Bab 8
Semua Orang Menyukai Yanti
"Oh, ya? Tapi apa sebelumnya kamu pernah ketemu sama Mas Joko?"
"Tentu saja. Aku ketemu sama Mas Joko pernah sekali sebelum ketemu sama Bu Mela. Itu waktu dia mencari babysitter dan mengunjungi rumah untuk kroscek."
Tidak, bukan itu yang aku maksudkan. Namun, untuk saat ini biarlah jawaban itu yang membuatku pura-pura percaya. Kita lihat saja bagaimana kedepannya.
Adanya hubungan khusus antara Yanti dan Mas Joko, Aku akan segera mengungkap kebusukan mereka di belakangku. Namun, sepertinya aku harus merelakan untuknya tetap tinggal di sini. Kehamilanku sudah besar, aku tidak punya banyak waktu untuk memilih babysitter yang lain.
Untuk sekarang, yang penting adalah bagaimana Yanti merawat Ziva dengan baik. Urusan Mas Joko, aku akan membuat Yanti lebih berpikir berkali-kali lipat untuk berulah.
Sore harinya Mas Joko pulang. Seperti biasa, aku melayani keperluan suamiku usai pulang dari kerja.
"Mas, besok mau temenin aku cek kehamilan nggak?" tanyaku dengan lembut.
"Besok? Kayaknya nggak bisa deh. Aku ada ada meeting penting sama atasan. Kamu pergi aja sama Ahmad, biasanya juga gitu kan?" jawab Mas Joko tanpa menoleh ke arahku.
Aku mengangguk saja.
"Oh iya. Gimana Yanti? Apa dia kerjanya udah sesuai kriteria kamu? Kamu nggak jadi buat ganti dia kan?"
Padahal awalnya aku sedang tak ingin membahas Yanti. Tapi ternyata justru perempuan itu yang ditanyakan oleh Mas Joko saat pulang kerja.
"Aku tetap akan mengawasi kinerja nya, tapi kayaknya seperti apa kata kamu, butuh waktu lama kalau harus nyari babysitter baru lagi. Nanti aku takut Ziva nggak urus."
"Nah gitu dong. Itu baru istriku!" Dia mengusap lembut rambutku dengan senyum.
Akan tetapi, alih-alih merasa bahagia, Aku justru semakin cemas. Berharap tidak ada lagi hubungan yang terjalin antara mereka, meskipun itu sedikit sulit untuk terelakan.
"Makan malamnya udah siap kan? Aku mau mandi dulu."
"Yanti bilang udah siap Mas."
"Baguslah. Aku jadi nggak sabar buat cepat-cepat makan masakan dia. Enak banget soalnya. Nanti besok aku minta dia buat bawain bekal juga, ah." Dia terkekeh bahagia seraya melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi.
Sementara aku? Tidak ada yang bisa aku lakukan selain diam dan mencoba agar tidak terbawa emosi.
Kualihkan perhatianku pada notifikasi HP. Di sana ada pesan singkat dari dokter kandunganku. Beliau bilang untuk datang tepat waktu sesuai jadwal konsultasi kehamilan. Karena kehamilanku yang kedua ini terkesan lemah dan membuat diriku sering sekali ngedrop dan sensitif, lebih baik untuk memeriksakannya secara rutin.
Setelah kusiapkan baju ganti untuk Mas Joko, aku menuju ke dapur untuk melihat masakan Yanti. Di sana juga sudah ada Galih dan Ahmad. Hal yang tidak bisa aku bayangkan sebelumnya adalah ternyata Yanti cukup akrab dengan Galih. Baru kali ini aku melihat kali berbincang secara leluasa dengan wanita.
Biasanya Galih tidak terlalu banyak interaksi dengan perempuan dia saja masih lajang sampai usia hampir akhir 20-an.
"Jadi kalian berdua kerja di tempat yang sama dengan Mas Joko?"
Itu kata Yanti kepada mereka. Aku hanya mendengarkan dari jarak yang tidak jauh dan tidak terlalu dekat juga.
"Kamu manggilnya Mas buat Mas Joko? Apa Mbak Mela nggak keberatan?" Ahmad mengoreksi cara bahasa Yanti.
"Oh, itu. Mas Jokonya nggak keberatan, kok, Bu Mela juga kelihatannya gitu. Emangnya kenapa? Kenapa Bu Mela harus merasa keberatan?"
Aku mengendus sinis dengan sikap sok polos Yanti. Aku jadi khawatir kalau nanti Ahmad mungkin bisa tertarik dengan perempuan itu. Sebenarnya aku sih nggak masalah dengan siapa nanti Ahmad akhirnya berjodoh. Latar belakang keluarga Tidak harus menjadi syarat utama asalkan perilaku Si ceweknya itu baik. Namun, untuk Yanti aku pikir-pikir 1000 kali lipat dulu.
"Ya nggak apa-apa, sih. Cuma agak bingung aja karena kamu manggil Mbak Mela aja pakai sebutan ‘Bu’ tapi sama Mas Joko justru dipanggil Mas." Ahmad tertawa ringan.
"Lagian Mas Joko juga, kok, yang minta."
Sepertinya ucapan itu merupakan kalimat terlarang, sampai-sampai Yanti membungkam mulutnya sendiri begitu sadar aku berada di sekitar sana dan mendengarnya.
"Ngapain Mas Joko yang minta?" Ahmad kembali tertawa sementara Galih bersiap untuk mengatakan sesuatu.
"Mungkin aja biar Mas Joko terlihat lebih muda," timpal Galih. "Atau agar lebih akrab dengan babysitter baru di rumah ini."
Hanya aku saja yang merasa atau memang mereka berada di pihak Yanti? Lagi-lagi aku diserang oleh kecemburuan sosial seperti ini. Aku mendekat ke arah mereka dan saat itu juga Mas Joko turun dari lantai atas.
"Apa yang dikatakan galih itu benar. Apa salahnya akrab sama tenaga kerja di rumah ini, 'kan? Aku juga sering kayak gitu kalau di lapangan. Kita semua, iya, 'kan, Galih dan Ahmad?"
Keduanya saling bertukar tatap sebelum akhirnya mengangguk hampir bersamaan.
"Wih ... ada semur ayam. Kamu tahu aja kalau ini makanan kesukaan saya." Mas Joko terlihat antusias saat melihat menu makanan kesukaannya tersaji di meja.
"Tahu, dong!" seru Yanti dengan riang pula.
Hal itulah yang membuatku semakin curiga. Bagaimana bisa Yanti tahu tentang makanan kesukaan Mas Joko, padahal aku tidak pernah menyinggung hal itu sama sekali selama kami berinteraksi, bahkan saat interview juga.
"Senang banget, deh, kayaknya dimasakin sama makanan kesukaan." Ahmad lagi-lagi berkomentar.
"Senang, dong. Aku udah lama nggak makan masakan rumah sendiri setelah Mela hamil."
Aku lebih memilih untuk mengabaikan mereka dan fokus pada makananku.
"Kamu juga makan Yanti. Gabung aja sama kami, itu ada kursi kosong satu lagi."
Tidak henti-hentinya Mas Joko membuat aku merasa tidak nyaman, melihat betapa dia sangat ramah dan perhatian dengan Yanti membuatku semakin berpikiran yang tidak-tidak.
"Aduh, Mas. Jangan, deh. Saya nggak enak sama kalian, apalagi Bu Mela." Dia mengusap leher jenjangnya canggung.
Meskipun namaku disebut-sebut aku berusaha untuk tidak peduli. Besok adalah waktunya pemeriksaan kehamilan, dokterku bilang untuk jangan terlalu stres. Aku tidak ingin hasil pemeriksaanku besok menjadi buruk hanya karena Yanti.
"Enggak apa-apa, lah. Santa⁹i aja. Apa aja keluarga sendiri."
Awalnya saja menolak, padahal Yanti benar-benar ingin menempati kursi yang kosong itu dan benar saja akhirnya perempuan duduk di sana, tepat di samping Mas Joko.
Makan malam itu berjalan dengan meriah. Tentu saja karena Yanti yang menjadi pusat perhatian. Aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menanggapi guyonan mereka.
Sampai selesai makan malam, aku memilih duduk santai dan mendonton TV. Sementara itu, Mas Joko dan Galih mengobrol sambil ngeteh di teras.
Tiba-tiba seseorang duduk di sampingku. “Mbak!” seru Ahmad sambil menoel pelan lenganku. “Dari tadi aku lihat Mbak lagi bad mood, ya? Kenapa?”
Dari sekian banyaknya orang di rumah ini, hanya adikku yang peka. “Nggak apa-apa,” jawabku sambil mengganti saluran TV.
“Gara-gara Mbak Yanti, ya?” Dia bersedekap dan bersandar di punggung sofa. “Aku tahu kalo Mbak cemburu sama dia.”
“Dih, ngaco.” Aku tertawa. “Mana ada cemburu sama babysitter sendiri.”
“Aku juga ngerasa ada yang nggak beres, loh, Mbak.” Anak itu justru berbisik padaku.
“Apanya yang nggak beres?”