*Membaca Al-Qur'an lebih utama*
"Bu, ayah. Kita bisa ngobrol baik-baik kan?" Andini mengambil alih karena melihat suaminya yang terdiam sedari tadi. Mendengar ucapan Andini, kedua orang tua Aditya langsung berhenti melangkah dan menatap wanita itu dengan rasa marah. Terlebih ibu Aditya yang sedari tadi memilih diam.
"Gak ada yang perlu dibicarakan dari perempuan gatal seperti kamu! Kamu pernah gak mikirin gimana Nafisah? Gimana kalau dia tahu suaminya nikah lagi secara diam-diam di belakangnya, pernah gak kamu mikir begitu? Kamu perempuan, seharusnya kamu tahu bagaimana hancur nya Nafisah. Dasar jalang!"
Deg!
Andini terpaku mendengar sebutan itu untuknya.. ya tuhan, apa benar dirinya memang jalang? Dia hanya ingin memperjuangkan apa yang seharusnya ia miliki. Tidak lebih.
Aditya mengepalkan tangannya begitu mendengar sang istri dihina oleh ibunya, namun ia memilih diam karena tidak ingin membuat suasana kembali keruh.
"Andini, saya yakin kamu cantik, banyak lelaki di luar sana yang mau sama kamu. Tapi kenapa harus lelaki beristri? Kamu gak malu jika suatu saat nanti orang tau? Hukum sosial lebih ngeri asal kamu tau. Terlebih untuk wanita seperti kamu ini," ujar ayah Aditya dengah menatap Andini tajam.
"AYAH!"
Suara Aditya menggelegar memanggil sang ayah yang sudah berkata-kata dengan kejam nya. Ia bahkan tidak sadar sudah mendorong sang ayah ke belakang, sampai membuat ayahnya terdorong dan hampir terjungkal. Gerakan refleks itu nyatanya yang menghancurkan semua keadaan hari ini.
"Ibu bersumpah, Adit. Sampai ibu mati pun jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Sempat kamu datang, ibu gak ridho. "
"Baik. kalau itu mau ibu sama ayah, Adit gak akan pernah datang ke sini lagi. "
Aditya menarik tangan Andini lalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang merasa sangat kecewa dan sedih secara bersamaan, bagaimana menantu nya Nafisah? Apakah wanita itu sudah tahu jika memiliki madu?
"Yah, gimana dengah Nafisah. Ibu gak sanggup ngomong masalah ini sama dia, Yah." Lirih ibu Aditya dengan air mata yang tidak berhenti menetes.
"Ayah juga gak tau, Bu. Tapi untuk sementara waktu kita diam aja,.semoga saja Aditya sadar."
Kedua orang tua Aditya berpelukan saling menguatkan satu sama lain, kelakukan anaknya kembali membuat mereka terluka, bahkan parah dari kemarin.
.
Namun hal yang paling mengganggunya adalah, ketika ucapan sang ibu yang tidak ingin melihatnya lagi terngiang di telinganya hingga detik ini. Bayangan ketika di mana ia akan hidup dengan sendiri tanpa sosok orang tua yang biasanya selalu mendukungnya, apa tindakannya ini sangat keterlaluan? ia hanya ingin menyelamatkan hatinya dan juga Andini dari sakitnya patah hati.
Begitu Nafisah masuk, Aditya langsung menarik tangan Nafisah dengan erat sampai membuat wanita itu meringis kesakitan, akan tetapi sama sekali tida ia pedulikan.
"Mas, sakit tangan Nafisah." lirih Nafisah mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
Aditya sendiri menatap Nafisah dengan tajam dan juga nafas yang memburu penuh dengan emosi, tanpa aba-aba ia langsung memberikan tamparan keras yang membuat kepala Nafisah sampai m.
"Munafik, kerjaan lu itu cuma playing victim seolah yang salah itu cuma gue sama Andini, jelas-jelas di sini kami berdua yang korban. Jadi gue mohon sama elu, Nafis. Stop bertingkah seolah elu yang paling tersakiti, karena kasitnya elu tidak sebanding dengan ."
Setelah mengatakan itu, Aditya masuk ke dalam kamar nya dengan pintu yang terbanting kuat, sampai-sampai membuat Rio yang sedari tadi menonton drama yang amat sanagt menyedihkan itu terperenjat kaget, ia mengusap matanya sejenak, melihat keadaan sang kakak yang sangat rapuh dengan pipi yang memerah dan sedikit lebam.