Part 03

1509 Words
"Ar, lo lagi ada masalah ya sama keluarga lo?" Arya menoleh ke samping kanannya. "Maksud lo?" "Gue sih cuma nebak aja. Nggak biasanya lo tinggal di apartemen lama gini." "Sotoy banget jadi orang." dengkus Arya lalu kembali menegak minuman kerasnya. "Omongan Dean kayaknya ada benernya juga deh. Lo aneh tahu akhir-akhir ini." timpal seorang pria sipit. "Nah, Raka aja sadar kalo lo aneh." ucap pria yang bernama Dean tadi. Menyahuti ucapan Raka. Seorang pria yang sejak tadi diam dan hanya menatap ketiga sahabatnya itu akhirnya mulai urun bicara. "Arya, kalo lo ada masalah. Cerita ke kita dong, kan kita ini sodara." "Tuh, Pak ustad udah mulai." Dean meneguk alkoholnya juga, sambil menunjuk sahabatnya yang bernama Elyas, si pria berkacamata. Pada dasarnya mereka berempat itu sama. Sama nakalnya, sama badungnya dan sama gilanya. Namun, yang membedakan di antara mereka adalah hanya Elyas yang tidak suka main perempuan walaupun masih minum-minuman keras. Masih mending dibandingkan tiga lainnya yang sangat sering. Maka dari itu si Elyas ini kerap disebut Pak ustad. Arya menuang alkoholnya ke dalam gelas. "Gua nggak kenapa-napa." singkatnya lalu menegak minuman haram itu lagi. Ketiga sahabatnya hanya menghela napas panjang. Jika Elyas yang paling mendekati kata alim, maka Arya adalah si tertutup yang akan menyimpan rahasianya rapat-rapat. "Eh, gue mau cerita nih ke kalian." ungkap Elyas lalu ikut meminum alkohol. "Gue mau ngelamar Nafisah." "WHAT!" teriak Raka yang hampir menyemburkan minumannya. "Lo beneran mau nikah?" tanya Arya lebih tenang. "Lo bercanda kan?" Kini giliran Dean yang bersuara. Elyas menatap ketiga sahabatnya satu-persatu. "Emangnya kenapa?" "Lo udah siap sama sebuah komitmen?" Arya bertanya lagi. Elyas mengangguk. "Gue kayaknya udah terjerat sama dia. Gila, dia banyak banget yang mau ngelamar. Dan gue nggak akan rela kalau dia jadi milik orang lain." "Lo nggak mau ngajak dia pacaran dulu? Biar bisa lebih kenal gitu?" Dean lebih memajukan badannya, tanda bahwa ia sangat penasaran dengan sahabat yang duduk seberangnya itu. Elyas langsung menggeleng. "Nafisah itu beda, Bro. Dia nggak kayak cewek lain yang suka pacaran. Pakaian dia aja tertutup banget dan gue semakin penasaran sama isinya." Sebungkus kacang kemasan yang sudah dibuka langsung meluncur mengenai Elyas hingga sebagian isinya tercecer. "Gue udah ngejaga keperjakaan gue, pantes dong kalau gue dapet yang perawan." Elyas membela dirinya sendiri sambil membuang kacang-kacang yang berserakan di tubuhnya. "Gue kira Pak ustad ini alim beneran." cibir Raka si mata sipit. "Gue emang b******n, tapi gue bakal ngasi anak-anak gue ibu yang baik. Yang bisa didik mereka supaya nggak jadi orang b***t kayak gue." Krik, krik, krik. Semuanya terdiam setelah Elyas selesai berucap. Terlebih Arya yang seperti ditusuk pisau tepat di ulu hati. Rasanya sangat perih. Dia baj***an dan dia juga b***t. Dan... apakah anak-anaknya nanti juga akan jadi seperti dirinya. "Ehm." Dean berdehem mencairkan suasana lalu merangkul bahu Arya yang duduk di sampingnya. "Btw, Dian apa kabar, Ar? Udah mau lulus kan? Dikecengin udah boleh dong, ya?" "Sialan lo." ××× "Berhenti di sini aja, Pak." Dian menginstruksikan kepada sopir yang memegang kemudi saat mobil yang mereka tumpangi sampai di depan sebuah toko bunga. "Kita udah nyampe, Dek?" tanya seorang wanita yang duduk di samping gadis berkerudung putih itu. Dian mengangguk mantap. "Mbak Ari aja yang keluar. Mbak Kinan pasti langsung kabur kalau lihat Dian." tuturnya karena sudah beberapa kali ini dia hanya melihat Kinan dari kejauhan. "Itu yang lagi nyapu di depan toko sepatu." Tunjuknya pada seorang perempuan yang sedang menyapu lantai emperan toko. Ari melihat Kinan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya mengepal keras. "Arya emang bre***ek." Dian mengusap-usap bahu kakak perempuannya itu. "Istigfar, Mbak. Dian juga nggak suka sama sikap Mas Arya, tapi Mas Arya tetep kakak Dian. Mas Arya tetap saudara kita." Ari memejamkan kedua matanya. Benar kata Dian, Arya itu tetap saudara mereka. "Ya udah, keluar dulu ya. Kamu tunggu di sini." Berjalan cepat ke arah wanita yang ditunjuk oleh Dian tadi, Ari sedikit meringis ketika melihat Kinan yang sesekali mengusap perutnya. Dalam hati Ari terus mengumpat kasar kepada Arya, adik lelakinya itu yang sudah menghancurkan hidup gadis ini. "Permisi." ucapnya singkat kala langkahnya telah berhenti tepat di depan Kinan. Perempuan itu mendongak dan Ari langsung bisa mengetahui keadaannya yang kacau. Maafkan adikku, batinnya. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanya Kinan setelah melihat seorang wanita dengan pakaian dan segala sesuatu yang mahal melekat ditubuhnya, sedang berdiri di hadapannya. Ari terdiam cukup lama. Hatinya perih seperti diiris-iris saat Kinan tersenyum kepadanya. Wajahnya tirus dengan kantong mata yang menebal. Badannya juga sangat kurus untuk ukuran seorang wanita hamil. "Nyonya." "Aah, bisa tolong bantu saya?" Kinan mengangguk pasti, masih dengan senyumannya yang rapuh. "Saya dengar di sekitar sini ada martabak yang sangat terkenal, saya sudah berkeliling, tapi belum menemukannya juga." papar Ari memulai sandiwara. "Saya baru sampai di Indonesia kemarin lusa dan sekarang saya sangat kebingungan dengan kawasan ini, hehe." Ada tawa kecil diakhir kalimatnya ini. Terlihat bodoh, hatinya ingin menangis, tapi ia mencoba menutupi. Kinan mengangguk paham. Kemudian tangan kanannya menunjuk sisi belakangnya. "Nyonya lurus saja, di lampu merah itu nanti belok kiri." Ari mengikuti arah telunjuk Kinan. Ia mengangguk-angguk seolah mengerti walaupun pada kenyataannya ia sangat hapal dengan tempat ini. Toko martabak itu adalah tempat favoritnya dulu semasa SMA. "Emm, bisa tolong antarkan saya ke sana?" Kening Kinan tertaut. Dia menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya mengangguk. Karena selain jam kerjanya yang sudah usai, jalan arah pulangnya juga melewati depan toko martabak itu. "Baiklah. Saya akan meletakkan sapu ini dulu, Nyonya." "Terima kasih." balas Ari sambil tersenyum ketika Kinan berlalu dari hadapannya. Ari menoleh ke arah dimana mobilnya terparkir di pinggir jalan. Disana kepala Dian sudah menjulur dari kaca pintu belakang dan mengacungkan jempolnya. "Mari, Nyonya." Ari mengulurkan tangan kanannya. "Jangan panggil saya Nyonya. Nama saya Arianti, panggil saja Ari." Kinan sedikit kikuk ketika Ari mengajaknya berkenalan. Bukan apa-apa, dia hanya merasa tidak pantas untuk berjabat tangan dengan wanita kaya raya ini. Namun, akhirnya gadis itu membalas jabatan tangan Ari dengan hormat. Ibunya tidak pernah mengajarkannya untuk berlaku tidak sopan kepada orang