angkat teleponnya, Ariana." Suara Kendra membuatku tersentak. Ternyata si maroon di dalam tas, berdering. "Halo?" "Halo, Ana. Ini Gea." "Ya, Mbak. Ada apa?" Heran juga kenapa resepsionis GM sampai meneponku. Pasti ada yang penting. "Kamu lagi sama Pak Ken, kan? Ini di sini ada tamu yang lagi nyari Pak Ken. Dikasih tahu kalau beliau lagi pergi, tetep aja ngotot mau nunggu. Gimana ini?" Aku melirik pada Ken yang masih setia menatap ke arah jalan. "Cewek atau cowok?" "Cewek, Na. Cantik. Kayak pramugari." Keningku berkerut. "Saya tanya Pak Ken dulu." "Kenapa?" tanya Ken begitu namanya kusebut. Aku menjelaskan apa yang diberitahukan Gea. Tapi dari ekspresi Kendra, sepertinya dia kebingungan. "Bilang suruh tunggu saja." Aku mengangguk, menempelkan gawai ke telinga kembali. "Suruh tunggu, Mbak. Kita juga bentar lagi sampai." "Oke, Na." Beberapa menit kemudian, mobil Kendra sampai di basement GM. Aku mengikuti langkah si bos yang panjang-panjang dan membuatku agak kewalahan karena kakiku yang nggak sebanding dengan kakinya yang panjang. Saat sampai di lobi, tiba-tiba seseorang menghampiri kami dan melayangkan tamparan keras ke pipi Kendra. Aku spontan memekik. "Dasar berengsek!" Wanita itu berteriak keras, mengundang perhatian orang-orang di sekitar. "Kamu di sini baik-baik saja, sedangkan adik saya hampir menghilangkan nyawanya sendiri karena rusak hidupnya? Bagaimana bisa ada lelaki sepertimu di dunia ini?! Sampah!" Mulutku menganga, bersamaan dengan kesadaran bahwa wanita ini adalah orang malam itu memaki-maki Kendra di parkiran mall. "Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah bertemu apalagi mengenal adikmu. Jaga bicara Anda, Nona!" desis Kendra penuh kegeraman. "You're a jerk!" Wanita ini kembali mendorong keras d**a Kendra, meskipun kali ini pria itu sepertinya nggak mengalah seperti sebelumnya. "Kamu berjanji mau tanggung jawab! Adik saya bilang, kamu akan menanggung semua yang sudah kamu lakukan padanya hingga menghasilkan nyawa tidak berdosa di perutnya. Dan kamu sekarang bahkan pura-pura tidak mau mengenal? Iblis kamu!" Suara kesiap tertahan datang dari berbagai arah, seiring dengan banyaknya orang yang berkerumun. Tapi aku masih mematung, terlalu kaget dengan ucapan wanita itu tentang Kendra, tapi juga merasa aneh dengan sikap frustasi pria itu yang kelihatan bercampur kebingungan. "Dengar," Kendra menunjuk wanita itu dengan telunjuk terangkat. "Saya tegaskan sekali lagi, pikirkan kembali kata-kata Anda dan pastikan bahwa orang yang Anda maksud benar-benar saya. Karena saya tidak akan tinggal diam walaupun pada akhirnya Anda mengakui kalau Anda yang salah-" "Jangan coba-coba mengintimidasi saya, Ken! Insting saya tidak pernah salah selama ini." Mata wanita itu melotot dengan wajah memerah penuh amarah. "Atau ... Anda yang takut? Anda takut kalau semua orang di kantor ini tahu kalau rekan kerjanya sebejat ini? Pecundang!" "Shut your f*****g mouth up!" geram Kendra tajam. Dia lalu menoleh padaku dengan wajah frustasi. Aku terlalu syok. Sesuatu dalam kepalaku sedang berperang dan dilema antara percaya dan menyangkal kenyataan tentang Om Aa yang begitu diidolakan Gio dan Rafa selama ini. "Ann, kamu jangan salah paham dulu," bisik Kendra. Aku menelan ludah, gugup. Kedua telapak tanganku terasa basah oleh keringat dingin. Setelah apa yang dikatakan wanita ini, bisakah aku tidak salah paham? "Oh, jadi kamu?!" Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku didorong dengan keras hingga terhuyung dan mungkin akan jatuh kalau tidak ditahan Kendra. Wanita tadi menatapku bengis. "Kamu kan penyebab Ken berengsek ini mencampakkan adik saya? Kamu!" Aku didorong lagi, dan kali ini nggak akan terima begitu saja. "Tolong ya, Mbak. Jangan nuduh-nuduh!" "Bitchy!" teriak wanita itu sambil melangkah maju dan tanpa aba-aba langsung menyerang rambutku. Aku memekik, menahan sakit luar biasa di kulit kepala karena jambakan kuat ini. "Apa-apaan ini?!" Satu tangan lain menjauhkan tangan itu dariku. "Lepaskan tangan Anda!" "Stop! Berhenti!" teriakku, berusaha menahan serangan tangan beringas itu. "Dasar pelakor! Perempuan nggak tahu diri!" "Lepas!" Aku kini memukuli lengannya. "Kamu nyakitin saya!" "Ini tidak sebanding dengan sakit adik saya. Kalau perlu kamu harus mati!" "Om Aa!" pekikku marah, nggak peduli kalau sejak tadi Kendra juga sudah berusahs melepaskan tangan wanita itu dari rambutku. Aku merasa pusing. Kulit kepalaku terasa perih. Pelipisku juga. Tarikan di rambutku makin kuat. Sementara sebuah lengan melingkari perutku, dan aku merasa ditarik ke belakang. Mataku yang sedari tadi terpejam, perlahan terbuka. Napasku memburu. Wanita tadi ternyata sudah agak berjarak dariku, ditahan oleh dua orang sekuriti kantor. "Kamu nggak apa-apa, Ann?" Seseorang berbisik tepat di telingaku. Plak! Belum sempat menoleh, tiba-tiba aku merasakan tamparan keras di pipi kanan secara beruntun. Dua kali! "s**t! SIAPA SAJA, AMANKAN PEREMPUAN GILA INI SEKARANG JUGA!" "Kakak ngapain di sini? Kakak salah orang!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD