Putra Mahkota Langit

4375 Words
Dua bulan sebelumnya di New York, AS Rigel, pria dengan penampilan klasik itu berdiri di atap sebuah gedung kosong yang berdebu. Wajahnya tampak sangat serius dan matanya memicing tajam. Sesekali ia memejamkan mata dan terlihat berusaha sedang membaca sesuatu dengan pikirannya. Begitu ia membuka matanya, bola matanya yang berwarna biru pucat mendadak berkilat seperti putih. Ia menoleh ke arah Antares rekannya yang sejak tadi mengikutinya. "Dia tidak jauh dari sini," ujar Rigel dengan suara yang menggema ke dinding-dinding ruang kosong gedung itu. Antares mengangguk dan meletakkan telunjuknya ke bibirnya. Pria berpenampilan sangat modern dengan rambut berwarna pirang itu bersandar di dinding dan tersenyum. Bola matanya yang berwarna coklat kemerahan memandang ke arah atap, dan kemudian dengan senyum sinis, ia mengacungkan satu jari telunjuknya ke arah atap dan menatap Rigel dengan misterius. "Pada hitungan ketiga," ucap Rigel pada Antares dengan suara berbisik. Antares mengangguk. "Satu... dua..." Ssshhh! Mendadak Rigel menghilang dari pandangan Antares dan membuat Antares yang belum siap dengan aba-aba palsu Rigel menjadi kesal. "Sialan, dia bilang hitungan ketiga!" Dalam sedetik, Antares sudah ikut menghilang dari ruangan itu dan muncul kembali di atas atap gedung kosong yang terbuka. Tubuhnya langsung disambut udara dingin angin malam yang bertiup kencang di atas. Ia melihat Rigel di sana, sedang memandang tajam ke arah seorang wanita berambut merah dan ikal yang sangat panjang. Ketika menyadari bahwa Antares dan Rigel di sana untuk menyergapnya, wanita itu dalam sekejap melesat kabur meninggalkan jejak cahaya di udara. Rigel tidak diam, ia juga ikut melesat mengikuti wanita tersebut dan langsung diikuti Antares dengan kilatan cahaya. Kali ini, mereka muncul di bagian paling ujung gedung pencakar langit dan saling memandang. "Betelgeuse, jangan melakukan hal bodoh," desis Rigel dengan penuh kemarahan. "Kami sudah lama mencarimu. Sebaiknya kau menyerahkan diri sebelum kaisar dan putra mahkota yang menemukanmu." Betelgeuse tertawa kecil. "Kau lupa sesuatu, aku sangat tahu hal itu. Aku bahkan tahu kalau mereka akan membunuhku." Sedetik setelah mengucapkan kalimat itu, ia kembali melesat cepat dengan cahaya merah dan meninggalkan mereka. Rigel baru akan mengejar, namun kali ini Antares yang melintas lebih cepat darinya. Mereka bertiga muncul kembali kali ini di atas sebuah menara satelit yang menjulang tinggi. "Aku menangkapmu!" seru Antares berhasil memegang pundak Betelgeuse dengan keras. Warna mata Betelgeuse yang hitam mendadak berubah menjadi kekuningan karena marah. "Antares kau benar-benar akan bersikap tidak sopan kepadaku?!" "Ah iya, aku lupa kau anak tetua langit yang dihormati. Tapi usiamu bahkan lebih muda dariku, seharusnya kau---" Ssssshhhhh! Betelgeuse kembali menghilang, dan Rigel menatap kesal pada Antares. "Cck cck, kau selalu terlalu banyak berbicara," ujar Rigel pada Antares. Keduanya saling memandang sebelum akhirnya ikut melesat kembali. Malam itu di langit, diantara gedung-gedung pencakar langit dan cahaya lampunya yang cantik, muncul berbagai kelebat sinar dari ketiganya. Sementara di jalanan di bawah gedung, para pekerja kantoran yang baru pulang kerja dan orang-orang lainnya di New York tetap beraktivitas normal. Semuanya berlangsung sangat cepat seperti kecepatan cahaya sampai siapa pun manusia normal tidak akan sanggup menyadarinya. Tidak ada yang tahu bahwa di atas, sedang terjadi kejar mengejar dan pertempuran sengit di antara tiga cahaya. "Berhenti!" seru Rigel sambil melepaskan tali ikat rambutnya dan membuat rambut panjangnya berkibar tertiup angin. Ia melemparkan tali tersebut ke arah sinar merah yang melesat di depan matanya dan seketika tali berwarna biru tersebut menjerat sinar itu, membuat perempuan yang bernama Betelgeuse muncul dalam kondisi terikat. "Lepaskan aku, Rigel!" Rigel tidak mengacuhkan ucapan Betelgeuse meski ia tahu bahwa perempuan itu kesal. Dengan sorot matanya, ia justru membuat ikatannya semakin kencang melilit Betelgeuse. "Maaf aku harus bersikap tidak sopan melakukan ini padamu," ujar Rigel padanya dengan raut wajah jujur. "Tapi putra mahkota benar-benar sangat membutuhkanmu." Rigel hampir membawa Betelgeuse pergi, namun mendadak tali ikat rambut Rigel terbakar api merah dalam sekejap. "Dan maaf, aku harus melakukan ini padamu!" Rigel belum sempat bergerak untuk menjauh, mendadak sebuah kilat sinar merah menampar keras wajah pria itu dan Antares secara serempak. Pipi kedua pria itu melebam merah seketika dan saat kedua pria itu bengong di tempat, Betelgeuse menghilang begitu saja dari hadapan mereka. "Ka-kau lihat itu? Dia baru saja menampar yang lebih tua darinya," ujar Antares tidak percaya. "Dasar perempuan dukun sialan!" "Kau sedang menyumpahi sepupumu sendiri?" ejek Rigel. "Dia sepupuku, tapi aku bukan keturunan tetua dukun kerajaan sepertinya. Lagi pula, dia tidak pernah punya etika yang baik pada putra mahkota." "Kalau kita punya etika, kita tidak akan memanggil putra mahkota hanya dengan nama saja," ucap Rigel santai padanya. "Ah, benar juga," timpal Antares mengingat. "Tapi itu karena dia teman kita sejak kecil, kan?" Rigel memutar bola matanya. "Aku akan mengejar Betelgeuse. Kau akan menunggu atau bagaimana?" "Ayo!" jawab Antares, kali ini dengan melesat lebih dulu meninggalkan Rigel. Alaska, AS Betelgeuse mendarat hanya beberapa detik di sebuah dataran es luas dan terengah-engah. Ia terlihat letih dan kesal. Mulutnya tak berhenti mengumpat. Ia berniat akan menghilangkan jejak dirinya di sana, namun baru saja ia akan membalikkan tubuhnya, sebuah cahaya teramat kilat mendadak menghantam tubuhnya. Gadis itu terjatuh ke atas es dan mendadak lemas. Baru saja ia akan mendongak kembali, sebuah tangan pucat dengan jari-jari yang panjang langsung mencengkram lehernya dengan keras. Tubuh Betelgeuse mendadak bergetar dengan hebat. Ia sama sekali tidak bisa bergerak dan bisa merasakan hawa panas yang dahsyat seolah sedang membakar lehernya. "Pu-putra Mahkota," ujarnya kesusahan sambil menatap kabut berwarna perak di depannya. Kabut itu perlahan berubah menjadi sosok seorang pria dengan bola mata berwarna senada dengan auranya. "Kalau kau tahu persis jika aku atau ibuku akan membunuhmu, seharusnya kau bersikap lebih hati-hati, bukan?" Betelgeuse merasa tak berdaya, tubuhnya menggelepar ketika pria di depannya menambah cengkraman di lehernya sampai seluruh tubuh Betelgeuse terangkat dari dataran es. Ia tidak bisa bersuara sama sekali tapi tubuhnya meronta memohon ampun. "Sekarang kau tinggal memilih, kau mau menghadapiku... atau menghadapi ibuku?" Bola mata Betelgeuse langsung memutih dan membesar karena rasa takut teramat sangat yang mendadak terasa di seluruh tubuhnya. Ia sangat tahu bahwa ia tidak akan selamat jika berhadapan dengan ibu dari putra mahkota. "Xynth!" Sebuah suara mendadak muncul di belakang mereka. Antares dan Rigel menapak keras di dataran es dan terkejut melihat kehadiran Xynth di sana. "Xynth, kau di sini?" tanya Rigel pada sang putra mahkota. "Seharusnya kau sedang mendapat perawatan, mengapa kau ikut ke sini?!" kata Antares padanya. Xynth tidak menjawab mereka. Ia kembali menatap Betelgeuse dengan marah dan mencengkramnya hingga membuat wajah wanita itu mulai memutih akibat hampir mati. "Tu-tunggu, Putra Mahkota," ujar Betelgeuse susah payah mengumpulkan seluruh tenaganya yang tersisa dengan tenggorokan tercekat. "A-aku sudah tahu jawaban masalahmu." Pria di depannya itu memandang Betelgeuse dengan dingin, namun cengkraman di lehernya melonggar, dan Betelgeuse kini bisa sedikit mengambil napas. "Kau harus segera kembali melakukan pertukaran tubuh, sisa hidupmu di bumi tersisa enam bulan," ujar Betelgeuse lagi. Kali ini ia berhasil membuat Xynth mendengarnya. Ia bisa merasakan tatapan kaget dari tiga pria di depannya dan seketika Xynth melepas Betelgeuse dan membuat wanita itu tersungkur jatuh di atas dataran es. Dengan cepat, wanita berambut merah itu segera berdiri dan membungkukkan badannya. Ia meletakkan tangan kanannya ke pundak kiri sebagai tanda hormat ke sang putra mahkota. "Apa maksudmu bahwa Xynth benar-benar akan mati?" tanya Rigel dengan ekspresi tercengang. Mereka semua sudah mendengar dari dokter di bumi bahwa otak dari tubuh yang dipakai Xynth terkena kanker dan ia sedang sekarat. Itu makanya mereka semua mengejar Betelgeuse selama ini. Tapi mereka tidak tahu jika penyakit manusia yang diidap Xynth akan mampu membuat Xynth benar-benar mati. "Ya, Sega...ma-maksudku, tubuh manusia keempat belas yang sedang kau tempati saat ini seharusnya ditakdirkan berumur panjang. Namun ternyata di saat-saat terakhir, takdir kematian nomor empat belas tertukar dengan manusia lain. Ada kejadian aneh yang bahkan tidak bisa kulihat sejak awal." Xynth memandang tajam pada Betelgeuse. "Apa maksudmu dengan kau tidak tahu sejak awal?! Kau keturunan langsung dari Methuselah, seharusnya kau bisa membaca segalanya!" "A-aku benar-benar tidak tahu secara pasti apa yang sebenarnya terjadi," jawab Betelgeuse jujur. "Tapi yang aku tahu adalah umur tubuh keempat belas di bumi tidak lagi panjang dan kau terancam akan ikut mati jika tidak segera melakukan pertukaran baru." "Tunggu," ucap Antares mendadak. "Bagaimana mungkin nomor empat belas mati lebih cepat? Bukankah semua tubuh yang diserahkan kepada putra mahkota ditakdirkan berumur panjang?" "Benar," ucap Betelgeuse lemah. Kini ia berlutut di sana. "Semua awalnya baik-baik saja. Tapi ada yang terjadi secara mendadak pada malam pertukaran putra mahkota dengan nomor empat belas. Putra mahkota....anu, putra mahkota---" "Aku kenapa?!" hardik Xynth dengan tidak sabar. "Putra Mahkota, malam itu kau memberikan berkat umur panjang secara tidak sadar kepada seorang manusia yang dikutuk langit. Kau mematahkan kutuk turun temurun pada garis keturunan manusia itu." "Aku? Aku memberikan berkat umur panjang? Aku mematahkan kutuk turun temurun manusia?" Betelgeuse mengangguk dengan takut. "Ya, seharusnya tidak seorang pun manusia di bumi bisa melihatmu atau ibumu secara langsung di langit. Hanya manusia garis keturunan pengabdi kerajaan kita, seperti nomor satu hingga empat belas yang ditakdirkan bisa melihatmu sebagai bintang perak. Itu makanya selama ini kau hanya bisa menempati tubuh mereka yang memang keturunan pengabdi kerajaan kita." Betelgeuse menarik napasnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Tapi ada satu manusia murni yang mampu melihatmu malam itu. Sesuai tradisi ribuan tahun, jika ada manusia murni yang mampu melihatmu dari bumi dengan mata telanjangnya dan memanjatkan harapan, maka kau akan mengabulkan doanya. Tapi---" "Tapi apa?!" teriak Xynth sambil mendelik. "Tapi di sini letak masalahnya," lanjut Betelgeuse dengan sedikit ragu untuk menjelaskan. "Manusia itu adalah keturunan manusia murni, bukan garis keturunan pengabdi seperti nomor empat belas. Manusia itu mendapat kutukan langit karena dosa besar nenek moyangnya di masa lalu. Semua keturunan mereka yang dikutuk langit akan ditakdirkan mati sebelum berusia tiga puluh tahun." "Manusia itu juga seharusnya mati lebih cepat malam itu," sambung Betelgeuse. "Tapi... di saat bersamaan ia meminta umur panjang darimu dan kau mengabulkannya tanpa sadar. Kutuk kuat garis keturunannya patah saat itu, dan ternyata terlempar ke tubuh nomor empat belas, Sega. Malam itu, seharusnya Sega - nomor empat belas - memang mati tapi tidak seorang pun dari kita tahu tentang itu." Betelgeuse memperhatikan raut wajah bingung Xynth. "Ketika kau menempati tubuhnya, nasib sial kematiannya hanya mundur sesaat. Tapi sepertinya kini tubuhnya yang seharusnya sudah lama mati tidak lagi kuat untuk menampung jiwa putra mahkota dan mengakibatkan nomor empat belas terkena kanker otak. Jadi.... jadi maafkan aku, Putra Mahkota, nyawamu akan benar-benar terancam jika kau tidak melakukan pertukaran lagi." "Pertukaran lagi?" ujar Xynth setelah terdiam sejenak dan melihat Betelgeuse bersimpuh di sana karena ketakutan. "Bagaimana kita akan menemukan tubuh kelima belas jika dalam kurun waktu setiap delapan puluh tahun hanya ada satu manusia pengabdi kerajaan yang tubuhnya ditakdirkan untuk bisa kutempati? Umur tubuh ini baru dua puluh tahun dan aku tidak mungkin bisa menunggu enam puluh tahun lagi. Katamu enam bulan dari sekarang aku akan mati, kan?" "Ini yang aneh," ucap Betelgeuse dengan wajah misterius. "Manusia yang kau berkati tadi, adalah tubuh kelima belas untukmu. Kau mematahkan kutukan turun temurunnya, kau memberkatinya dengan umur panjang, tapi sinarmu malam itu tidak saja jatuh ke tubuh manusia keempat belas, tapi mengenai nomor lima belas dengan lebih dahsyat. Seharusnya, seperti tubuh keempat belas dan tubuh-tubuh sebelumnya yang memiliki bekas luka berwarna perak pada bagian tubuh mereka, manusia yang ditakdirkan menjadi nomor lima belas juga pasti memiliki luka perak di salah satu bagian tubuhnya." "Bagaimana mungkin manusia murni bisa menerima jiwa Xynth? Selama ini kita hanya bisa melakukan pertukaran ke keturunan pengabdi. Tubuh manusia murni tidak akan sanggup menerima pertukaran dengan seorang putra mahkota langit," kata Rigel dengan nada yang masih tidak percaya. "Memang," jawab Betelgeuse. "Tapi putra mahkota sudah memberkati tubuh kelima belas dengan umur panjang. Jadi, tidak akan ada masalah dengan itu. Masalahnya justru...," Betelgeuse kembali menunduk ketika melihat Xynth yang masih syok mendelik seram padanya. "A-anu, masalahnya adalah putra mahkota harus membunuh jiwanya terlebih dahulu untuk bisa menempati tubuhnya. Dia bukan pengabdi dan hanya manusia murni, jadi jiwanya harus dibunuh." "Kau gila?! Peraturan kita tidak memperbolehkan kita membunuh manusia murni! Tidak satu pun dari kita selama ini diperbolehkan untuk itu!" ucap Antares dengan intonasi tinggi. "Kali ini, itu hal yang akan terpaksa kita lakukan. Itu jalan satu-satunya yang harus kita lakukan secepatnya untuk menyelamatkan putra mahkota. Bagaimanapun putra mahkota harus cepat menempati tubuh barunya." "Sejak kapan kau tahu tentang semua ini?" tanya Xynth setelah terdiam di tempatnya cukup lama. "Saat pertukaran tubuhmu dengan nomor empat belas," -jawab Betelgeuse dengan wajah menerawang- "aku melihat ada anak manusia yang mengintip ritual pertukaran jiwa putra mahkota. Seharusnya tidak seorang pun manusia bisa melihatnya, apalagi mampu bergerak dalam rentang waktu yang kita bekukan. Tapi dia sanggup melakukannya. Semenjak itu aku mulai menyelidiki soal anak itu." "Tunggu, aku masih bingung. Bagaimana mungkin manusia murni bisa melihat kita melakukannya? Lebih aneh lagi, ia mampu melihat sinar Xynth di langit. Bukankah itu seharusnya sangat mustahil terjadi? Keluarga bangsawan tertinggi kerajaan sejak dulu seharusnya tidak bisa dilihat manusia mana pun," tanya Rigel dengan raut penasaran. "Itu makanya aku menyelidiki itu selama ini. Tapi kalian semua mengejarku dan berniat membunuhku seolah aku menyembunyikan fakta takdir tubuh keempat belas. Padahal aku memang tidak tahu apa pun," keluh Betelgeuse dengan kesal. "Hanya ayahku yang seharusnya mampu menjawabnya." "Methuselah?" tanya Xynth padanya. Betelgeuse mengangguk. "Ya, tapi seperti kalian ketahui ayahku selama ini dalam kondisi mati suri. Aku tidak bisa mendapat jawaban darinya kecuali jika ia muncul ke dalam visual kepalaku." Antares memandang cukup iba pada Betelgeuse. Sepupunya itu memang satu-satunya keturunan lansung dari Methuselah atau yang maha tahu segalanya. Semenjak kondisi Methuselah mati suri, Betelgeuse memang berjuang untuk menjadi pilar pengganti ayahnya di kerajaan. Namun sebagai anak yang bahkan belum cukup dewasa, kekuatannya belum sesempurna ayahnya. Jelas itu membuat Betelgeuse sering ceroboh dan menanggung beban berat sebagai pengganti tetua penasehat kerajaan. Meskipun begitu, tidak satu pun dari rumpun keluarga mereka seharusnya bersikap membangkang dari kaisar maupun putra mahkota. Rumpun keluarga mereka merupakan salah satu dengan loyalitas terkuat kepada keluarga kaisar sejak dulu. Ia tetap harus melakukan tanggung jawab sebagai 'mata' dari kerajaan mereka. Namun kondisi putra mahkota jelas merupakan salah satu kelalaian Betelgeuse yang dampaknya cukup besar. Sepupunya itu bisa saja dihukum mati oleh kaisar, meski keluarga ayah Betelgeuse adalah salah satu yang paling dihormati di langit. "Jadi, kapan kita akan melakukannya?" tanya Xynth mendadak. "Ibuku dan ayah Rigel sedang dalam masalah serius di langit. Kita harus melakukannya tanpa kehadiran mereka?" "Kau memang harus segera melakukan pertukaran, tapi sebaiknya tunggu ibumu. Apalagi kau masih harus mempelajari segalanya tentang manusia murni. Jika sudah siap, kita bisa melakukan pertukaran dengan perempuan itu," jawab Betelgeuse santai, namun mendadak tiga pria di depannya mematung dengan raut wajah yang sangat terkejut. "A-apa maksudmu dengan perempuan?" tanya Xynth dengan suara yang dalam dan berbahaya. "A-aku... maksudku... tidakkah aku dari tadi sudah menyebutkannya? Tubuh kelima belas putra mahkota adalah perempuan," jawab Betelgeuse dengan takut-takut karena melihat perubahan air muka semua yang di sana. "Manusia itu bernama Fortuna Ramaya, dia sahabat masa kecil tubuh keempat belas, Sega." "Fortu---" ujar Xynth terputus. Mendadak kepalanya pusing saat ia menggeleng-geleng akibat syok. "Kau tahu sejak dulu tentang manusia itu dan kau mengatakan dengan ringan sekarang bahwa tubuhku untuk puluhan tahun ke depan adalah tubuh perempuan? Aku... Xynth, Putra Mahkota Kiklios, calon kaisar langit, harus menempati tubuh manusia PEREMPUAN???!!" Betelgeuse mundur dari posisinya. Ia baru sadar bahwa ucapannya akan menjadi masalah besar untuk pria di depannya dan seluruh Kiklios. "Tu-tunggu Putra Mahkota, aku tidak tahu kalau---" "AKU AKAN MEMBUNUHMU, DUKUN SIALAN!!!" teriak Xynth sambil kembali mencengkram leher perempuan itu dengan keras. Tapi beberapa detik kemudian, tangan Xynth melemas dan Betelgeuse melihat darah segar mengalir dari hidung putra mahkota. "Putra Mahkota, kau tidak apa-apa?" tanya Betelgeuse panik, serempak dengan Rigel dan Antares yang langsung bergerak mendekat. Xynth terjatuh di tempatnya. Kepalanya terasa berputar-putar dan tubuh manusianya terasa begitu sakit. Ia memegang kepalanya sendiri dan merasakan darah dari hidungnya. Itu bukan yang pertama terjadi dalam setahun terakhir, tapi kali ini untuk pertama kalinya, Xynth pingsan di tempatnya. --- Suasana pada pesta perpisahan teman-teman sekelas Fori malam itu begitu ramai. Semua hadir di sana dan itu membuat Fori sangat merasa tidak nyaman. Ia tidak memiliki satu teman pun dan semua yang hadir di pesta itu berbicara dengan teman mereka masing-masing. Itu membuat Fori semakin merasa terasing. Ia sebenarnya tidak ingin datang ke sana. Tapi, Suster Elsa mengatakan padanya sejak pagi bahwa itu adalah kali terakhir ia akan merasakan masa SMA-nya. Setidaknya Fori harus turut hadir di acara prom night mereka, begitu menurut Suster Elsa. Sayangnya, Suster Elsa tidak memberikan nasehat bagaimana dia harus berpakaian pada acara perpisahan seperti itu. Akibatnya, Fori datang dengan gaun pesta norak dan kuno dan menjadi bahan tertawaan semua orang sejak ia masuk ke aula sekolahnya tadi. "Beth, aku akhirnya datang ke pesta perpisahan angkatanku," ketik Fori melalui messenger chat kepada sahabatnya, Beth. Namun tanda notifikasi pengiriman pesannya sejak pagi kepada Beth menunjukkan bahwa tidak satu pun pesannya yang sudah sampai dan dibaca oleh Beth. Fori menghela napas gusar. Tidak saja merasa kesepian di acara tersebut, bahkan sahabatnya satu-satunya juga tidak bisa menjadi temannya berbicara untuk menutupi situasi canggung Fori di sana. Fori pun melangkah ke meja makanan prasmanan dan memutuskan untuk mengambil beberapa kue kecil di sana. Ia kemudian mengunyahnya sambil memandang ke sekeliling aula. Tiba-tiba, sebuah tangan mengambil piring kue Fori dan meletakkannya kembali ke atas meja tersebut. Fori mendelik kaget. "Hai, Fori!" sapa Hannah dan gank iblisnya, membuat Fori mual seketika. "Kudengar kau juga akan mendaftar ke Universitas Immaculata?" Fori tidak menjawab. Ia memandang Hannah dan lain-lain dengan lemas bak melihat malapetaka datang. Malam itu Hannah mengenakan mini dress berwarna kuning dengan stiletto yang berwarna senada. Ia tampak cantik dengan gaun yang jelas mahal. Namun Fori hampir tertawa karena melihat dua teman Hannah yang lain menggunakan gaun berwarna hijau dan satu lagi berwarna merah. Mereka benar-benar tampak seperti lampu lalu lintas di mata Fori. "Apa maumu kali ini, Hannah?" tanya Fori sambil menghela napas panjang. Fori tahu Hannah melihat geli pada baju norak yang ia kenakan namun dengan tumbennya, Hannah tidak mengatakan apa pun. Biasanya Hannah juga tidak pernah memanggil Fori dengan namanya dan hanya memanggilnya dengan sebutan 'anak dana bantuan'. Tapi Fori cukup kaget, kali ini situasinya berbeda. "Kau ingin menyiksaku lagi bahkan di acara perpisahan sekolah kita?" tebak Fori dengan tegang. "Jangan berpikiran negatif dulu," jawab Hannah dengan ramah. "Aku ingin menutup kenangan buruk bersamamu selama sekolah, karena kita akan masuk ke jenjang kuliah yang lebih dewasa. Aku ingin berdamai denganmu." "Hah?" Fori menatapnya tak percaya. Kenangan buruk? Apa yang sedang wanita iblis ini katakan, ia punya kenangan buruk denganku? Ia bahkan pernah mengunciku seharian di toilet sekolah! "Aku dan yang lainnya minta maaf dengan tulus jika selama ini selalu mengganggumu. Untuk terakhir kalinya, kami ingin meninggalkan kesan positif. Berbaurlah dengan kami." Firasat Fori buruk. Namun ia membiarkan Hannah begitu saja ketika wanita itu mendadak merangkul lengan Fori dan membawanya berjalan bersama gank iblisnya. "Ka-kau ingin membawaku ke mana?" tanya Fori was-was.Tapi Hannah tersenyum dengan sangat hangat padanya. "Setidaknya sekali ini, kami ingin mencoba membuka pintu keakraban denganmu. Kami sedang bermain game seru di belakang sana dan kekurangan satu pemain lagi. Yang lain sibuk dengan teman masing-masing atau pasangannya. Kau sedang sendirian, kan? Ikutlah dengan kami!" "Game apa?" tanya Fori yang merasa seperti diseret ikut dengan mereka ke bagian pojok belakang panggung. "Tenang, tidak berbahaya kok, hanya truth or dare. Kau tahu kan game itu?" "Tu-tunggu sebentar Hannah, aku---" "Ah, itu mereka!" potong Hannah setelah mereka masuk ke ruang panitia di belakang panggung. Gadis itu menunjuk ke arah enam orang laki-laki di sana yang cukup populer di sekolah mereka. Salah satunya ada Andi, laki-laki yang ditaksir oleh Fori sejak mereka SMP. Tubuh Fori berubah menjadi kaku seketika saat ia melihat Andi, namun Hannah jelas tidak menyadarinya. Fori melihat mereka semua sedang sibuk berbicara dan duduk di atas karpet biru yang terletak di lantai ruangan kecil tersebut. Di depan mereka ada meja pendek berukuran panjang dan ada beberapa botol beserta sepuluh gelas kosong yang sudah disediakan di atas meja untuk setiap peserta. Insting Fori semakin buruk, namun ia merasa sedikit tenang karena ada Andi. Setidaknya selama ini Andi cukup baik padanya meski mereka tidak pernah akrab satu sama lain. Jadi, tidak mungkin mereka semua serempak berniat jahat padanya. "Jadi di game ini, kau bebas memilih truth atau dare," ucap Hannah memberikan instruksi pada Fori. "Kami membawa alat deteksi kebohongan mini yang akan diletakkan di jari siapa pun yang memilih truth. Jika berbohong, lampu alat ini akan berubah merah, jika jujur akan muncul lampu hijau. Kalau bohong maka kau wajib melakukan apa pun perintah orang yang sedang berinteraksi denganmu. Kau paham, kan?" Fori tidak menjawab karena ia sebenarnya memang tidak tertarik ikut permainan mereka. Namun Hannah sudah menutup jalan keluar Fori dengan duduk di bagian pojok lingkaran. Itu membuat Fori akhirnya terpaksa ikut duduk di sana. Mereka semua berseru girang dan memulai permainan. Fori memperhatikan mereka bermain satu per satu dan mendengar semua pertanyaan yang diajukan bersifat sangat sensitif. Sementara yang memilih dare rata-rata disuruh meminum minuman di botol yang ternyata adalah wine. Fori tahu bahwa usia mereka tidak diperbolehkan meminum alkohol, namun sepertinya yang lain di sana terlihat cuek melakukannya. "Apa kau masih perawan?" Fori melihat seseorang di sana bertanya kepada Hannah. Hannah terlihat diam sebentar sebelum akhirnya menjawab bahwa ia masih perawan. Namun ternyata lampu alat deteksi kebohongan menunjukkan bahwa Hannah berbohong dan semua yang di sana menertawakan Hannah. Gadis itu pun terpaksa meminum segelas wine yang diserahkan kepadanya dengan santai. "Sekarang aku mau bertanya pada Fori," ucap Hannah ketika gilirannya memimpin permainan tiba. Ia memandang Fori yang bengong dan sebenarnya tidak siap. Seluruh peserta yang duduk di atas karpet lantai menatap ke arah Fori dalam diam. "Pilih truth atau dare?"" Fori hanya diam. Matanya melihat sekeliling berusaha mencari bantuan. Tapi semua orang di sana seolah sedang menunggu pilihan Fori. "Truth or dare?" ulang Hannah padanya dengan nada mendesak. "Truth," jawab Fori dengan suara tertelan. Setidaknya menurut Fori pertanyaan truth sedari tadi tidak ada yang akan mempermalukannya. Sementara jika ia memilih dare, maka ia pasti wajib meminum alkohol tersebut. "Baiklah, kalau begitu kau harus menjawab pertannyaanku," kata Hannah sambil memasang kabel penjepit di jari-jari tangan Fori. "Apa kau menyukai Andi?" Fori seketika terdiam kaku mendengar pertanyaan Hannah. Yang lainnya di sana juga mematung kecuali gank Hannah yang semuanya terlihat berusaha menahan senyum. "Fori, kau menyukai Andi?" tanya Hannah lagi, kali ini dengan tekanan. Sekarang Fori sadar bahwa ia sudah masuk jebakan Hannah dan gank-nya. Mereka bermaksud mempermalukan Fori. "Ti-tidak," jawab Fori setelah terdiam lama dan menciptakan suasana tegang di sana. Fori berdoa dalam hati agar alat deteksi kebohongan itu mendadak rusak, tapi dalam hitungan detik lampu berwarna merah pada alat itu menyala. Wajah Fori berubah merah padam seketika, nyaris sama dengan warna lampu pada alat itu. Ia tidak berani mengangkat wajahnya dan memandang wajah Andi. Ia tahu persis bahwa pria itu juga terdiam total di tempatnya duduk. "Kau harus meminum ini," ujar semuanya dengan heboh dan Hannah langsung menyerahkan segelas wine pada Fori. Wanita kejam itu memaksa Fori meminumnya dalam sekali teguk, sampai Fori terbatuk-batuk dengan wajah seperti kepiting rebus. "Fori, sekarang giliranmu menyuruh orang menjawab," ujar Hannah menyadarkan Fori yang terdiam menunduk karena merasa sangat malu dan menahan tangis. "Silahkan pilih orang yang kau mau untuk menjawabmu." "A-aku lewat saja," jawab Fori. Ia masih terlalu syok dengan kondisi yang sangat mempermalukannya barusan. "Baiklah kalau begitu aku saja yang menggantikan giliranmu untuk bertanya ke mereka? Boleh, kan?" Fori tidak segera menjawab Hannah, namun ia akhirnya mengangguk lemah setelah peserta lain lama menunggunya. "Aku akan bertanya pada Andi, truth or dare?" tanya Hannah pada Andi. Tubuh Fori kembali menegang di tempat ketika mendengar pilihan orang Hannah. Ia kini tahu bahwa Hannah tidak berniat berhenti mempermalukannya sampai di sana. "Aku pilih dare saja," jawab Andi setelah menimbang. Laki-laki itu juga sepertinya sadar akan kemana arah pertanyaan Hannah jadi ia sengaja memilih dare untuk menghindarinya. Tapi ternyata Hannah melakukan permintaan yang buruk padanya. "Baiklah, sekarang kau tinggal memilih... cium Fori atau cium salah satu teman priamu." "A-apa?" seru Andi kaget. Fori juga terdiam kaku di tempat dan menatap Hannah dengan tatapan tidak percaya. "Kau tinggal memilih salah satu," ulang Hannah dengan santai. Yang lainnya bersorak ke arah Andi dan menyemangati Andi untuk mencium Fori. Namun mendadak Andi meminum satu gelas wine dan mencium teman pria di sebelahnya. Satu ruangan langsung meledak dalam tawa sementara teman pria yang dicium Andi langsung menyeka bibirnya dan marah-marah. "Jadi, kau lebih memilih mencium pria dibanding mencium Fori?" tanya Hannah dengan sengaja dan membuat yang lain kembali tertawa. "Wah, kasihan sekali Fori. Kau ditolak mentah-mentah oleh Andi!" Fori meremas bagian bawah roknya dengan keras. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menumpahkan tangisnya di sana. Pria yang ia sukai sejak SMP baru saja memilih mencium teman prianya dibanding mencium Fori, dan Hannah mempermalukan Fori karenanya. Ia benar-benar merasa terpukul dan ingin meledak dalam tangisan namun ia sekuat tenaga menyembunyikan rasa malu dan sedihnya. Sepanjang sisa malam itu, Fori yang linglung terus memilih opsi dare karena takut dan itu membuatnya wajib terus menerus meminum wine hingga kepalanya pusing. Karena merasa mual, Fori kemudian meminta ijin ke toilet sebentar, menyusul Hannah dan teman-temannya yang sudah lebih dulu ke toilet. Namun langkah gontainya terhenti di depan pintu toilet saat mendengar suara keras tawa Hannah dari dalam. "Kau gila, kau sengaja melaporkan ke kepala sekolah bahwa ada minuman keras di ruangan panitia prom??" tanya teman Hannah yang bernama Mira kepada perempuan itu. Fori bisa mendengar gema suara mereka dari dalam dan mematung di depan pintu toilet. "Aku sudah membuat SMS laporannya dari ponselku yang satu. Mereka tidak akan tahu kalau aku yang melaporkannya." "Bagaimana kalau kita ketahuan?!" "Tidak masalah karena mereka tidak bisa melakukan apa pun pada kita. Berbeda masalahnya untuk Fori. Jika ia tertangkap melanggar hukum dengan ketahuan minum alkohol, maka bantuan dana kuliahnya akan dicabut yayasan dan ia tidak perlu berada di kampus yang sama dengan kita nanti." "Wah, ternyata rencanamu sangat matang dan brilian! Kau memang mengerikan, Hanah!" Gank Hannah tertawa dari dalam namun Fori di luar terdiam. Air matanya menetes dan ia menangis di sana. Ia tidak pernah paham mengapa Hannah dan teman-temannya bisa sampai di luar batas seperti itu, hanya karena tidak suka dengan Fori yang tidak sama statusnya dengan mereka. Ia tidak pernah paham mengapa mereka sangat berusaha menghancurkan masa depan Fori. Namun malam itu, Fori tahu apa yang harus dilakukannya. Ia harus pergi. Ia tidak perlu berada di sana - di tempat di mana tidak satu pun orang menyukainya. Fori pun berjalan cepat keluar pintu lorong sekolahnya, dan berlari ke luar gerbang sambil menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD