Bab 13
Rencana Pembunuhan
Bukan Ajeng namanya jika tidak tahan saat menghadapi Pak Adam. Sekarang sudah lewat sebulan dan ia berhasil melaluinya dengan baik. Awalnya memang sulit tapi lama kelamaan ia sudah terbiasa menghadapi Monster Adam.
Yap, Monster Adam adalah julukan baru yang ia berikan untuk bos besarnya.
"Ajeng," panggil Adam, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ajeng yang sedang memperhatikannya diam-diam.
Ajeng yang dipanggil tiba-tiba merasa gelagapan. "I-iya, Pak."
"Sini sebentar," ujar Adam lagi dengan intonasi normal. Dalam hati Ajeng yakin bahwa bosnya sedang dalam perasaan baik.
Ajeng tanpa ragu maju. Ia menghampiri Adam lalu berdiri di sampingnya. "Iya, Pak?"
"Coba lihat!" Adam memberikan isyarat. Jari telunjuk dan jari tengahnya bersatu kemudian ia menggoyangkannya sedikit.
Ajeng melihat ke arah berkas yang sedang diteliti Adam lalu mendekat untuk melihat dengan gerakan ragu-ragu.
"Apa yang kamu lihat?" tanya Adam pelan.
Mendengar suara Adam dari dekat, entah mengapa membuat Ajeng merinding. Menurutnya suara Monster Adam kelewat seksi. Bagaimana bisa suaranya yang biasanya tajam bisa terdengar seperti suara serak seksi milik penyanyi Bruno Mars? Ia tahu suara seksi itu dari Mbak Inggrid.
Ajeng menggelengkan kepalanya dengan pelan untuk menetralkan otaknya kembali lalu memperhatikan dengan seksama berkas dokumen yang berada di tangan Adam. "Tulisan, Pak?"
Adam tiba-tiba membanting berkas yang ia pegang. Ajeng yang melihat perubahan sikap Adam pun mulai menegakan dirinya. Dalam hati Ajeng yakin ada yang salah.
"Maaf, Pak. Sebenarnya apa yang salah?" tanya Ajeng takut-takut. Ia tidak mengerti kenapa Adam tiba-tiba ingin memarahinya. Padahal menurutnya hampir selama 2 hari kemarin, Adam cukup bisa menahan amarahnya yang memang dasarnya gampang meluap-luap.
"Kamu yang salah!" Adam menunjuk muka Ajeng dengan luapan amarah yang begitu besar.
Ajeng diam, tidak berkomentar.
"Kamu bisa enggak sehari aja enggak buat kesalahan?"
"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf."
"Saya bosen dengar kamu minta maaf! Kamu itu...." Adam mengepalkan tangannya dengan erat seolah hendak meninju Ajeng dengan bogemannya. Tapi tidak lama kemudian, Adam membuang kepalannya. Ia meraih gagang telepon yang berada di atas meja lalu menekan tombol 1. "Kamu ke ruangan saya sekarang." Setelah itu, Adam meletakan kembali gagang telepon di tempatnya.
Tidak sampai semenit, pintu ruangan Adam terbuka dan sekertarisnya masuk dengan wajah yang terlihat dipaksakan tersenyum. "Ada apa, Pak?"
"Kamu minta salinan berkas dari Manajer Keuangan secepatnya. Sekarang saya ada urusan dan akan pulang cepat. Cancel semua janji meeting dan buat jadwal ulang."
"Baik, Pak."
"Kamu boleh kembali ke meja kamu."
Setelah mendapat intruksi dari Adam, Farah pun seperti robot segera balik badan. Adam duduk di meja kerja kacanya sambil melipat tangan di depan d**a. Tatapan matanya kembali menusuk Ajeng. Tidak sampai semenit, Adam pun tertawa dengan wajah kesal. "Habis ini kamu ikut saya!"
"Apa, Pak?" tanya Ajeng sambil mendongak. Wajahnya makin takut. Apa jangan-jangan Adam akan membunuhnya sebentar lagi?
"Kamu jangan pura-pura budeg! Cepat siap-siap, saya tunggu kamu di lobi." Setelah mengatakan itu, Adam menyiapkan berkas-berkas penting yang akan dibawanya pulang lalu memasukkannya ke dalam tas. Ketika selesai dan melihat Ajeng masih mematung ditempatnya berdiri, ia pun berdecak keras. "Cepetan siap-siap! Sana ambil tas kamu!"
Ajeng dengan terpaksa menyeret kakinya ke luar dari ruangan kerja Adam. Ia benar-benar harus menyiapkan diri dengan segala kemalangan yang sebentar lagi terjadi padanya.
***
Untuk pertama kalinya Ajeng duduk di mobil Adam. Mobil mewah yang biasanya ia lihat dari kejauhan kini ia tumpangi. Ada rasa tidak percaya sekaligus ajaib. Tapi perasaan takjub itu tidak bertahan lama, ia merasakan ketakutan lebih dari biasanya. Bukannya dibeberapa film pembunuhan, target akan dibawa ke tempat yang jauh dulu sebelum akhirnya dibunuh?
Merasa tidak nyaman dengan jalan pikirannya, Ajeng pun pelan-pelan memberanikan diri untuk bertanya. "Pak, kita sebenarnya mau ke mana?"
Seolah tidak mendengar suara Ajeng, Adam sama sekali tidak bereaksi.
Ajeng berdehem. Apa tadi ia bicara dalam hati? Kenapa Adam sama sekali tidak menanggapinya? "BAPAK, KITA MAU KE MANA?"
Adam menutup telinga sebelah kirinya dengan kasar lalu melirik Ajeng dengan death glare andalannya. "SAYA ENGGAK TULI, AJENG!" Adam balas berteriak.
Ajeng menunduk ketakutan lalu bersuara dengan pelan, "Makanya jawab kalau ditanya."
"Kamu ngomong apa?" Adam yang mendengar gumam tidak jelas dari sampingnya pun bertanya.
Ajeng menggeleng pelan. "Saya enggak ngomong apa-apa, Pak."
Adam melirik Ajeng lalu tertawa sarkastik. Jelas saja ia tidak percaya ucapan Ajeng. Meskipun tidak mendengar apa yang diucapkannya, tapi Adam tahu Ajeng berbicara barusan.
Mereka sama-sama terdiam sampai akhirnya mobil Adam berhenti di salah satu bangunan apartemen yang ada di pusat Jakarta.
"Ini di mana, Pak?" tanya Ajeng, penasaran.
Adam diam. Dia sama sekali tidak berselera untuk menjawab pertanyaan Ajeng. Tidak lama kemudian, Adam ke luar dari mobil begitu saja.
Ajeng melihat ke sekitarnya dengan hati was-was. Ruang ini begitu gelap. Pencahayaan yang remang persis seperti film-film pembunuhan itu. Apa benar Adam akan membunuhnya hari ini? Tidak dipungkiri lagi, Ajeng sangat ketakutan sekarang.
"Ajeng, cepet ke luar!" Adam mengetuk jendela mobil di sisi tubuh Ajeng tiga kali. Tidak mendapat balasan atau mendapati pintunya terbuka, Adam pun dengan malas membukakan pintu mobil untuk Ajeng. "Ayo ke luar!" perintahnya lagi.
Ajeng menggeleng tidak mau. Ia memegang sabuk pengamannya dengan erat hingga membuat Adam kebingungan sekaligus sebal. Bagi Adam, Ajeng kelihatan suka sekali dengan mobil mewahnya.
"Ayo ke luar, Jeng!"
"Enggak, Pak! Saya mohon ... saya enggak mau ke luar. Saya enggak mau mati ditangan Bapak."
Alis Adam bertaut, ia kelihatan kesal sekaligus konyol. Apa Ajeng baru saja mengira bahwa ia akan membunuhnya? Poor you, Ajeng. Bagaimana bisa ia menduga dengan sehiperbola ini?
Adam memukul kepala Ajeng dengan pelan lalu menjawab, "Di sini banyak orang, kamu pikir saya bodoh dengan melakukannya di sini?"
Ajeng memejamkan matanya. Ia makin ketakutan setelah mendengar ucapan Adam.
Adam makin lama makin senang. Ia melepaskan sabuk pengaman yang dipakai Ajeng lalu menarik tangannya. Setelah ia ke luar dari dalam mobil, dengan gerakan cepat Ajeng hendak berlari. Tapi Adam dengan tangkas menarik tangan Ajeng dan menguncinya di antara kedua lengannya.
Ajeng terus meronta sedangkan Adam tertawa di atas penderitaan orang lain. "Tolong, Pak. Jangan bunuh saya! Saya masih muda."
Mendengar penuturan Ajeng yang memohon dengan sungguh-sungguh, Adam pun berhenti tertawa. Ia menahannya dan hanya diam untuk beberapa saat. Ia yang jelas lebih tinggi dari Ajeng perlahan melihat wajah gadis itu yang terlihat sangat ketakutan. Dan sekilas, Adam mengingat Jingga. Ia pun memeluknya dengan erat.
Ajeng yang tidak tahu mengapa Adam tiba-tiba memeluknya malah makin bergidik ngeri. Bukan hanya dibunuh, Ajeng yakin ia juga akan jadi korban pelecehan seksual oleh bosnya sendiri.
Adam tersadar dan segera melepaskan Ajeng dari pelukannya. Terdengar isak tangis dan itu membuat Adam sedikit merasa bersalah. Apa dia sudah sangat keterlaluan?
"Pak, tolong jangan apa-apain saya! Saya cuma orang kampung, Pak! Tolong, Pak!"
Perlahan tapi pasti, Adam merasa simpati. "Saya enggak akan ngapa-ngapain kamu. Kamu jangan ge-er! Ayo ikut!" Tidak ingin terlalu lama lagi, Adam menggenggam tangan Ajeng dan membawanya berjalan beriringan. Mereka memasuki lift yang berada di basemen lalu naik hingga ke lantai 21.
Dalam lift, Ajeng mencoba melepaskan tangan Adam tapi pria itu hanya diam. Ia sadar sedang menggenggam tangan gadis ceroboh yang sering dikerjainya tapi tidak berniat melepaskannya.
Adam menarik tangan Ajeng hingga mereka ke luar dari lift. Mereka berjalan sampai akhirnya Adam berhenti di depan pintu apartemen. Setelah menggesekan kartu pemilik dan menekan beberapa digit pin, Adam pun membuka pintu apartemennya.
Sebuah apartemen baru. Tanpa satu pun furniture terlihat di depan mata mereka.
Adam menarik tangan Ajeng lalu menutup pintu apartemen di belakangnya. Barulah setelah itu, Ajeng berlari. Ia menjauhi Adam dan lagi-lagi mengatakan hal tidak masuk akal.
"Bapak, saya enggak nyangka Bapak sejahat ini ke saya! Bapak tuh orang paling jahat yang pernah saya kenal. Setelah ngerjain saya di kantor Bapak hampir setiap hari, sekarang Bapak mau bunuh saya di tempat kosong kayak gini? Apa salah saya, Pak? Kenapa Bapak kelihatannya dendam banget ke saya?"
Mendengar penuturan Ajeng yang di luar nalar pikirannya, Adam pun tidak sanggup lagi untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ia bahkan sampai memegangi perutnya karena merasa apa yang dilakukan Ajeng benar-benar lucu.
Mendengar tawa menggelegar di seantero ruangan itu serta merta membuat perasaan Ajeng yang awalnya takut menjadi bingung. "Apa hidup saya bagi Bapak cuma sekedar lelucon?"
Pertanyaan bernada sarkas itu membuat Adam berhenti untuk menertawakan Ajeng. Ia berdiri bersandar di pintu lalu mendesah pendek. "Kamu yang lucu. Saya baru sadar kalau selain ceroboh, kamu juga sangat unik."
Ajeng tidak tahu. Apakah perkataan Adam semacam pujian atau malah hinaan? Yang terpenting sekarang hanya satu. "Apa Bapak masih mau membunuh saya di sini?" tanyanya, polos.
Adam segera menggeleng. Dia juga sedikit kasihan pada Ajeng yang ketakutan karena hal yang tidak masuk di akal itu.
"Benar, Pak? Bapak janji enggak akan bunuh saya kan?"
"Saya enggak akan bunuh kamu kalau kamu bisa sedikit berguna buat saya." Adam berkata dengan santai lalu mendekati Ajeng yang kembali mundur untuk menjauhinya.
Tidak terlalu mempedulikan sikap Ajeng, Adam pun berjalan ke sana ke mari untuk mengecek dinding dan kaca yang berada di apartemen barunya. Dia memang orang yang tidak terlalu percaya dengan orang lain. Jadi ia ingin memastikan bahwa bangunan yang akan ia tempati benar-benar sesuai dengan standar kualitasnya.
"Oh ya, ini sebenarnya apartemen saya yang baru."
Penjelasan Adam membuat Ajeng mengerti mengapa ruangan tersebut masih kosong.
"Hari ini kamu bertugas bantu saya milih furniture buat mengisi apartemen ini. Sebenarnya saya enggak yakin sama selera kamu, tapi udahlah ... lagian saya mau minta pendapat kamu supaya tahu selera yang norak itu kayak apa."
Ajeng mendengus. Intinya Monster Adam tetaplah monster. Ia akan selalu menghinanya seenak jidat. Dasar Monter! Gerutu Ajeng dalam hati.
"Ayo ikut saya! Saya mau nunjukin kamar saya." Setelahnya Adam melangkah masuk lebih dalam. Ia membuka sebuah pintu bercat hitam dan memperlihatkan kamarnya yang masih kosong pada Ajeng.
Ajeng merinding melihat kamar Adam yang nyentrik. Pintunya saja sudah aneh, berwarna hitam pekat dengan knop pintu berwarna senada. Sekarang cat dinding di dalam kamarnya pun aneh. Kali ini warna dindingnya dark red, seperti warna darah yang kental. Di sisi kanannya terdapat gorden besar yang menutupi kaca tebal sebagai pengganti dinding.
"Gimana menurut kamu?" tanya Adam setelah membuka gorden jendela dengan sekali sentakan.
"Bagus, Pak." Ajeng merasakan suaranya nyaris menembus kaca tebal di belakang Adam. Jujur komentar pendeknya itu mutlak sebuah kebohongan. Menurutnya kamar Adam lebih kelihatan seperti ruang tempat pembunuhan yang biasa dipakai para psikopat.
"Kamu sama sekali enggak pintar bohong ya, Jeng." Adam membalas ucapan Ajeng lalu membuka pintu kamar mandi yang bercat putih tulang. Melihat kamar mandinya, Adam tidak kecewa sedikit pun. Kamar mandi yang serba putih. Ini sesuai dengan permintaannya.
Adam menutup kembali pintu kamar mandinya lalu beranjak menuju pintu kamar. "Ayo ke luar! Waktunya berbelanja."
Ajeng mengikuti Adam di belakangnya. Mereka ke luar dari apartemen kosong itu dan kembali ke mobil.
Selama perjalanan, Ajeng yang awalnya parno mulai tenang. "Pak...."
Adam berdehem pelan.
Ajeng yang mau bertanya langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Tadi ia ingin bertanya mengapa Adam membawanya? Tapi mengingat kemungkinan besar ia hanya akan diejek, ia pun mengurungkannya.
Adam menoleh ke arah Ajeng saat gadis itu sama sekali tidak melanjutkan ucapannya. Tidak terlalu penasaran, Adam pun membiarkan Ajeng begitu saja. Ia terus menyetir hingga mereka sampai di salah satu toko furniture terlengkap yang ada di Jakarta.
Kali ini tanpa kendala, Ajeng langsung mengikuti Adam seolah pria itu adalah induk ayam.
Awalnya Adam mencari tempat tidur. Ia diantar oleh seorang pelayan perempuan dan menunjukan beberapa model tempat tidur.
"Kamu cobain tidur di situ!" perintah Adam pada Ajeng. Pria itu menunjuk ke arah salah satu tempat tidur dan menyuruh Ajeng pergi ke sana dengan menggunakan isyarat jari.
"Saya, Pak?"
Adam mengangguk sekali.
Melihat cara Adam mengangguk membuat Ajeng emosi. Dasar pelit ngomong! Tapi Ajeng tetap menuju tempat tidur yang harus dicobanya. "Pak, ini emang boleh dicobain?"
Adam memutar bola matanya lalu berjalan meninggalkan Ajeng. Pelayan wanita bername tag Asti Nila pun menahan tawanya melihat interaksi antara Adam dan Ajeng.
Setelah menemukan tempat tidur yang diinginkannya, Adam pun memilih beberapa lampu dan sofa. Tidak ketinggalan ia juga memilih beberapa barang elektronik seperti lemari es, AC, televisi, serta perlengkapan dapur lain. Dan seperti yang diucapkannya diawal, Ajeng sama sekali tidak memberikan kontribusi apa-apa. Ia malah seperti anak anjing yang bermain ke sana ke mari sesuka hatinya.
Setelah dirasa Adam cukup, ia memanggil Ajeng. "Ajeng, ayo kita pulang!"
Ajeng menurut, tanpa beban sama sekali. Sedangkan Adam malah terdiam sejenak. Kita? Sejak kapan ada istilah kita dikamus hidupnya?
"Pak, katanya mau pulang?" Ajeng menoleh ke belakang, di mana bosnya berdiri dan tidak bergerak.
"Kamu lapar?" tanya Adam, mengalihkan pemikirannya dengan suatu hal yang lain.
Ajeng berpikir sejenak. Ia sangat lapar sebenarnya, tapi.... Secepatnya Ajeng menggeleng. Ia mengulum bibirnya dan berkata dengan tegas. "Enggak, Pak!"
"Oke...." Adam mulai berjalan dengan langkah lebar. "Habis ini kita makan."
Mata Ajeng terbelalak tidak percaya. Sambil melihat punggung Adam yang bidang, Ajeng berpikir mengenai ada apa dengan Monster Adam hari ini? Tidak biasanya ia baik sampai mengajaknya makan bersama.
Meskipun merasa aneh, tetap saja Ajeng merasa sangat bahagia. Karena bagaimana pun juga sebentar lagi ia akan makan.
***
bersambung>>>