yang sudah berniat baik padanya. "Kinanthi Khairani." Nama yang cantik, seperti orangnya. Batin Ari seraya menjabat tangan Kinan dengan erat. xxx Sambil menunggu martabak pesanannya, Ari mengajak Kinan duduk di salah satu bangku kosong di dekat jendela. Mereka duduk berhadapan dan Ari bisa melihat jika Kinan merasa tidak nyaman, ya dia tadi memang memaksa Kinan untuk ikut masuk ke dalam toko. "Maaf jika membuatmu merasa tidak nyaman." ucap Ari lirih. Kinan mendongak lalu buru-buru menggeleng. Sebenarnya dia memang gelisah, Trans Jakarta yang akan membawanya pulang sebentar lagi akan sampai di halte biasa ia menunggu dan sudah dipastikan jika kali ini ia akan sedikit pulang terlambat. Padahal dia sudah ada janji dengan Tiara. "Kamu pulang nanti naik apa?" "Saya nanti naik Trans Jakarta, Mbak." jawab Kinan masih agak kagok, Ari sendiri tadi yang memaksanya memanggilnya dengan sebutan tersebut. Ari meringis lagi, jam empat sore adalah puncaknya orang-orang yang sedang pulang kerja. Wanita itu tidak berani membayangkan bagaimana keadaan Kinan yang tengah hamil dan terhimpit di antara puluhan penumpang lain. Bagaimana sesaknya di dalam sana. "Rumah kamu jauh dari sini?" "Ya, lumayan sih, Mbak, tapi kalau naik bus paling cuma 20 menit." Kedua mata Ari terpejam sekilas, dia harus bisa membawa Kinan pulang ke rumah dengan cara apapun. "Permisi, ini pesanan Anda." ucap seorang pramusaji yang meletakkan tiga kantong plastik berwarna putih di atas meja. Ari mengangguk lalu berdiri seraya mengucap terima kasih kepada pramusaji tersebut. "Dek, ini untuk kamu, ya. Terima kasih sudah menemani saya." paparnya sambil menyerahkan salah satu plastik yang ia jinjing. "Tidak usah Mbak, terima kasih." ucap Kinan, dia ikhlas menemani Ari. "Mbak akan sangat kecewa kalau kamu menolaknya. Atau anggap aja ini tanda perkenalan kita, gimana?" Ari memaksa Kinan menerimanya dengan meraih sebelah tangannya untuk memegang tali plastik. "Ayo kita pulang." ajaknya kemudian sambil menuntun bahu Kinan dengan tangan kirinya yang bebas. "Terima kasih, Mbak. Saya jadi nggak enak deh sama Mbak. Baru kenal udah dikasih martabak." Kinan mendongak menatap Ari yang tingginya lebih dari dia. Entah karena high heels yang dipakai Ari atau tinggi badan Kinan yang tergolong kurang, 155 cm. "Martabak disini kan mahal banget, Mbak." "Tapi sepadan sama rasanya kan." tutur Ari sambil tersenyum dan diangguki oleh Kinan. "Taksi." Ari melambaikan tangannya. Kemudian sebuah taksi biru berhenti tepat di depannya. "Kinan, sekali lagi terima kasih ya udah nemenin Mbak. Maaf saya nggak bisa nganter kamu pulang." Dia tentu ingat dengan Dian yang ada di mobilnya tadi. "Iya, Mbak. Saya senang bisa membantu Anda." Senyum Ari mengembang lagi. "Ya udah, sekarang kamu naik. Hati-hati di jalan ya." "E-eh, tapi mbak." Tubuh Kinan mendadak kaku saat Ari sedikit mendorong punggungnya agar masuk ke dalam taksi. "Saya bisa pulang naik bus, Mbak." "Kamu kayaknya kecapekkan banget gara-gara harus nemenin saya tadi. Jadi sekarang kamu nurut aja, ya." Kalau Ari bisa, dia pasti akan langsung melarang Kinan bekerja. Namun, untuk saat ini, dia belum bisa merealisasikan keinginannya tersebut. "Pak, tolong antar Mbak ini ya. Ini uangnya." ucapnya pada sopir taksi dan memberikan beberapa uang lembaran merah. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD