Bab 6
Masih di Kamar Majikan
"Kamu ngapain di sini, Yanti?"
Aku sempat menangkap raut ekspresi terkejut dari Mas Joko, tetapi itu tidak berlangsung lama karena Yanti lebih dulu berujar, "Mas Joko tadi memanggil saya, Bu."
Aku sempat menangkap raut ekspresi terkejut dari Mas Joko, tetapi itu tidak berlangsung lama karena Yanti lebih dulu berujar, "Mas Joko tadi memanggil saya, Bu."
Aku melirik ke arah Mas Joko. Suamiku itu menjawab dengan santai, "Aku tadi minta tolong dia buat ambilin minum karena kamu kelamaan ngambilnya, jadi aku suruh dia segera nyusul kamu. Tapi ternyata kamu udah balik duluan."
Padahal aku di dapur tidak ada 5 menit. Lagian Kenapa juga Mas Joko harus tiba-tiba bangun dan merasa haus padahal sebelum aku keluar dari kamar, dia baru tidur 10 menit yang lalu.
"Iya, benar apa kata Mas Joko, Bu. Saya baru aja mau nyusul ke dapur."
Aku menatap mereka secara bergantian. Dari awal aku bertemu dengan Yanti hingga saat ini, dan bagaimana sikap dia ke Mas Joko begitu juga sebaliknya, tidak mungkin ini hanya sekedar kebetulan saja.
"Kamu jangan mikir yang macem-macem, Ma. Aku benar-benar cuma manggil Yanti buat minta bantuan." Mas Joko berusaha untuk meyakinkan aku dan kujawab dengan mengangguk.
"Ya udah, terus kenapa kamu masih di sini, Yan? Kamu mau tidur di sini bareng suamiku di sini?!"
"Ma! Kamu ini apa-apaan sih? Bicara kayak gitu dong. Kasihan Yanti, orang aku yang manggil dia ke sini. Lagi apa kamu mikir apa sih? Lagi ngapa-ngapain?"
"Terserah kamu. Lagian kamu yang mengira aku mikir macam-macam. Aku cuma nanya dia ngapain ke sini Kenapa kamu yang sewot?" Aku tidak mau kalah sama mereka. Meskipun aku sendirian, bukan berarti aku bisa dikeroyok begitu aja tanpa perlawanan.
"Ya udah Bu, Mas Joko, saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu waktu istirahat kalian."
Dia tiba-tiba bersikap lemah lembut. Dasar ulat bulu! Ular kobra yang tidak tahu malu! Dia pikir aku tidak tahu kalau Sebenarnya dia juga terlihat senang saat Mas Joko marah-marah padaku?!
Akhirnya Yanti pamit undur diri dari kamar kami. Saat Yanti sudah pergi, aku melanjutkan aktivitasku dengan menaruh teko air di atas nakas samping tempat tidur. Mas Joko dengan seenaknya lanjut tidur tanpa mengatakan apa pun padaku. Tidak lupa aku minum obat tidur karena tidak mau larut dalam masalah ini semalaman.
Keesokan harinya, aku bangun dan lebih dulu pergi ke kamar mandi untuk buang hajat. Itu sudah rutinitasku setiap bangun tidur, rutinitasku juga untuk menyiapkan perlengkapan kerja Mas Joko. Namun, kali ini berbeda. Entah sejak kapan wanita jelmaan ulat bulu itu masuk ke kamar dan mengobrak-abrik isi lemari pakaianku dan Mas Joko?
Ada satu lagi yang membuatku merasa ingin membanting lemari adalah suamiku sendiri dengan wajah yang ceria tengah berkaca dan berdandan dengan kemeja yang belum aku siapkan sama sekali.
“Ini, Mas. Kaus kakimu udah aku temukan!” seru Yanti dengan menenteng sepasang kaus kaki kotak-kotak berwarna kelabu.
“Oh, iya. Makasih, Yan.” Mas Joko menerima dengan senang hati, tetapi aku melihatnya dengan emosi.
Mereka ini sedang apa? Lagi simulasi jadi Tuan dan Nyonya rumah ini?!
“Ekheem!” Aku sengaja berdehedm keras layaknya gajah yang keselek. “Kamu ngapain di sini, Yan? Mana Ziva?” tanyaku sembari menghampirinya.
“Eh, Ma. Yanti lagi bantuin aku buat siap-siap.” Tidak tahu mengapa selalu suamiku dulu yang menjawab saat aku melempar pertanyaan pada Yanti. “Kamu BAB-nya lama, sih. Aku udah mau berangkat, nih!”
“Apa BAB-ku nyampe satu atau dua jam? Biasanya juga selesai dari kamar mandi aku nyiapin keperluan kamu, kok. Terus apa aku pernah buat kamu telat berangkat kerja? Lagian ….” Kulirik Yanti yang masih memegang kaus kaki.
Rasanya ingin menyumpal lubang hidung perempuan itu menggukan kaus kaki itu. Meskipun aku tidak tahu bakalan muat atau tidak. “Tugas Yanti bukan ngelayanin keperluan kamu, Mas, tapi keperluan anak kita!”
Aku mengangkat tangan saat Mas Joko membuka mulut ingin menyelaku. “Aku tadi nggak nanya sama kamu, Mas. Aku tanya sama babysitter baru kita yang rajinnya kebangetan!”
Jemari telunjukku mengarah ke wajah Yanti, tapi arah pandanganku ke Mas Joko. “Jadi, bisa nggak kalau kamu jangan ikut campur dulu?”
Aku memaksakan senyum agar tidak terkesan marah pada suamiku, meski rasanya ingin kuperitili kancing kemejanya satu-satu. Mas Joko akhirnya bungkam.
Lalu, kini giliran si ulat bulu yang berbicara, “Saya cuma mau membantu Mas Joko, Bu.”
“Apa di kontrak aku pernah membahas soal kamu yang bisa keluar masuk kamar majikan tanpa izin? Apa lagi melayani suami saya?” Aku mengangkat satu alis, berniat untuk mengintimidasi perempuan itu.
Namun, sepertinya itu tidak mempan sama sekali di mata Yanti. “Nggak ada, Bu,” jawabnya dengan ogah-ogahan. “Tapi Mas Joko yang tadi memanggil saya.” Masih saja ngeles!
“Kalau begitu, lain kali jangan kayak gini lagi.” Aku menghela napas panjang. “Saya mengakui kalau kamu tergolong rajin karena sudah bangun jam segini, tapi tolong jangan buat kericuhan. Saya tahu apa yang mesti saya lakuin, dan seharusnya kamu juga begitu.”
“Ma, udah, deh. Jangan diperpanjang, kasihan Yanti.”
Lagi dan lagi. Seakan akulah pemeran antagonisnya di sini, tetapi kalau itu diperlukan untuk membuat mereka berdua sadar, apa salahnya? Memangnya harus istri yang tersakiti baru bisa jadi pemeran utama? Tidak, aku muak melihat istri yang dikhianati suaminya dan cuma bisa menangis saja. Sabar, sih, harus, tapi jangan mau biarkan orang lain membuat kita terpuruk.
“Aku ngajarin dia, Pa.” Kulembutkan suara, tentu saja dengan maksud melempar sarkasme.
Kalau ada yang melihat senyumku saat ini, pasti akan mengatakan kalau senyumku ini mirip Joker.
“Kayak yang kamu bilang, Yanti masih baru. Aku juga memaklumi dia untuk sekarang. Kalau nggak, udah aku suruh dia angkat kaki dari rumah ini.”
Kutolehkan kepala menatap Yanti, dan saat itu juga aku merasa puas melihat kilatan amarh perempuan itu. “Iya, nggak, Yan?”
“Terserah kamu aja,” ujar Mas Joko seraya meninggalkan kami. Tidak lupa dia mengambil kaus kaki dari tangan Yanti.
Sekarang tinggal aku dan babysitter kelewat rajin ini. “Kamu nggak mau bilang apa-apa, Yan?” tanyaku berniat untuk mendengar permintamaafan dia.
Bukankah memang seharusnya begitu?
“Bilang apa, Bu?” Dia memasang wajah tanpa dosa.
Aku yakin dia sengaja mengatakannya.
“Saya, ‘kan, masih baru. Jadi, tolong ajari saya gimana saya harus bersikap dan berkata. Babysitter ini membutuhkan banyak arahan agar bisa menetap di rumah ini.”
Aku juga yakin kalau Yanti sangat sengaja membalas dengan sarkasme lagi.
“Kalau kamu masih punya malu, harusnya kamu minta maaf, dong?”
Wanita itu terkekeh pelan. “Oh, iya … kalau begitu saya minta maaf—“ Jeda sesaat.
“Tapi nanti-nanti aja.”
Wah, minta digeprek ginjalnya ini anak!