5. Lebih Dekat

1504 Words
"Perlu aku jemput?" tanya Gara dari balik telepon. "Nggak perlu, aku sudah di jalan kok," sahutku yang saat ini sedang berhenti di lampu merah dalam perjalanan menuju kantor Gara. "Tahu alamatnya, kan?" tanyanya lagi. Tentu saja aku tahu alamat kantornya. Nutri Farma termasuk salah satu perusahaan besar di Yogya, aneh aja kalau aku sampai nggak tahu. "Ke kantornya ya, bukan pabriknya," katanya lagi. Aku tertawa kecil setelah dia menyelesaikan kalimatnya. "Memangnya beda ya?" tanyaku bingung. "Iya beda, yang kamu tahu pasti pabriknya, kan?" tanyanya memastikan. Setahuku Nutri Farma itu hanya ada satu, terletak di pinggiran kota saat akan keluar dari kota Yogya menuju Solo. "Yang di perbatasan Yogya?" tanyaku memastikan. "Itu pabriknya. Kantornya di Maguwoharjo," katanya. Aku tertawa pelan menyadari kesoktahuanku. "Oh aku mutar dulu kalau gitu, ini malah sudah lewat," ujarku karena saat ini aku sudah hampir mendekati Nutri Farma yang menurut Gara adalah lokasi pabriknya. "Yakin nggak mau dijemput?" ulangnya lagi. "Yakin. Kirimkan aja lokasinya, nanti kalau aku bingung, baru kamu boleh jemput," sahutku. Aku menutup telepon dan segera memutar mobilku. Awalnya aku agak bingung dengan permintaan Gara untuk datang ke kantornya, karena menurutku bisa saja karyawan-karyawan wanitanya ke salon secara mandiri, tanpa harus meminta aku datang. Tapi setelah dihubungi oleh Gadis, salah satu panitia acaranya, aku baru mengerti jika jam operasional kantor dan acara begitu mepet sehingga nggak ada waktu lagi bagi karyawan wanitanya untuk keluar dari kantor. Gadis sudah memberi kepastian jika ada enam orang karyawan wanita, termasuk dirinya yang butuh bantuanku. Karena itu aku nggak membawa Lian ataupun Hayu bersamaku. Merias enam orang masih bisa aku tangani sendiri, asal tidak ada permintaan-permintaan aneh, menyasak rambut misalnya. Ponselku terus berbunyi saat aku baru memarkirkan mobilku di halaman kantor Nutri Farma. Kalau kantor sebesar ini, aneh aja kalau nggak bisa kutemukan. Aku mengambil ponsel dan menatap layarnya sambil membuka pintu mobilku. "Sudah sampai," ucapku sambil tertawa. Aku yakin Gara pasti khawatir aku nggak bisa datang tepat waktu sehingga akan mengacaukan acara mereka. "Oke, aku sudah lihat kamu," ujarnya sambil menutup telepon. Aku mengedarkan pandangan, ternyata benar Gara sedang menghampiriku dengan tergesa. "Kamu nggak perlu nungguin aku kayak gini," kataku nggak enak, takut mengganggu pekerjaannya karena sepertinya dia orang yang lumayan sibuk di kantornya. Sekilas mataku mau nggak mau melihat penampilannya dengan gaya kantoran seperti ini. Jujur saja, ternyata aku lebih suka melihatnya dengan pakaian santai seperti yang biasa aku temui di rumah. Dengan mengenakan pakaian kantor, kemeja rapi, dasi serta celana kain yang disetrika rapi, dia terlihat serius. Atau begini lebih tepatnya alasanku yang sebenarnya, aku lebih suka dia mengenakan pakaian rumahan karena bisa melihat otot-otot tubuhnya dengan jelas. Begitu bukan, Aruna? Wajahku mendadak memanas saat memikirkan sosok Gara dengan pakaian rumahannya, kaos tanpa lengan dan celana pendek. "Aku takut kamu nyasar," ucapnya. “Nggak mungkin, aku sudah tinggal si Yogya dari lahir, masa buat nemuin lokasi ini aja sampai nyasar,” timpalku sambil tertawa. Aku bukan sedang menertawakan dirinya, tapi aku sedang menertawakan diriku sendiri karena khayalan tidak masuk akalku tadi. "Ayo langsung ke atas, kamu sudah ditunggu," katanya lagi. Gara mengantarku untuk bertemu dengan Gadis dan keberadaannya pun nggak tertangkap oleh mataku lagi sesaat setelah aku berdiskusi dengan Gadis tentang make up yang diinginkannya. Aku juga nggak memikirkan ke mana dia pergi setelah ini karena aku yakin dia pasti memiliki kesibukan tersendiri. "Temannya Pak Gara ya, Mbak?" tanya salah seorang karyawan wanita saat aku sedang menyiapkan peralatan meriasku. "Ng...iya, kebetulan dia tetanggaku," sahutku. Wanita itu dan beberapa karyawan lain yang sedang mengerumuniku terlihat manggut-manggut. "Laras cemburu, dikiranya Mbak pacarnya Pak Gara," ujar Gadis sambil terkikik. Wanita yang bernama Laras itu tersenyum masam. "Wah, aku baru tahu kalau ternyata Gara populer juga di kantor," timpalku sambil tersenyum. "Pasti dong, Mbak. Mana ada wanita yang tahan sama pesonanya. Sssttt...ini rahasia kita aja ya, Mbak." Kali ini Gadis berbicara dengan setengah berbisik. Wajar sih, kalau melihat penampilannya memang nggak bisa dipungkiri kalau dia pasti akan memikat banyak wanita. Postur tubuhnya yang tinggi dan proporsional, dadanya yang bidang, wajahnya agak sangar tapi menggoda, apalagi bibirnya yang penuh dengan rambut-rambut halus di rahangnya. Oke, tenanglah Aruna, jangan sampai pikiran anehku ini diketahui oleh karyawan-karyawan kantornya. "Oke, bisa kita mulai," ujarku sambil berdehem. Karyawan-karyawan wanita di sini masih terlihat muda-muda, mungkin umur mereka dibawah tiga puluh. Jadi wajar kalau mendeskripsikan Gara seperti itu. Nah, aku yang sudah masuk kepala tiga, kenapa ikut-ikutan norak seperti mereka? Maklum, lelaki sejenis Gara biasanya lebih menarik untuk digosipkan. Wajah Gadis sudah selesai kurias. Tidak banyak permintaannya. Karena dia akan menjadi MC di acara nanti, aku sengaja membuatnya terlihat berbeda. Matanya yang sendu menjadi daya tariknya sendiri. Aku membuat matanya terlihat lebih besar dengan eye shadow warna gelap dan bulu mata palsu yang nggak terlalu heboh, agar sesuai dengan wajah khas wanita Jawa yang ayu. Gadis sendiri juga tidak menolak saat aku menata rambutnya dengan mengikat dan menjepit beberapa bagian rambutnya hingga membentuk seperti sanggul. Make up untuk acara formal seperti ini memang nggak memakan waktu lama. Aku tinggal menyesuaikan tema acara dan busana yang dikenakan. Lima orang karyawan wanita lainnya juga telah selesai kurias. Aku membetulkan posisi dudukku sambil membereskan peralatan make up-ku. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, saat yang tepat untuk segera pulang ke rumah. Suasana di lantai dua kantor ini sudah mulai sepi, karena hampir semua karyawan telah berada di ruang serba guna kantor yang terletak di sebelah utara pintu masuk. "Bisa tunggu sebentar, biar aku temanin kamu pulang." Aku menoleh dengan cepat dan tersentak kaget saat melihat Gara telah berdiri di belakangku. "Oh! Aku bisa pulang sendiri. Lagipula bukannya kamu mesti ikut acara?" tanyaku. "Acara mulai satu jam lagi, masih cukup buat nemanin kamu pulang dan kembali ke sini lagi," sahutnya. Sebentar...kenapa terdengar seperti kurang kerjaan banget ya. Jangan bilang kali ini aku yang terlalu percaya diri dan menganggap Gara melakukan semuanya demi aku. "Aku juga sekalian mau ambil mobilku di rumah," lanjutnya. Lagi-lagi tebakanku benar, dia nggak mungkin mau mengantarku pulang tanpa ada alasan yang lain. "Loh tumben mobilnya ditinggal," komentarku. Gara cuma bergumam nggak jelas. Dia kemudian menyentuh pundakku sekilas, memberi kode agar aku mengikuti langkahnya. Cuma sentuhan pelan, tapi tetap saja membuatku menahan napas untuk beberapa detik. Kadar kenorakanku berkembang pesat setelah kenal dengan lelaki ini. Untung saja dia nggak pernah tahu apa yang terjadi denganku sebenarnya saat sedang berada di dekatnya. "Sini biar aku bawa." Dia mengambil kotak make up dari tanganku. Aku menatapnya dengan bingung. Dia akan terlihat nggak keren lagi jika menjinjing kotak make up-ku. "Jangan, nggak enak dilihat orang," tolakku. Sejenak Gara terdiam sambil menatapku, seperti sedang berusaha memahami perkataanku. "Justru kalau aku nggak nolong kamu, itu yang nggak enak dilihat orang," sahutnya. Aku membuang napas pelan. Dari pembicaraan dengan Gadis dan teman-temannya tadi, aku jadi tahu jika Gara adalah Manager HRD di perusahaan ini. Posisinya yang lumayan tinggi di perusahaan ini tentu saja membuatku bertambah canggung saat melihatnya membawa kotak make up-ku dengan santainya. Jangan sampai orang mengira Gara adalah asistenku. "Ayo," ajaknya lagi karena aku hanya mematung. Aku mengikuti langkahnya dari belakang, tapi dia terlihat tidak senang dan kemudian mensejajarkan langkahnya agar bisa berada di sebelahku. Siapa saja yang melihat pemandangan seperti ini pasti akan merasa curiga. Aku curiga, sepertinya alasan untuk mengambil mobilnya juga hanya kedok. Lelaki seperti Gara ini harusnya punya perencanaan yang baik untuk pekerjaannya hari ini. Buat apa dia menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bolak-balik mengambil mobil yang seharusnya dari pagi bisa dibawanya ke kantor. Pengalaman didekati oleh beberapa pria membuatku curiga. Tapi tetap saja kali ini aku nggak boleh terlalu percaya diri dan akhirnya malah membuatku malu sendiri. Kali ini aku akan berpikir positif dan menganggap Gara benar-benar meninggalkan mobilnya di rumah karena ada hal penting bukan karena ingin mencari alasan agar bisa bersamaku. "Kayaknya kamu terlalu mandiri, apa-apa sendiri, kemana-mana sendiri," ucapnya sambil meminta kunci mobilku. Aku menyerahkan kunci mobilku sambil menatap wajahnya. "Nggak juga, kadang-kadang ditemani asisten," sahutku. "Apa kamu nggak punya pacar?" tanyanya. Aku menoleh dan mendapatkan raut wajahnya tidak berubah saat mengucapkannya. Ini memang cuma sekadar basa-basi atau ada maksud lain? Pertanyaan seperti itu jika diucapkan seorang lelaki biasanya bermaksud lain, bukan hanya sekadar ingin tahu tapi sebenarnya ingin memastikan jika si wanita bisa dipacarinya. Eh! Apa benar? Masa Gara ingin memacariku? "Kalau pun aku punya pacar, aku nggak pernah ngerepotin dia buat hal yang remeh kayak gini. Cuma nyetirin mobil aja kok mesti minta antar atau jemput," jawabku. Gara tertawa pelan dan entah kenapa tawanya terdengar seperti sedang menggodaku. Aku berusaha mengatur napasku agar tidak terlihat sedang grogi karena pertanyaannya barusan. Ini nggak masuk akal, aku nggak mungkin grogi hanya karena dia menanyakan aku punya pacar atau nggak, kan? "Jadi?" Dia menoleh padaku sekilas. "Jadi? Jadi apanya?" tanyaku bingung. "Jadi apa saat ini kamu sedang punya pacar?' ulangnya. Jadi dia masih ingin melanjutkan pembicaraannya tentang punya pacar atau nggak? "Nggak ada," jawabku singkat. Terakhir kali aku punya pacar sekitar setengah tahun yang lalu dengan alasan putus yang nggak kuingat lagi. Aku bukan tipe wanita yang bisa larut terlalu lama dalam kesedihan setelah putus dengan seorang lelaki. "Oke, artinya aku punya kesempatan buat mengenal kamu lebih dekat." (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD