2-Minggu Terburuk

2134 Words
Dia datang mengganggu hari tenang. Mungkinkah dia datang hanya untuk memberikan kenangan? Atau sama-sama membuat kenangan? ***   Gavarlo Baktirajasa lelaki berusia tiga puluh tahun yang bekerja menjadi arsitek-dulu ketika masih di NY. Sekarang, dia belum mencari pekerjaan di Jakarta. Pikirnya, dia ingin bersantai dulu setelah bertahun-tahun terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Varlo meneguk kopi di depannya, tatapannya tidak sedikitpun teralih dari ponsel. “Ck! Masih gak aktif!!!” Varlo meletakkan ponsel ke meja makan dengan sedikit melempar. Dia kesal dengan Jasmine yang dari semalam tidak bisa dihubungi itu. Jasmine. Mengingat nama itu membuat Varlo ingat mulut pedas wanita itu. Dia terkekeh geli, ingat ketika di kolam renang tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan seorang wanita. Saat itu Varlo memang tidak begitu mendengarkan makian wanita itu. Dia terlalu asyik menatap wajah Jasmine yang memerah karena marah. “Udah bangun lo?” Varlo menegakkan tubuh, melihat Valan duduk di seberang meja. Varlo meneliti penampilan adiknya itu: kaus putih dengan handuk biru melingkar di leher. “Mau jogging?” Bukannya menjawab pertanyaan adiknya, Varlo malah bertanya. Valan yang mendapat pertanyaan seperti itu mengangguk singkat. Varlo mengambil ponsel mengecek notif dan tidak mendapat satu pesan apapun. Dia mendesah lelah. “Wanita itu ke mana, sih. Nggak bunuh diri beneran, kan?” gumamnya bergidik ngeri jika Jasmine memang benar bunuh diri. Valan tertarik dengan sikap aneh kakaknya itu. Selama seminggu kakaknya itu jarang memainkan ponsel, bahkan terkesan tak acuh tapi dari semalam Varlo selalu menggenggam ponsel. “Nunggu pesan dari siapa, sih?” Varlo menatap adiknya itu dengan senyum merekah. “Sahabat lo.” “Ha? Jasmine maksud Kakak? Kak, jadi beneran ngajak Jasmine pacaran?” “Yups.” Valan menggeleng, kaget dengan kenyataan itu. “Nggak ada udang di balik batu, kan?” selidiknya. “Sekarang nggak jaman udang di balik batu. Adanya udang di balik bakwan.” Valan menatap kakaknya tajam. Dia berbicara serius malah dijawab bercanda. Valan tahu sifat kakaknya yang terkesan humoris tapi tidakkah tahu waktu mana waktu bercanda dan serius. “Kak gue serius, jangan lo permainin Jasmine. Dia sahabat gue.” Kini giliran Varlo yang menatap Valan dengan tatapan menyelidik. Terlihat jelas Valan tidak akan membiarkan Jasmine dipermainkan. “Lo nggak cinta sama sahabat lo sendiri, kan?” “Enggaklah, Kak. Gue udah punya pacar, tapi dia kan sahabat gue. Gue nggak bakal ngebiarin lo nyakitin dia.” “Nggak akan nyakitin. Gue bakal ajak dia ke suatu keadaan yang selama ini belum pernah dia rasain.” Ucapan ambigu Varlo membuat Valan mulai kesal. Valan berdiri, kedua tangannya menyentuh meja makan. “Kalau Kakak nyakitin Jasmine, liat apa yang gue lakuin.” “Terserah, yang penting sekarang Jasmine pacar gue.” Valan menghempaskan tubuhnya di kursi. Dia lelah memberi tahu kakaknya yang keras kepala itu. “Tapi dia nggak mau pacaran sama lo,” ucapnya lelah. Varlo mengangkat bahu tak acuh. Dia menyeruput kopinya sambil memejamkan mata, menikmati rasa pahit yang menggoda lidahnya. “Nggak peduli, yang penting gue udah anggap dia pacar gue.” “Lo udah tiga puluh tahun, Kak. Masih aja suka maksa, kayak anak kecil.” Varlo berdiri lalu mengacak rambut adiknya gemas. “Lo inget pepatah banyaknya usia bukan menjamin kedewasaan? Nah, itulah yang gue alamin.” Valan menepis tangan kakaknya. Dia beranjak, lalu berjalan keluar rumah. “Ke mana lo, Lan!!!” teriak Varlo. “Jogging.” “Sama Jasmine nggak?” “Ya!!” Varlo yang masih di dapur tersenyum lebar. Dia berlari keluar rumah lalu masuk ke mobil Valan. “Gue ikut. Mau ketemu pacar.” Valan yang baru memasang sabuk pengaman seketika menoleh. Dia menarik napas panjang menduga sebentar lagi akan ada mulut antara Jasmine dengan kakaknya.   ***   Minggu pagi Jasmine berantakan. Hari Minggu yang selama ini menjadi hari tenang seketika berantakan karena kehadiran Varlo yang ikut rutinitas joggingnya. Jasmine dan Valan memang sering jogging bersama di kompleks perumahan wanita itu tapi kali ini jogging mereka terganggu karena kehadiran lelaki gila itu. “Jangan cemberut gitu. Pengen nyium jadinya.” Jasmine menghentikan langkah. Dia menatap Varlo yang berlari mendekatinya itu. Jasmine menatap lelaki yang mukanya dewasa, tapi sifatnya tak sesuai dengan wajahnya itu. “Bisa nggak, nggak usah ganggu gue?” tanyanya ketus. “Nggak bisa. Gangguin kamu itu hobi baruku.” Jasmine memutar bola matanya malas. Dia berbalik lalu melanjutkan larinya, mencari keberadaan Valan yang tadi meninggalkannya itu. “Sialan dia ninggalin gue,” gerutu Jasmine. “Nggak baik pagi-pagi ngumpat.” Jasmine tidak menoleh tahu suara itu tentu milik Varlo. Dia lebih memilih mencari keberadaan Valan dengan menengok ke kiri dan ke kanan hingga matanya melihat sahabatnya itu tengah duduk di sebuah bangku. Jasmine lalu mempercepat larinya ke arah Valan. Di belakang Jasmine, Varlo berlari dengan santai. Dia terkekeh melihat Jasmine yang berlari terlalu kencang itu. Varlo lalu berlari sedikit kencang mengejar Jasmine, ingin menggoda wanita itu lagi. “Sialan lo ninggalin gue,” ucap Jasmine setelah duduk di sebelah Valan. Jasmine menyelonjorkan kaki, dadanya naik turun karena aksi larinya barusan. Dia lalu menoleh ke Valan yang membisu. “Lo kenapa?” Valan menggeleng masih dengan menatap ke depan. Dari kejauhan dia melihat kakaknya tengah dikerubungi beberapa wanita. Tatapan Valan lalu tertuju ke Jasmine. “Gue ingetin. Lo jangan sampai tergoda sama kakak gue. Dia suka gonta-ganti cewek. Gue nggak mau lo jadi korban selanjutnya.” Jasmine memandang Valan, melihat tatapan lembut dari sahabatnya itu. Dia mendekat lalu memeluk sahabatnya. “Makasih ya, lo perhatian banget ke gue.” “Inget pesan gue, Jasmine,” bisik Valan sambil membalas pelukan Jasmine. “Ehem.” Pelukan kedua sahabat itu terlepas karena kehadiran seorang pengganggu. “Apaan sih lo ganggu aja!!!” ucap Jasmine ketus. “Nggak ganggu, Sayang. Kamu kan pacarku, ngapain peluk-peluk adikku?” “Gue bukan pacar lo, gila!!” Valan menutup telinga mendengar makian Jasmine yang begitu kencang itu. Dia mendongak, melihat kakaknya yang terkekeh. Valan lalu mengusap pundak Jasmine agar sahabatnya itu lebih tenang. “Gue minta minum dong,” ucap Varlo ke Valan. Valan mengulukan air mineralnya. Varlo menerima air mineral itu dan meminum beberapa teguk. Lalu dia menyiram wajahnya dengan air mineral. Varlo memejamkan mata menikmati air dingin itu mengguyur wajahnya. Siapa sangka, tindakan itu membuat para wanita yang sedang berlari berhenti dan menatapnya penuh minat. Jasmine yang duduk di bangku, mendongak menatap Varlo yang membasahi wajahnya dengan air mineral itu. Ganteng juga nih cowok. Sadar dengan apa yang dipikirkan, Jasmine buru-buru mengalihkan pandang. Tidak seharusnya dia memuji lelaki gila itu. “Dasar sok ganteng,” gerutunya kemudian. “Pacarmu memang ganteng.” Jasmine tersentak melihat wajah Varlo yang terlampau dekat dengan wajahnya. Dia segera berdiri, menarik tangan Valan lalu menariknya menjauh. “Kita pulang aja yuk! Males gue di sini.” Varlo menatap kepergian Jasmine dan Valan. Varlo tidak akan menyerah untuk mendapatkan Jasmine.   ***   Jasmine menutup mata dengan potongan mentimun. Sore hari dia ingin meregenerasi sel-sel kulitnya. “Ah tenangnya,” gumamnya. Sore hari di hari Minggu, Jasmine sering menghabiskan waktu untuk perawatan wajah. Dia lalu menyentuh pipinya yang tertutup oleh masker wajah yang masih basah. “Tidur aja, deh.” Jasmine memejamkan mata. Sekarang matanya terasa dingin dan segar karena potongan mentimun sedangkan tubuhnya terasa relaks karena angin sore yang membuatnya tenang. Dia hendak terlelap ketika merasakan ada yang mengecup puncak kepalanya. Kedua tangan Jasmine menyingkirkan potongan mentimun dari mata lalu mendongak. Dia melotot melihat siapa yang berdiri di belakang kursinya itu. “Orang gila!! Ngapain lo ke sini!!!” Varlo terkekeh kecil lalu duduk di sisa kursi pantai yang diduduki Jasmine. Perhatiannya lalu tertuju ke wajah Jasmine yang tertutup masker berwarna putih itu. “Ngapelin pacarlah,” jawabnya. “Gue bukan pacar lo, Varlo!!” Tangan Varlo menggapai tangan Jasmine dan menggenggamnya erat. “Baru pertama ini loh kamu manggil namaku,” ucapnya lembut. “Bodoh amat!!” Jasmine menyentak tangannya yang berada di genggaman Varlo. Dia turun dari kursi lalu berjalan menjauh. “Jas!! Pacar kamu dibuatin minum dong!!” Terdengar teriakan mamanya dari dalam. Jasmine melotot, tatapan horornya lalu tertuju ke Varlo. “Lo ngomong apa aja ke mama?” Varlo mengangkat kedua kaki. Dia sekarang berbaring di kursi pantai dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala. “Eh orang gila!! Lo ngomong apa aja ke mama?” tanya Jasmine tak sabaran. Jasmine mendekat, menarik tangan Varlo agar turun dari kursi. Namun, yang terjadi adalah Varlo menarik hingga tubuh atas Jasmine menubruk dadanya. “Ngomong kalau aku pacarmu.” Varlo tersenyum puas ketika Jasmine diam tak berkutik. Dia memanfaatkan kesempatan itu dengan memeluk pinggang Jasmine dengan erat. Hidungnya menghidu aroma tubuh wanita itu yang begitu harum, harum teh jasmine. “Wangi banget, sih,” bisiknya. Jasmine baru sadar dengan posisinya. Dia hendak bangkit, tapi tangan Varlo menahan pinggangnya. Sekuat tenaga Jasmine mendorong d**a Varlo tapi wanita itu kalah tenaga. “Diem sebentar bisa nggak, sih? Lagi enak posisi kayak gini.” “Tapi gue nggak bisa napas tahu! Lo bau! Nggak mandi, ya?” Jasmine tersenyum puas ketika Varlo dengan cepat melepas pelukan itu. Dia buru-buru berdiri lalu menjauh. “Lo pulang, deh. Minggu gue kacau gara-gara lo!!” ketusnya. “Nggak bisa, dong. Kan apel pacar. Lagian mama kamu nyuruh aku nemenin kamu buat nanti malam.” “Maksud lo?” tanya Jasmine cepat. Varlo mengubah posisinya menjadi duduk lalu tersenyum miring. Dia merasa hari ini beruntung. Datang ke rumah Jasmine mengenalkan diri sebagai pacar dan diterima dengan tangan terbuka oleh mama Jasmine. “Mama kamu nanti mau jemput papa kamu, katanya. Terus mau kondangan. Jadi kamu di rumah sendiri. Dan mamamu minta aku nemenin putri cantiknya,” jawab Varlo dengan senyum puas. Berbeda dengan Jasmine, mukanya terasa panas menahan emosi. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Kehadiran lelaki gila itu memang menguras tenaganya.   ***   “Jangan deket-deket gue!!!” Jasmine mengulurkan tangannya ke arah Varlo, meminta agar lelaki itu tak dekat-dekat dengannya. Minggu pagi Jasmine rusak karena Varlo mengusik acara joggingnya. Minggu sore, juga rusak karena Varlo mengganggu waktu santainya. Dan Minggu malam juga rusak karena Varlo menemaninya di rumah. Jasmine tidak tahu kenapa Minggu ini menjadi Minggu terburuk selama dua puluh delapan tahun hidupnya. Srek! Jasmine seketika menoleh ketika merasakan ada pergerakan. Dia mengacungkan jari tengah. Dia begitu kesal ke Varlo, dilarang dekat-dekat malah semakin dekat. “Mau deket sama pacar sendiri masa nggak boleh.” “Nggak boleh. Lo bukan pacar gue.” Varlo tidak peduli omongan Jasmine. Lelaki itu semakin gencar mendekat. Dirasa Jasmine sudah duduk di ujung sofa, Varlo segera menarik wanita itu dan memeluknya erat. “Gini kan enak. Nonton tv sambil pelukan,” ujarnya. Jasmine berontak dalam pelukan Varlo. Kedua tangannya memukul, mencakar dan mencubit lengan Varlo tapi pelukan itu tak kunjung terlepas. “Varlo!! Ihh gue risih lo peluk.” “Lama kelamaan nggak bakal risih, Sayang.” Jasmine mengembuskan napas lelah. Sepertinya lelaki ini tak bisa diingatkan hanya dengan ucapan. Dia melirik Varlo yang sekarang tengah menyandar di pundaknya. Jasmine tersenyum sinis, tangannya terangkat lalu menarik rambut Varlo kencang. “Ahh!! Jas!! Sakit, Sayang!!!” Varlo melepas pelukannya. Tenaga Jasmine begitu kuat hingga Varlo merasa rambutnya akan lepas semua dari kepala. “Haha! Makanya jangan peluk-peluk.” Jasmine turun dari sofa lalu menjulurkan lidah ke Varlo. Tidak lupa dia mengacungkan jari tengahnya. “Hahaha.” Jasmine tertawa penuh kemenangan. Varlo berdiri. Kepalanya terasa berkedut tapi dia tidak peduli. Dia ingin memberi pelajaran ke wanita itu. “Eh mau apa lo?” tanya Jasmine panik ketika Varlo berjalan ke arahnya. Jasmine menyadari akan ada bahaya mengancam. Dia buru-buru lari lewat pintu samping menuju ke belakang rumah, lalu bersembunyi di balik pohon jambu. Varlo tersenyum puas, jelas tempat Jasmine bersembunyi membuatnya senang. “Kamu bersembunyi di tempat yang salah.” Jasmine menoleh dan terkesiap melihat Varlo berdiri beberapa langkah di sebelahnya. “Aaaa!!!” teriak Jasmine kencang. Varlo langsung membungkam bibir Jasmine yang terbuka. Dia lalu menarik Jasmine ke dalam pelukannya dan memperdalam ciumannya. Jasmine kaget bukan main merasakan sesuatu yang kenyal itu bermain di bibirnya. Dia melotot melihat Varlo yang begitu menikmati ciuman sepihak itu. Tangan Jasmine terangkat lalu mendorong d**a Varlo kencang. Jelas Varlo tidak tinggal diam. Dia mengunci kedua tangan Jasmine lalu membimbing tangan wanita itu ke pundaknya. “Nikmati ciuman ini,” kata Varlo ketika melepas ciumannya. Jasmine hendak protes tapi dia kalah cepat dengan bibir Varlo yang membungkamnya lagi. Dia merasakan bibirnya dibelai lembut oleh bibir Varlo. Harusnya Jasmine marah tapi merasakan ciuman yang begitu lembut itu membuatnya tidak bisa melakukan itu. Dia malah memejamkan mata menikmati ciuman Varlo. Beberapa saat kemudian Varlo melepas ciumannya. Keningnya menempel di kening Jasmine. Varlo terkekeh melihat Jasmine yang menatapnya dengan mata melotot tapi lelaki itu tahu jelas tatapan itu bukan tatapan marah, tapi malu. “Kamarmu di mana?” tanya Varlo. “Di dalem rumah.” Varlo terkekeh, tangannya mengusap pipi Jasmine naik turun. “Kita ke kamar,” ucap Varlo. Mata Varlo tertuju ke mata Jasmine. Dia melihat kebingungan dari mata itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD