Pujian Untuk Yanti

1129 Words
Bab 7 Pujian Suami untuk Babysitter “Kalau kamu masih punya malu, harusnya kamu minta maaf, dong?” Wanita itu terkekeh pelan. “Oh, iya … kalau begitu saya minta maaf—“ Jeda sesaat. “Tapi nanti-nanti aja.” Wah, minta digeprek ginjalnya ini anak! Ternyata Yanti pintar memasak. Dia cukup cekatan mengolah bahan masakan. Karena itulah aku tidak membeli lauk matang seperti hari sebelumnya. Di meja sekarang ada Ahmad dan Galih juga yang bergabung. “Nggak nyangka kalau kamu pintar masak, Yan,” puji Mas Joko. Sepertinya suamiku itu sangat tulus memuji babysitter baru rumah ini. Aku akui bahwa masakan Yanti memang enak. Dia juga sangat cepat memasak, kalau karakternya lebih baik mungkin aku akan sangat senang adanya dia di sini. “Suami kamu pasti betah di rumah karena masakan kamu enak banget,” lanjut suamiku. Senyumnya itu, loh, bikin aku ingin mencekoki dia pakai sendok sayur. Astaghfirullah … aku mulai lagi. Ya, lagian siapa juga yang tidak kesal saat suami memuji perempuan lain di depan istri sendiri? Terlebih yang dipuji melirik dengan tatapan meledek. Seolah-olah bilang, “Lihat, tuh, suamimu demen sama aku!” Terus tertawa keras dalam hati. Terserah kalau ada yang menganggapku sensitif atau cenburuan. Ya, karena memang itu benar. Coba saja orang lain ada di posisiku, mungkin juga akan merasa kepanasan sepertiku saat ini. “Jadi, Ma. Lebih baik jangan ganti Yanti. Udah, pake tenaga dia aja buat bantu-bantu rumah. Kamu juga udah hamil besar, nggak capek apa nyari pengganti Likah terus?” Aku tidak menjawab. Sepertinya Mas Joko memang sengaja bikin aku mati kutu di hadapan Galih dan Ahmad. “Iya, Mbak. Kayaknya Mbak Yanti bisa dipercaya juga. Kita jadi nggak perlu beli lauk matang yang rasanya gitu-gitu aja,” kata Ahmad, adikku. Kuhela napas. Andai adikku tahu apa yang sudah diperbuat oleh Yanti dan Mas Joko, tapi memang aku tidak berniat untuk membahas masalah ini dengannya. Biarlah aku saja yang mengurus masalah rumah tanggaku. Sementara itu, Galih tidak banyak bicara. Pria itu memang yang paling kalem dibanding dengan dua laki-laki yang lain. Aku masih enggan menyahut. Terlalu malas untuk membahas tentang masalah ini sekarang. Diamnya aku mungkin dianggap sebagai kekalahan di mata Yanti, tetapi tunggu saja. tidak semua harus diselesaikan dalam satu waktu. “Saya mau menyuapi Ziva dulu, Bu.” Yanti berujar dengan lembut saat ini. Sungguh, bermuka dua! Tadi saja saat di kamar, dia seolah ingin mengajakku perang. Oh, iya. Tentang ucapan Yanti saat itu, tentang ‘nanti saja minta maafnya’ hanya candaan dia saja. Lalu, apa aku percaya? Tentu saja tidak. Bagaimana bisa aku harus percaya dengan wanita bermuka dua itu? Tidak terasa mereka sudah selesai sarapan, atau aku yang kebanyakan melamun karena memikirkan Yanti? Astaghfirullah … tidak seharusnya aku buang-buang waktu untuk itu. “Aku berangkat dulu, Ma.” Mas Joko berpamitan. Aku menyalami tangannya. “Assalaamu’alaikum.” Tidak lupa dengan ciuman kening. Usai kepergian mereka, kini tinggal aku dan Yanti. Setelah selesai membantu Yanti beres-beres meja makan, aku pergi halaman depan untuk menulis. Itu adalah aktivitas sehari-hari saat Mas Joko bekerja. Karena Ziva sudah ada Yanti, aku bisa lebih leluasa saat ini. Bagiku, menulis adalah healing. Karena kehamilanku yang kedua ini sering kali membuat aku stress dan sensitif, kutuangkan emosi yang tidak bisa terungkap dengan kata-kata dalam bentuk tulisan. Mungkin itu juga yang membuat para pembaca Aku menyukai tulisannya aku buat. Dari beberapa nasehat para senior di grup kepenulisan, menulis dari hati adalah kunci untuk menarik perhatian pembaca. Ya ... Itu tidak sepenuhnya benar sih, karena harus lihat bagaimana daerah pembaca juga jika ingin mendapatkan lebih banyak uang. Namun, pada dasarnya alasanku menulis bukan pada uang, yang jelas aku suka menulis dan menyukai setiap kata yang kutuang dalam ceritaku. Setelah kepergian Mas Joko dan yang lain, Yanti tidak banyak berulah. Ziva juga sepertinya sudah mulai terbiasa dengan babysitter barunya itu. Sebenarnya aku baik-baik saja kalau memang Ziva nyaman, tetapi hati nuraniku menyarankan untuk membuat Yanti pergi dari rumah ini. Tentu saja alasannya ada pada bagaimana dia bersikap kepada Mas Joko. Setelah sekitar 2 jam menulis di luar, aku kembali ke dalam untuk mengecek keadaan Ziva dan Yanti. Ternyata perempuan itu sedang asyik menonton televisi, sementara anakku sibuk sendiri dengan mainannya. Karena Ziva sedang anteng, aku tidak mempermasalahkan sikap santainya Yanti. Kugunakan kesempatan ini untuk mendekatinya. "Yanti, apa bisa bicara sebentar?" Perempuan itu menoleh, ada tatapan malas ketika melihatku. "Bicara aja, Bu." Setelah mengatakannya aja kembali menonton televisi. "Untuk yang tadi, bagaimanapun keputusannya ada pada saya. Kamu akan tetap tinggal atau angkat kaki dari rumah ini." Aku mengatakannya dengan tenang. Inilah yang ku sebut dengan waktu yang tepat. Bagaimanapun, dalam keadaan amarah yang sedang melonjak, tidak baik untuk berkata panjang karena yang terjadi justru hal yang tidak diinginkan malah terucap. "Saya udah tahu Bu." Nanti berujar tanpa menatap lawan bicaranya. "Yang tadi pagi itu justru Mas Joko yang mengambil kesimpulan kalau aku memang pantas di rumah ini." "Aku tetap memiliki wewenang untuk mempertahankan atau tidak." "Iya, iya ... Mau berapa kali Bu Mela ingetin saya sama hal itu? Kita lihat aja nanti ke depannya. Aku bertahan atau pergi, anggap aja itu takdir." Dia mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Ngomong-ngomong bagaimana sama suami kamu?" Aku mulai mengorek tentang bagaimana kehidupannya sebelum ada disini. Jika memang dia punya suami, seharusnya dia tidak bersikap berlebihan kepada suami orang. Namun, aku tidak ingin terlalu berterus terang padanya. "Suami saya baik-baik aja di rumah. Emangnya kenapa, Bu?" "Kamu sudah punya anak?" Mendengar pertanyaanku yang satu itu membuat pandangannya seketika meredup. "Anak saya seumuran sama anak ibu, tapi udah lama meninggal sekitar 1 tahun yang lalu." Mendengar itu membuat hatiku sedikit terenyuh. Meskipun aku tidak menyukainya, tapi kenyataan bahwa Yanti juga seorang ibu yang telah kehilangan anaknya membuatku merasa bahwa Yanti hanya Perempuan biasa. "Maaf karena sudah menyinggung tentang anak kamu." Aku berujar seperti itu benar-benar tulus. "Enggak masalah, Bu, santai aja." "Kalau pekerjaan suami kamu gimana?" Aku memang berniat untuk interview secara santai. Karena sedikit sekali yang aku tahu tentang siapa itu Yanti. Namun, herannya Mas Joko seolah percaya begitu saja dengan wanita asing tanpa identitas yang jelas, kecuali memang Mas Joko sudah lebih dulu mengenal Yanti jauh sebelum menjadi babysitter di rumah ini. "Pekerjaan suami saya cuma go-jek biasa." "Kalau begitu bagaimana hubunganmu sama Mas Joko?" Seketika aku melihat perubahan ekspresi Yanti. Menoleh ke arahku dan menatapku dengan sorot mata antara bingung dan terkejut. "Apa maksud Bu Mela? Tentu aja sebagai majikan dan pembantu di rumah ini." Dia menjawab dengan senyum manis di wajahnya. "Oh, ya? Tapi apa sebelumnya kamu pernah ketemu sama Mas Joko?" "Tentu saja. Aku ketemu sama Mas Joko pernah sekali sebelum ketemu sama Bu Mela. Itu waktu dia mencari babysitter dan mengunjungi rumah untuk kroscek." Tidak, bukan itu yang aku maksudkan. Namun, untuk saat ini biarlah jawaban itu yang membuatku pura-pura percaya. Kita lihat saja bagaimana kedepannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD