4. Makan Bareng?

1511 Words
Aku menghentikan mobil tepat di depan rumah dan menepikannya di bawah pohon mangga yang berada tidak begitu jauh dari depan rumahku. Belum adanya garasi di rumah, membuatku selalu memarkirkan mobil di depan rumah. Sebelum Gara menempati rumah sebelah, aku selalu menyimpan mobilku di dalam halaman rumahnya. Tapi sekarang tidak bisa kulakukan lagi, karena kali ini mobil Garalah yang telah terparkir di sana. Kalau aku masih melakukannya, dia pasti menilaiku sebagai wanita yang tidak sopan. Sudah dari beberapa bulan yang lalu aku memikirkan akan membuat garasi tepat di sebelah rumah. Masih ada sedikit lahan kosong yang cukup untuk menyimpan mobil kecilku ini. Tapi kesibukanku membuatnya terlupakan. Ah! Bukan hanya itu alasannya, aku sebenarnya tidak mengerti seperti apa garasi yang ingin kubuat. Mungkin besok aku harus memikirkannya lagi dan menanyakan tetangga-tetanggaku siapa tahu mereka mengenal pekerja yang bisa membuat garasi untukku. Lagi pula memarkirkan mobil di tepi jalan seperti yang kulakukan saat ini sebentar lagi pasti akan jadi teguran warga. Sesaat aku menatap ke gelapnya langit. Langit malam ini terlihat sangat pekat, tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Mungkin sebentar lagi akan hujan. Aku baru saja pulang dari tempat klien untuk melakukan tes make up sebelum hari pernikahannya bulan depan. Tes make up memang biasa diminta oleh klien supaya mereka punya gambaran make up-nya pada saat hari H nanti dan bisa melakukan perubahan jika ada yang tidak sesuai. Pandanganku beralih pada sebelah rumahku. Rumahnya terlihat terang, kebalikan dengan rumahku yang gelap karena kutinggalkan dari sore tanpa sempat menyalakan lampu. Mendadak aku menjadi berdebar saat membayangkan sosok yang menempati rumah di sebelah rumahku. Aku masih ingat dengan jelas tubuhnya yang terlihat gagah, apalagi… astaga! Kenapa ini, aku tidak pernah memikirkan seorang lelaki seperti ini. Apalagi saat ini belum jelas apa dia lajang, duda, atau sudah beristri. Terus, kalau lajang memang aku mau apa? Aku menggelengkan kepalaku, berusaha mengusir pikiran aneh yang terlintas di pikiranku. Napasku tertahan saat pintu rumah sebelah tiba-tiba terbuka. Tuh, aku memang selalu saja seperti ini, harusnya tadi aku tidak memikirkan sosok itu, yang ada malah sekarang aku menjadi salah tingkah padahal sosok Gara belum terlihat olehku. Aku buru-buru beranjak dan bergegas masuk ke rumah sebelum penghuni rumah sebelah curiga jika aku menatap rumahnya dari tadi. Gila saja, Aruna yang dingin terhadap lelaki ketahuan mencuri pandang secara diam-diam. "Aruna...!" Kali ini namaku dipanggil dan nggak mungkin jika kali ini aku pura-pura nggak dengar. Atau mungkin aku bisa pura-pura nggak peduli dengan panggilannya tapi tetap saja hal itu tidak bisa kulakukan karena kata hatiku lebih dulu memerintahkan otakku untuk segera menoleh. "Kenapa, Mas?" Aduh, keceplosan lagi manggil dia 'mas'. Aku berdehem dan kemudian mengulang perkataanku. "Kenapa, Gar?" ulangku. Walaupun jarak rumahku yang hanya dipisahkan oleh sebuah tembok dengan jarak beberapa meter dari rumahnya, aku tetap harus setengah berteriak agar dia mendengar pertanyaanku. Dia kemudian meninggalkan rumahnya dan berjalan mendekat ke arahku. Aku mengernyit sambil menatapnya yang semakin mendekat ke arahku. Kenapa juga dia harus berjalan ke sini? Apa dia tidak tahu aku mendadak menjadi tidak tenang karenanya. Napasku semakin sulit karena entah kenapa penampilannya yang hanya mengenakan kaos polos dan celana pendek membuat jantungku seperti sedang berpesta pora. Apalagi rambutnya yang masih terlihat basah, bukti dia barusan mandi menambah daftar penyebab jantungku yang semakin tak karuan. Kenapa sih aku selalu lemah dengan lelaki seperti Gara ini, yang terlihat urakan tapi seksi. Ups. Oke, skip. Fokus dan bersikap dingin seperti biasanya. Tapi…bagaimana bisa dia terlihat menggoda hanya dengan pakaian biasa seperti itu? "Besok ada acara?" tanyanya saat telah memasuki halaman rumahku. Aku terdiam, sepertinya aku yang terlalu percaya diri. Kenapa ucapannya terdengar seperti ajakan kencan? Kencan? Tidak mungkin! "Besok?" Aku malah mengulang pertanyaannya karena terlalu grogi. "Maksudku, besok kamu ada kerjaan?" tanyanya. "Ng...pagi sampai siang ada. Kenapa?" tanyaku penasaran. Aku ingat besok pagi ada acara pertunangan Resti, sepupu jauhku. Dan aku yang diminta untuk meriasnya. Setelah itu rasanya aku tidak memiliki jadwal apa pun lagi. Jadi, sebenarnya lelaki ini hanya basa-basi ingin tahu jadwalku atau memang berminat mengajakku kencan? "Kalau sore nggak ada?" tanyanya. Kenapa lelaki ini ingin tahu sekali jadwalku besok? Apa ini semacam basa-basi berkedok ajakan kencan? "Nggak ada, memangnya kenapa?" tanyaku semakin penasaran. Aku menunggu jawabannya yang mendadak terasa menegangkan buatku. Sesaat aku menarik napas panjang karena aku baru menyadari jika apa yang aku lakukan kali ini rasanya sangat norak. Aku tidak pernah berharap ingin diajak kencan oleh seorang lelaki yang baru kukenal. Harusnya seperti itu juga yang kulakukan pada Gara. "Bisa bantu aku?" pintanya. Aku mengernyit sambil menatapnya bingung. "Bantu apa?" Tak urung pertanyaan itu keluar dari mulutku. "Besok kantorku ada acara peluncuran produk baru. Acara ini mendadak banget karena tiba-tiba ada orang dari pusat yang mau datang. Para karyawan wanita kebingungan karena nggak ada persiapan. Jadi...aku bisa minta bantuanmu buat datang ke kantorku besok sore dan merias para karyawan wanita?" jelasnya panjang lebar. Sesaat aku terdiam setelah mendengar permintaannya. Tuh, kali ini memang aku yang terlalu percaya diri. Lelaki seperti Gara nggak mungkin mengajakku kencan, kurasa aku bukan tipe wanita yang disukainya. Oh tidak! Kacau sekali pikiranku ini. Kenapa pikiranku malah jauh sampai ke situ. Stop, Aruna! "Kalau boleh aku minta nomor ponselmu, biar nanti dari dari panitia acara yang bakal menghubungi kamu," lanjutnya. "Boleh kok," sahutku sambil tersenyum. Aku menyebutkan nomor ponselku padanya. "Aku langsung kepikiran kamu waktu para karyawan wanita meributkan dandanan mereka buat acara besok. Dan untungnya kamu bisa," ucapnya. Aku membalasnya dengan senyuman. Dasar pikiran bodohku, kok bisa-bisanya memikirkan Gara akan mengajakku kencan. Sebenarnya banyak salon-salon kecantikan yang berkenan mendapat panggilan untuk merias jika memang situasinya begitu tiba-tiba. Tapi pertanyaan itu tertahan, aku tidak mau Gara malah tersinggung dan menganggapku sombong dan pilih-pilih klien. "Aku masuk ke rumah dulu ya," pamitku sambil membuka kunci rumah. Aku hampir bernapas lega karena sebentar lagi akan berpisah dengannya, yang artinya aku sudah bisa mengatur degup jantungku menjadi normal kembali. "Kunci mobilmu mana, sini biar aku pindahkan mobilmu di garasiku aja," katanya tiba-tiba. "Jangan, ngerepotin aja. Lagi pula nanti mobilmu mau dikemanain," tolakku. "Masih cukup kok. Rawan kalau parkir sembarangan," ujarnya. Akhirnya aku menyerahkan kunci mobilku padanya. Aku membiarkan Gara menyimpan mobilku di garasi rumahnya. Sambil