Bagian 11
Jodoh untuk Adam
Sepulang bekerja hari ini, dari pantry Ajeng melanjutkan langkah kakinya menuju ke lantai 3. Ia hanya ingin mencoba. Barangkali saja akhirnya ia bisa bertemu dengan Iham di ruangannya. Bukankah beberapa saat lalu Iham pernah bilang pulang sehabis isya?
Ajeng sengaja sudah berpesan kepada Afif untuk tidak menunggunya pulang. Ia akan pulang sendiri naik busway atau ojek.
Terus melangkah lurus setelah keluar dari lift, Ajeng pun menemukan persimpangan. Ia memutuskan berbelok menuruti kata hatinya. Hingga sampailah ia di ruangan manajer keuangan, Ajeng pun berhenti tepat di depan pintu. Ia menimbang, apakah perlu baginya untuk mengetuk pintu atau tidak? Karena dari nyala lampu di dalam, Ajeng yakin sekali bahwa yang bersangkutan masih berada di dalam ruangan.
Baru saja hendak mengetuk, Ajeng melihat pintu ruangan terbuka. Iham bukan yang berada di hadapannya saat ini melainkan seseorang yang juga sangat familiar baginya. "Pak Adam?"
Adam terlihat kaget sebentar, tapi beberapa saat kemudian ia pun berpura-pura marah. "Ngapain kamu di sini? Bukannya pulang!" ujarnya dengan mata melotot tajam.
Ajeng menunduk. "Maaf, Pak. Saya mau bertemu Pak Iham sebentar."
"Pak Iham sedang sibuk. Kamu lebih baik ikut saya," Adam tidak memberikan Ajeng waktu untuk bicara lagi. Ia menarik lengan Ajeng dan terus membawanya sampai lift. "Kamu ini seharusnya pulang. Bukannya keluyuran di kantor malam-malam. Kamu gadis baik-baik kan?" tanya Pak Adam sambil melepaskan cengkramannya dari lengan Ajeng.
"Saya kan udah bilang mau ketemu Pak Iham, Pak. Saya sama sekali enggak keluyuran."
"Kamu ini pintar ngeles saja!" Beberapa saat kemudian Adam pun berdecak. "Pokoknya lain kali saya lihat kamu keluyuran di kantor dan bukannya cepet pulang, saya akan menghukum kamu keesokan harinya. Anggap saja hari ini kamu sedang beruntung."
"Tapi, Pak. Saya kan cuma ..."
"Enggak ada tapi-tapian," Adam memotong cepat, bersamaan pula dengan pintu lift yang terbuka. Adam pun mendahului Ajeng keluar dari ruangan lift yang sempit kemudian menuju basement.
Ajeng mendengus kesal beberapa saat sambil melangkah ke lobi kantor yang sudah gelap. Meskipun penerangan nampak samar, Ajeng yang sudah hapal seluk beluk lobi pun segera keluar dari pintu depan kantor.
Udara malam yang dingin alami mulai terasa dikulitnya. Ajeng mempercepat langkah kakinya kemudian berhenti di pos satpam, dimana Pak Asep sedang bermain catur dengan satpam baru di kantor.
"Malem, Pak Asep, Pak ..." Ajeng tak sanggup melanjutkan kalimatnya karena belum mengetahui nama teman Pak Asep.
Pak Asep menoleh kemudian tersenyum. "Loh Ajeng baru balik? Tadi Afif balik sama siapa dong?" tanyanya bingung.
"Paling juga Mbak Gita, Pak. Pak baru masuk kerja ya?" Ajeng menoleh ke satpam baru.
"Oh iya, Neng." Satpam baru itu tersenyum ke arah Ajeng. "Pulangnya sendiri, Neng?"
Ajeng mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia pun kemudian menoleh ke arah Pak Asep. "Kalau ojek masih pada lewat enggak ya, Pak? Udah jam segini lagi." tanya Ajeng.
"Masih, Jeng. Cuma jarang-jarang. Agak lama nunggunya. Atau kamu mau Bapak anterin ke halte busway aja?" Pak Asep menawarkan diri. Ia kasihan kepada Ajeng, menurut gosip dari orang pantry, katanya Ajeng sekarang bekerja di ruangan Pak Adam, CEO yang terkenal tidak ramah dan jarang tersenyum itu juga katanya suka sekali mengerjai gadis baik di hadapannya saat ini. Bahkan jika bukan karena Afif, Ajeng pun sudah harus terbiasa pulang sendirian seperti sekarang.
"Gimana ya, Pak? Bapak enggak merasa terepotkan kalau harus nganterin aku ke halte busway?" tanya Ajeng.
Pak Asep menggeleng. "Tenang aja, sekarang kan ada Pak Lukman. Iya kan, Pak?"
"Iya, enggak apa-apa. Daripada kamu nunggu di sini kelamaan. Kan bisa-bisa kamu menginap di pos, Neng."
Mendengar ucapan Pak Lukman, Ajeng jadi bergidik. Ia tentu tidak mau menginap di pos satpam. Ia lebih suka kembali ke kamarnya yang kecil tapi mampu memberikannya kasur empuk dan kenyaman. "Ya udah, Pak."
Pak Asep pun perlahan melangkah di samping Ajeng. Tapi belum sampai gerbang kantor, terdengar bunyi klakson mobil dan lampu terang dari belakang mereka. Tahu mobil akan keluar, Pak Asep pun segera membuka pintu gerbang lebih lebar lagi.
Ajeng melihat pemilik mobil itu adalah bosnya. Sayangnya saat gerbang terbuka, mobil itu pun melaju dengan cepat. Tak mengucapkan terima kasih pada Pak Asep, juga tidak menawarkannya untuk menumpang.
"Ayo, Jeng! Jalan lagi!" Pak Asep menunggu Ajeng.
Ajeng yang beberapa saat terdiam pun kembali melangkah. Ia pun iseng bertanya pada Pak Asep. "Pak, tadi itu mobilnya Pak Adam ya?"
Pak Asep tertawa kecil. "Iya. Kamu emangnya belum hapal mobil pemilik kantor ini gimana?"
"Naik mobil aja kelihatan songongnya ya, Pak." Ajeng terkekeh. Ia tidak ingin menganggap obrolannya mengenai Pak Adam terdengar seperti orang yang membenci sekali.
Pak Asep balas tertawa sambil menjawab. "Dari pertama kali Bapak kerja di sini juga begitu, Jeng. Bapak sih enggak aneh. Kamu sendiri gimana kabarnya setelah bekerja di ruangan Pak Adam?"
"Begitulah, Pak. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Yang pasti orangnya gampang marah apalagi kalau sedang menerima telepon."
"Hahaha, kamu yang sabar ya, Jeng. Kerja sama Pak Adam memang gampang-gampang susah."
"Salah, Pak. Yang bener itu, susah susah susah." Ajeng pun tertawa. Selama perjalanan menuju halte busway mereka mengobrol ngalor ngidul sampai akhirnya Ajeng dapat busway sementara Pak Asep kembali pulang ke pos.
***
Adam sampai di rumahnya dan segera menuju kamar. Ia segera mandi kemudian memakai pakaian yang pantas untuk makan malam bersama keluarganya. Sesampainya di ruang makan, kedua orang tuanya sudah menunggu.
"Iham tadi pesan, katanya dia enggak bisa ikut malam bersama," ujar Adam sambil duduk dengan apik di kursi makan yang biasa ia duduki.
"Kenapa?" tanya sang ayah. Papa Reno memang selalu kritis terhadap tingkah kedua anaknya.
"Dia mau menyelesaikan tugas keuangannya. Seperti yang Papa tahu, jadi manajer keuangan itu enggak mudah kan?" Adam balik bertanya. Sang ayah yang memang dulunya bekerja sebagai manajer keuangan di kantor pun mengangguk.
"Biar dia tahu susahnya Papa nyari uang dulu." Papa menjawab dengan nada tidak terlalu peduli. "Kantor kamu sendiri bagaimana?"
"Enggak ada yang berubah, Pa. Masih stabil dan menuju grafik kemajuan."
Papa tersenyum. "Bagus, kalau gitu udah enggak ada masalah lagi."
Adam tidak menanggapi ucapan ayahnya. Ia membalik piring di depannya kemudian mengambil nasi.
"Adam," ujar Mama Santi.
Adam yang sudah selesai mengambil nasi pun menoleh sebentar ke arah ibunya.
"Maksud Papa tadi, kamu kapan cari menantu untuk kita, Nak?"
Adam meletakan ayam bakar ke piringnya dengan santai. Ia tahu pembahasan seperti ini akan diulang setiap saat. "Aku lagi nyari kok, Ma. Mama sama Papa tenang saja."
"Tapi Papa mau cepet gendong cucu, Dam." Papa bersuara dengan nada meminta.
"Atau mau Mama cariin? Ada kok anaknya Tante Sarah, Mama udah ketemu orangnya, namanya Ria, anaknya baik dan santun. Cocok sama kamu."
"Aku enggak mau dijodoh-jodohkan seperti itu, Ma. Aku masih mampu mencari jodohku sendiri." Adam menolak dengan lembut rencana ibunya.
"Tapi apa salahnya untuk ketemu dulu sama Ria. Mama yakin kamu juga akan suka sama Ria, seperti Mama suka sama dia."
Adam tetap menggeleng. Ia sama sekali tidak menjawab dan memilih memakan makan malamnya dalam diam.
Kedua orang tua Adam itu pun tidak bisa banyak bicara lagi. Anaknya sudah membuat keputusan.
***
Iham baru saja sampai rumah pukul 9 malam. Ia meletakan tas kerjanya di atas kursi makan sedangkan dirinya sedang menegak air putih dari dalam lemari es.
"Baru pulang, Ham?"
Iham menoleh ke arah suara yang memanggilnya kemudian menyudahi minumnya. "Iya, Pa."
Papa Reno yang sudah berniat menunggu putra keduanya pun perlahan duduk di kursi makan. "Kamu sudah makan malam?"
"Tadi udah makan di jalan, Pa." Iham duduk di samping ayahnya kemudian menunggu. Ia tahu, pasti ayahnya ingin mengatakan sesuatu sampai menunggunya pulang seperti sekarang.
"Papa minta bantuan kamu," ujar Papa Reno membuat Iham terlihat bingung.
"Bantuan apa, Pa?"
"Kamu pasti punya temen perempuan kan? Tolong kamu comblangin ke kakakmu. Papa terserah saja perempuan itu bagaimana? Yang penting kakakmu sreg dan mau menikah secepatnya."
"Papa apa-apaan sih? Yang begini seharusnya Papa tanyain langsung ke Mas Adam. Nanti kalau Mas Adam enggak berkenan buat dicomblang-comblangin bagaimana? Aku juga yang nantinya kena semprot."
"Papa tahu kakakmu enggak akan menolak permintaan kamu. Kamu lakuin aja seperti yang Papa minta." Papa kemudian bangkit berdiri. "Papa percaya kamu bisa cariin jodoh yang baik untuk kakakmu sendiri." Setelah itu, Papa pun pergi meninggalkan Iham seorang diri.
Iham mendesah setelah beberapa saat terdiam. Ayahnya ini entah kapan tidak lagi memerintah keluarganya? Seharusnya ia meminta baik-baik bukan asal perintah kemudian angkat kaki. "Papa, Papa...."
"Kenapa, Ham?" Adam yang baru masuk ke dalam ruang makan menatap adiknya curiga. Ia tadi mendengar adiknya menggerutui ayah mereka. "Papa kenapa?"
"Eh, Mas. Enggak ada apa-apa kok. Mas tumben masih keluar kamar?"
"Emang enggak boleh?" Adam bertanya ketus. "Aku yang hidup, kenapa kamu yang ribet?"
"Bukan gitu, Mas. Oh ya, tadi Ajeng bilang enggak mau ngapain ke ruangan aku?" tanya Iham mengalihkan topik pembicaraan.
Adam mengedikan bahu, tidak acuh. "Paling juga minta anter."
"Emang dia enggak bareng sama temen OB-nya?" tanya Iham, khawatir.
"Enggak tahu. Aku bukan babysitter-nya. Lagipula ngapain sih kamu ngurusin tuh cewek? Inget kamu udah janji enggak akan deket-deket dia lagi."
Iham mendesah pasrah. "Aku tahu, tapi kan kasihan kalau dia harus pulang sendirian. Daerah perkantoran kita kan jarang dilewati ojek kalau udah malam."
"Itu masih sore. Udahlah dia pasti udah pulang sekarang. Udah gede juga." Adam tidak mau tahu. Ia kemudian beranjak berdiri lalu meninggalkan adiknya seorang diri di ruang makan.
Iham menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat kakaknya yang berlalu pergi. Perasaannya benar, kakaknya itu membenci Ajeng dan tidak suka melihatnya dekat dengan Ajeng. "Mas Adam, Mas Adam. Awas benci jadi cinta!" ujar Iham sambil tersenyum tipis. Ia pun ikut bangkit berdiri kemudian melangkah meninggalkan ruang makan sambil menjinjing tas kantornya.[]
***
bersambung>>>