Bagian 12
Nomer Iham
Bagian yang paling mendebarkan bagi Ajeng adalah saat menunggu bosnya datang dan memulai sesi menyiksanya setiap pagi hari. Ia kini sudah berada di ruangan CEO dan kini sedang membersihkan lemari yang berada di ruangan Pak Adam.
Terhitung sudah 15 menit ia berada di sana. Berdiri sambil mengelapi lemari di ruangan Pak Adam sambil berdendang dengan suara pelan.
"Ajeng!"
Suara yang cukup tegas dan tiba-tiba itu membuat Ajeng yang sejak tadi santai-santai saja seolah terkena serangan jantung. Ia memegang dadanya dramatis kemudian perlahan menoleh ke belakang. "Pak Adam," gumam Ajeng sambil tersenyum paksa.
Adam tidak membalas ucapan Ajeng dan lebih memilih berjalan kemudian duduk di kursi kerjanya.
Ajeng yang merasa tidak dipedulikan pun kembali melanjutkan bersih-bersihnya.
Meskipun awalnya Adam tidak mempedulikan Ajeng, tapi lama kelamaan ia pun melirik Ajeng yang sedang bersih-bersih. Rasanya tidak pas saat ia melihat Ajeng berdiri santai sambil mengelap lemari. "Ajeng!"
Panggilan Adam yang lebih lembut membuat Ajeng tidak terlalu kaget. Ia menoleh ke belakang dan menatap bosnya dengan tatapan bertanya.
"Mana kopi saya?" tanya Adam pendek.
Mendengar kopinya dipertanyakan, Ajeng pun menunduk. "Saya akan segera buatkan, Pak." Dan tanpa intruksi lagi, Ajeng pun segera beranjak dari tempatnya berdiri. Tapi saat membuka pintu ruangannya, Ajeng kembali mendengar namanya dipanggil oleh Adam. "Iya, Pak?" tanya Ajeng.
Adam yang beberapa saat terdiam pun kembali menggeleng. "Tidak jadi sajalah!"
Ajeng pun mendesah. Tanpa mengungkapkan kekesalan dalam hatinya ia pun keluar dari ruangan tersebut.
***
"Mas Iham," panggil Ajeng setengah berteriak. Ia yang baru saja keluar dari dalam lift melihat Iham yang baru saja melewati lobi kantor.
Iham yang merasa dipanggil pun menoleh ke depannya. Ia mendapati Ajeng di depan matanya. Sedang berjalan dengan senyuman lebar yang langsung mengingatkannya pada Jingga kemudian berhenti di depannya.
"Mas Iham, apa kabar?" tanyanya dengan suara lembut nan ceria.
Iham yang baru sadar kebodohannya pun meringis kecil. Ia menatap Ajeng dengan raut khawatir. Yang ia khawatirkan saat ini tidak lain karena kakaknya sendiri. Apa jadinya jika kakaknya melihatnya sedang bersama Ajeng? Bisa-bisa Adam mengiranya masih sering bertemu dengan Ajeng?
Laki-laki itu menoleh ke samping kanan dan kirinya. Setelah melihat keadaan aman ia pun menatap Ajeng dengan senyum terpaksa.
"Mas Iham kenapa?" tanya Ajeng lagi. Ia bingung dengan tingkah Iham.
"Eh, enggak apa-apa kok." Iham tertawa kecil kemudian mengusap rambutnya. "Pak Adam ada di ruangannya, Jeng?"
"Oh iya, Mas. Baru aja datang. Mas mau bertemu Pak Adam? Mau sekalian aku buatin kopi?" tanya Ajeng ramah.
Iham segera menggeleng. "Kenapa, Jeng? Panggil aku?"
Ajeng tersenyum malu-malu. Ia menunduk kemudian menjawab pertanyaan Iham. "Enggak kenapa-napa sih, Mas. Aku cuma mau nyapa Mas Iham aja. Kan udah cukup lama juga aku enggak ketemu sama Mas Iham. Mas Iham kemana aja sih?"
"Aku enggak kemana-mana. Cuma lagi lumayan sibuk ngurusin kerjaan. Jadi manajer keuangan harus ekstra hati-hati dan teliti, Jeng. Apalagi aku baru kerja di sini, masih butuh adaptasi."
Ajeng menganggukan kepala beberapa kali. Jawaban Iham yang terdengar logis membuatnya percaya seratus persen. Padahal Iham sendiri tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Ia memang butuh adaptasi. Tapi sesuai dengan ucapan ayahnya, pekerjaan seperti ini hanya seperti kulit kulit kacang untuk dirinya.
"Kalau enggak ada lagi yang harus dibicarakan, aku permisi ya, Jeng."
Ajeng bingung harus bicara apa. Sepertinya Iham sedang ditunggu pekerjaannya saat ini. "Mas, lagi sibuk banget ya?"
Iham melihat ke belakang tubuh Ajeng kemudian menggeleng. Ia khawatir kakaknya tiba-tiba datang. "Enggak juga. Emang ada apa lagi, Jeng?"
Dengan memainkan kedua tangannya yang kini terjalin satu sama lain, Ajeng pun menjawab. "Aku mau ngucapin makasih ke Mas Iham," jawab Ajeng pelan.
Iham berhenti melihat ke arah sekitarnya terutama lift. Ia menatap Ajeng bingung dan bertanya, "Buat apa, Jeng?"
"Buat kebaikan Mas. Karena Mas aku enggak jadi dipecat sama Pak Adam."
"Itu lagi itu lagi," Iham menggelengkan kepalanya kemudian berdecak. "Kamu kan udah bilang waktu hari itu, Jeng."
"Ya sih," Ajeng menggaruk rambutnya yang tidak gatal kemudian tersenyum malu-malu lagi. "Mas Iham, boleh enggak kalau aku minta nomer HP-nya?"
Iham menatap Ajeng dengan geli kemudian tertawa renyah. "Jadi kamu manggil aku soalnya mau minta nomer HP aku?"
Ajeng malu bukan main. "Ehm, kalau Mas enggak mau kasih? Enggak apa-apa sih. Aku minta nomer Mas Iham supaya bisa gampang buat menghubungi Mas. Sekalian kalau gaji aku udah cair, aku mau mentraktir Mas makan nasi goreng langganan aku. Enak loh, Mas."
Iham tidak segera menjawab. Ia menatap Ajeng dan bayangan Jingga segera mengusiknya lagi. "Kamu beneran mau traktir aku? Uangnya sayang loh."
"Mas, ada-ada aja. Aku kan mau traktir Mas makan di deket kostan aku. Tempatnya kaki lima gitu jadi enggak akan menguras kantong. Mas mau tambah 3 piring juga aku jabanin."
Iham terkekeh geli. "Kamu kira perutku ini melarnya bisa lima kali lipat apa? Ya udah, mana HP kamu?"
Wajah Ajeng terlihat cerah. Ia pun segera mengambil ponsel genggamnya kemudian menyerahkannya pada Iham. Beberapa lama kemudian, ia pun kembali menerima ponselnya.
"Nanti kamu cek aja, Prince Charming namanya."
"Prince Charming?" Ajeng terlihat bingung sedangkan Iham setengah mati menahan tawanya.
"Kalau gitu aku pamit sekarang ya, Jeng? Enggak ada lagi kan yang harus diomongin?"
Ajeng mengangguk kecil. "Nanti aku SMS ya, Mas."
Iham balas mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruangannya.
***
Adam menatap pintu ruangannya dengan kesal. Ia melihat arlojinya lagi kemudian berdecak. "Kemana sih tuh Ajeng? Disuruh bikin kopi aja lama. Bego pasti nih cewek, dia pasti bikin kopinya ke Cikarang," gerutu Adam kepada dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian Adam menutup mulutnya rapat-rapat. Ia melihat Farah memasuki ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Gadis itu menutup pintu di belakangnya kemudian menatapnya dengan perasaan memuja.
"Selamat pagi, Pak!" sapa Farah dengan senyuman termanis yang mampu dibuatnya. Sayangnya senyuman itu malah salah ditafsirkan oleh Adam yang bergedik ngeri.
"Pagi," jawabnya pendek.
"Ini berkas yang Bapak minta semalam." Farah tersenyum lagi kemudian menegakan tubuhnya. Ia berdiri beberapa saat dalam diam sambil tersenyum menggoda.
"Apa ada hal lain, Farah?" tanya Adam dengan mata memicing. Ia tidak mengerti dengan sekertaris itu sudah jelas-jelas ia menunjukan rasa ketidaktertarikannya, tapi masih saja sikapnya seolah menggodanya.
"Ehm, tidak, Pak. Itu saja." Farah berhenti tersenyum kemudian menatap Pak Adam lagi. "Kalau ada apa-apa, Pak Adam bisa menghubungi saya."
"Saya biasanya melakukan itu. Kamu tidak perlu mengingatkan saya." Adam mulai terdengar ketus. "Kalau tidak kepentingan lagi, kamu bisa kembali ke meja kamu."
Mendengar kalimat usiran dari mulut Adam, Farah pun akhirnya membalikan tubuhnya. Baru saja berbalik, Farah mendengar bosnya kembali memanggilnya.
"Farah, tunggu sebentar!"
"Iya, Pak?" Farah penuh antusiasme berbalik menghadap Adam. "Apa Bapak butuh sesuatu?"
"Dimana Ajeng? Saya dari tadi menunggu dia. Kamu bisa cari dia ke pantry?" tanya Adam.
Farah menatap Adam tidak percaya. "Bapak nyuruh saya ke pantry cuma untuk nyariin OG itu?"
"Saya sedang pesen kopi ke dia. Seharusnya dia udah ke sini 10 menit yang lalu," ujar Adam kesal.
Mendengar nada suara Adam yang kesal. Farah pun perlahan mengingat sesuatu. "Kayaknya tadi saya lihat Ajeng deh, Pak. Ehm," Farah mengingat lebih jelas kemudian melanjutkan ucapannya. "Ehm, maksud saya. Saya denger dari karyawan kantor yang lain saat naik lift kalau Ajeng lagi ngobrol sama Pak Iham di lobi."
"Mereka mengobrol?" Adam terdengar menggeram. Ia sangat marah saat mendengar bahwa adiknya kembali menemui Ajeng. Padahal ia sudah sering mengingatkan Iham untuk tidak lagi berhubungan dengannya. Tapi mendengar ucapan Farah, ia jadi meragukan setiap pengakuan Iham. Ia pasti tidak benar-benar menjauhi gadis itu.
"Iya, Pak. Tapi saya sih enggak percaya kalau Ajeng bisa ngobrol sama Mas Iham."
Adam tidak mendengarkan ucapan Farah. Ia mendadak berdiri kemudian melihat jendela ruangannya yang besar dan menghadap keluar. "Mending kamu keluar dari ruangan saya sekarang, Farah."
Farah mendesah kemudian meninggalkan Adam. Membiarkan laki-laki itu menggeram kesal dan memaki dalam hatinya. Ia selalu saja bisa luluh oleh adiknya. Berapa kali ia sudah dijahili adiknya? Ya Tuhan ... kenapa sih adiknya itu bodoh? Bagaimana bisa adiknya bisa menyukai seorang OG?
***
Ajeng baru saja keluar dari lift. Ia membawakan baki berisi cangkir kopi kemudian melangkah keluar. Saat ia hendak membuka pintu ruangan Adam, Ajeng mendengar namanya disebut oleh suara wanita.
"Eh Ajeng!"
"Iya, Mbak Farah?" Ajeng menoleh ke arah Farah.
"Kamu ngapain tadi ngobrol sama Pak Iham?"
Ajeng menatap Farah dalam-dalam. Ia bingung harus menjelaskan seperti apa kepada sekertaris bosnya yang hari ini memakai pakaian kantor serba toska.
"Heh, kamu dengar saya ngomong kan!"
"Eh, i-iya, Mbak." Ajeng mengerjapkan matanya berkali-kali. Meskipun begitu wajahnya tetap terlihat bingung dan membuat Farah geram.
"Udahlah, percuma tanya ke kamu." Farah yang sudah tidak minat lagi mendengar jawaban Ajeng pun kembali menekuri pekerjaannya.
Merasa tidak diacuhkan, Ajeng pun kembali bergerak untuk membuka pintu ruangan Adam. Ia mengetuk pintu ruangan itu tiga kali kemudian mendorong pintu di hadapannya dengan tangan kiri. "Permisi, Pak."
Mendengar suara Ajeng, Adam yang sejak beberapa menit berdiri menghadap jendela pun membalikan tubuhnya. "Kemana aja kamu?" tanya Adam kesal. Ia berkacak pinggang dan melangkah mendekati Ajeng dengan wajah garang.
"Maaf, Pak." Ajeng menunduk dalam sambil merutuki kebodohannya. Ia sadar gara-gara mengajak ngobrol Iham ia jadi membuang-buang waktunya dan melupakan Pak Adam yang selama ini menjadi sumber masalah terbesar dalam hidupnya.
"Saya enggak minta permintaan maaf kamu. Saya tanya kamu kemana tadi?" Adam yang sangat kesal dengan refleks memukul meja di samping kanan tubuhnya.
Ajeng yang melihat kemarahan Adam pun hanya bisa menunduk. Ia tidak mungkin mengatakan dengan jujur pertemuannya dengan Iham. Itu masalah privasi, dan lagi ia tidak mau nama Iham disebut hingga pria itu mendapatkan masalah karena dirinya.
***
bersambung>>>