menunggunya, aku membuka kunci rumah dan menyalakan lampu. "Katanya kamu tinggal sama asistenmu, tapi kok sekarang sendiri?" tanyanya sambil mengembalikan kunci mobilku. Aku terkejut saat melihat sosoknya yang ternyata telah berada tepat di belakangku. "Eh...." Aku malah kebingungan menanggapi ucapannya. "Bahaya wanita sepertimu pulang larut malam dan tinggal sendiri seperti ini," lanjutnya. Apa Gara tahu jika sebelumnya aku telah berbohong padanya dengan mengatakan jika di rumah ini aku tinggal bersama asistenku? "Aku sudah biasa kok," timpalku sambil mengambil kunci mobil dari tangannya. Jari tangannya menyentuh telapak tanganku tanpa sengaja. Karena kaget, kunci yang telah berada di tanganku hampir terjatuh. "Orang tua tinggal di mana?" tanyanya. Aku kira percakapan kami akan selesai setelah dia mengembalikan kunci. Tapi nyatanya dia masih menahanku di sini. Salah, bukan dia yang menahanku tapi dia yang nggak mau pergi dari rumahku. Tidak mungkin aku mengusirnya setelah dia berbaik hati memarkirkan mobilku. "Sudah nggak ada," jawabku pelan. Aku bisa menangkap perubahan wajahnya yang terlihat menyesal karena telah bertanya padaku. "Maaf," ucapnya penuh sesal. Aku menyunggingkan senyum berusaha menghilangkan kecanggungan yang terjadi. "Sudah lama, waktu aku masih kecil," kataku. "Oiya, kamu sudah makan? Aku dapat kiriman gudeg sama sambal krecek dari Magelang nih," katanya tiba-tiba seperti mengalihkan pembicaraan. Mataku berbinar saat mendengar ucapannya. Kali ini aku tidak mungkin salah, dia pasti ingin berbagi sambal krecek untukku, bukan hanya basa-basi. "Wah, sambal krecek?" ulangku dengan nada bersemangat. Aku nggak terlalu menyukai gudeg yang manis tapi tidak akan menolak jika ditawari sambal krecek. Sambal krecek mengingatkanku pada Mama. Sambal krecek buatan Mama adalah makanan terenak yang pernah aku makan. "Sebentar, aku bawakan ke sini ya," kata Gara sambil beranjak dari tempatnya berdiri. "Nggak apa-apa, besok aja," tahanku tapi percuma Gara tak mendengarnya karena dia telah masuk ke dalam rumahnya. Aku menatap kepergiannya sambil memikirkan banyak hal. Sampai saat ini aku masih sangat penasaran dengan statusnya, apa dia benar-benar lelaki bebas tanpa tanggungan seorang istri? Tapi jika seandainya dia masih memiliki istri pun, apa urusanku sebenarnya? Iya benar, semuanya nggak mempengaruhi apa pun padaku selain mataku yang selalu saja nggak fokus saat melihatnya. Selang beberapa menit, dia kembali dengan membawa beberapa kotak makan. Gara masuk ke rumahku tanpa mengetuk pintu lagi karena pintu rumah memang kubiarkan terbuka. Dia sepertinya sudah menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri dan hal itu mendadak membuatku berdebar. Aku rasa lama-lama hatiku ini akan melemah karena semua hal yang berhubungan dengannya selalu saja membuatku berdebar. Hilang ke mana Aruna yang biasanya nggak peduli dengan hal remeh seperti ini. Hanya karena lelaki berbadan gagah dan berwajah tampan seperti ini saja membuatku salah tingkah. Padahal aku sudah sering bertemu dengan lelaki sejenis ini, tapi kenapa kali ini berbeda? "Kebetulan aku juga belum makan dan butuh teman makan," ucapnya sambil menyimpan kotak makannya di meja ruang tamuku. Aku mengernyit dan segera menoleh ke arahnya. Gara sedang dalam posisi duduk lesehan sambil membuka makanan yang dibawanya. Dia tampak tidak peduli dan sedang mengatur kotak makannya seolah sedang melakukan piknik di alam terbuka. Apa maksudnya dia ingin makan bareng denganku? (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD