Part 02

1474 Words
"Sampai kapan Mbak Rara mau menyembunyikan Mbak Kinan?" Ini sudah kesekian kalinya Dian menemui sahabat Kinan, Tiara Herlinda yang sama-sama anak perantauan untuk menimba ilmu di ibukota. "Aku nggak tahu." jawab gadis berambut panjang itu sambil menunduk. "Dian tahu kalau Mbak Rara bohong." sahut Dian yang menyadari perubahan mimik wajah Tiara. "Apa Mbak nggak kasihan sama aku? Apa Mbak juga nggak mikirin Mbak Kinan?" Tiara meraih bukunya yang ia letakkan di atas meja cafe tempat pertemuannya dengan Dian kali ini. Dia tadi sebenarnya ada janji dengan orang lain sebelum Dian datang menodongnya dengan pertanyaan yang selalu sama. "Aku yakin Mbak Kinan saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja." tutur Dian lebih serius ketika Tiara sudah berdiri. Jauh hari sebelum ini, dia sudah menyelidiki tempat tinggal Tiara. Orang suruhan ayahnya memang tidak menemukan Kinan disana. Namun, dari beberapa barang yang dibeli oleh Tiara di saat seorang gadis lajang tidak membutuhkannya cukup bisa menguatkan kecurigaannya tentang Kinan. "Buat apa Mbak Rara beli s**u ibu hamil?" Tiara membanting bukunya ke atas meja dan mengempaskan bokongnya di kursi lagi. Pertanyaan Dian kali ini membuatnya tak bisa berkutik. Tiara tahu jika Dian itu anak orang kaya dan dia bukan orang bodoh yang harus menanyakan dari mana Dian tahu tentang s**u ibu hamil yang baru seminggu lalu ia beli. "Kamu benar." Tiara usap airmatanya yang sudah mulai turun. Sudah tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi saat ini. Dian sudah tahu dan dia tidak mau lagi melihat Kinan menderita. "Kinan hamil dan dia juga berhenti kuliah." Airmata Dian ikut turun. Gadis itu menutup mulutnya sendiri untuk menahan isakan tangis. Dian ingat, Kinan itu orang yang gigih untuk menggapai cita-citanya, tapi semua itu sekarang dihancurkan oleh kakaknya sendiri. "Dia juga nggak berani pulang ke rumah orang tuanya." lanjut Tiara lirih. Dian memegang lengan Tiara dengan erat. "Mbak, tolong beritahu Dian di mana Mbak Kinan tinggal?" Tiara mengangguk pelan dengan pancaran mata penuh harap. Biarlah ia mengingkari janjinya pada Kinan yang memintanya untuk menyembunyikan tempat tinggal dan keadaannya. ××× Dian meletakkan sendoknya dengan pelan. Ia teguk ludahnya yang terasa serat. "Pa, Ma, Dian udah menemukan Mbak Kinan." Kedua orang tua itu langsung menatap anak bungsunya. Mencari kebohongan dari manik mata Dian karena puluhan orang yang mereka suruh tidak ada yang bisa menemukan Kinan dan apa yang Dian bilang tadi menurut mereka sangat mustahil. Dian baru kelas 12 dan gadis itu sedang sibuk-sibuknya belajar untuk menghadapi ujian kelulusannya. Mana mungkin dia ada waktu untuk mencari Kinan. "Mbak Kinan ...." Ada jeda pada kalimatnya kali ini. Dian antara ingin dan enggan mengatakannya. Ingin karena kedua orang tuanya memang harus mengetahui keadaan Kinan dan enggan karena mereka berdua pasti akan merasa terpukul seperti apa yang dirasakannya. "Mbak Kinan hamil." Akhirnya kalimat itu keluar dengan diiringi tetesan air mata yang kembali mengalir. Sama halnya dengan Dian, Bu Ratri juga tak bisa membendung air matanya. Inilah akibat dari perbuatan anak lelakinya malam itu. Sampai sekarang pun beliau belum memaafkan puteranya tersebut. "Kamu tahu di mana Kinan tinggal?" tanya beliau kemudian. Dian mengangguk. "Mbak Kinan tinggal di pinggir kota karena dia nggak berani ketemu orang tuanya. Mbak Kinan juga udah berhenti kuliah." Tangan kanan Pak Hadi mengepal keras. Beliau merasa bersalah. Kinan seharusnya tidak memikul beban ini. Kinan itu pintar dan bisa menggapai impiannya jika semua tidak dirusak oleh Arya. "Di mana dia tinggal? Biar Papa jemput dia." "Mbak Kinan pasti akan langsung menolak, Pa. Dan mungkin Mbak Kinan malah akan pergi lebih jauh lagi." sahut Dian memberi pendapat. Bu Ratri mengangguk menyetujui ucapan puterinya. "Dian benar, Kinan pasti akan marah." ××××× Kinan memijit kakinya yang terasa kaku. Hampir seharian ini dia terus berdiri karena pengunjung toko sepatu tempatnya bekerja membludak. Selain karena sepatu di toko tersebut kebanyakan keluaran terbaru, toko itu juga sedang memberikan diskon besar-besaran. "Makasih, Mbak." Kinan raih botol air mineral yang disodorkan oleh salah satu temannya. Seharian sibuk melayani pembeli membuat ia lupa menjaga kesehatannya sendiri. Bahkan untuk minum saja dia harus diingatkan oleh orang lain. "Kamu juga harus mikirin bayimu. Jangan terlalu memaksakan diri bekerja." Temannya itu memberi nasihat pada Kinan, untuk yang kesekian kalinya. "Iya, Mbak. Ini juga nggak maksa kok. Hehe." sahutnya seraya menyengir halus. Kemudian Kinan menunduk, melihat perutnya yang masih rata, tapi sudah dipastikan ada nyawa bersamanya. Di dalam sana telah hidup darah dagingnya. Bayi yang sampai saat inipun tidak ia inginkan. "Aku mau ngusulin supaya kamu dipindah ke bagian kasir aja." Kinan langsung menoleh pada temannya itu lalu menggeleng keras menolak rencananya. "Jangan, Mbak. Aku kan pegawai baru di sini. Aku nggak enak sama yang lain." Dia tahu, temannya itu punya niat baik padanya. Namun, dia cukup tahu diri di mana posisinya berada. "Kamu kan lagi hamil, Bos pasti bisa mempertimbangkannya." ××××× BRAK! Seorang wanita berambut panjang lurus memasuki ruangan seorang direktur dengan paksa, hingga membuat sekretaris yang mencegahnya terjerembab ke sofa. Wanita itu menatap murka pada seorang pemuda yang tengah duduk tenang di kursi kebesarannya sambil memegang pena, menggoreskan bukti kekuasaanya pada lembaran-lembaran kertas. "Maafkan saya, Pak." ucap si sekretaris dengan suara yang bergetar. Meminta maaf karena ia tidak bisa mencegah tamu yang merangsek masuk tanpa ijin. "Keluar." perintah pria itu tanpa mengalihkan perhatiannya pada tumpukan kertas di meja. Seorang pria dengan garis wajah yang tegas, alis tebal, hidung mancung, potongan rambut hitam legam yang rapi dan sorot mata tajam yang mampu meremukkan sendi. "Mbak nggak pernah ngajarin kamu jadi pengecut ya, Al." Arya membanting pulpennya ke atas meja. "Mbak ini apa-apaan sih? Pulang-pulang langsung marah-marah!" "Justru mbak pulang karena kamu." Wanita cantik yang berambut lurus itu duduk di seberang Arya. Dia adalah Arianti Ninda Pramono, kakak kandung Arya Alfarizki Pramono dan Aisha Dianitha Pramono. "Mbak Ari mending diem aja deh." "Al, kamu juga punya adik perempuan. Gimana kalau seandainya hal yang menimpa gadis itu terjadi sama Dian? Dihamili lelaki pengecut kayak kamu!" seru Ari menggebu. Arya berdiri dari kursinya. "Perempuan itu nggak hamil, Mbak!" Arya marah, dia tentu tidak mau jika Dian hamil di luar nikah. Dian itu adiknya, adik perempuan yang sangat ia sayangi. "Tahu dari mana kamu? Apa kamu udah pernah ketemu lagi sama dia?" Ari ikut berdiri menatap Arya. Berteriak lantang menantang adiknya itu. "Kalaupun dia hamil itu pasti bukan anak Arya." Plak! Satu tamparan keras mendarat di rahang tegas Arya. d**a Ari kembang kempis setelah melayangkan tangan halusnya itu. "Mbak kecewa sama kamu Al." Selepas kepergian kakaknya dengan debaman pintu yang cukup bisa membuat telinga berdengung, Arya mengacak rambutnya frustasi. Setelah ayah, ibu dan adiknya, kini giliran sang kakak yang memusuhinya. ××××× Kinan, lengkapnya Kinanthi Khairani, perempuan itu tersenyum ketika mendapati sosok sahabatnya sudah berdiri di ambang pintu rumah kontrakan yang ia sewa. Rumah kecil yang bisa melindunginya dari terik panas matahari dan dinginnya hujan. "Udah lama, Ra?" Tiara Herlinda atau sering dipanggil Rara oleh Kinan itu menggeleng kecil. "Aku baru aja sampai kok, Nan. Baru dari kampus tadi." Kinan tersenyum kecut. Seharusnya saat ini dia masih seperti sahabatnya itu. Mengenyam pendidikan yang akan membawanya pulang ke kampung halaman. Membuat ibunya tersenyum bangga dengan prestasinya. "Nan, aku bawain kamu kue pukis nih." seru Tiara yang sadar akan ucapannya yang salah. "Kok kamu repot-repot sih, Ra. Kamu mau ke sini aja aku udah seneng loh." Kinan membuka pintunya dan mempersilakan Tiara masuk. Tiara masuk terlebih dulu ke dalam rumah. "Aku nggak repot, Nan. Aku seneng kok. Lagian keponakanku kayaknya emang lagi kepengen kue pukis deh." ujarnya sambil membungkuk mendekati perut Kinan. "Tapi kan uang jajan kamu jadi terbuang sia-sia." Kinan sangat tahu siapa Tiara. Mereka sama-sama anak perantauan dengan uang pas-pasan. Meski Tiara bukan orang yang perhitungan, tapi Kinan tahu pasti jika Tiara mengorbankan jatah makan malamnya nanti. "Sia-sia gimana sih, Nan? Aku sebagai Tantenya aja peka kalau dedek lagi pengen banget kue pukis. Masa kamu yang Mamanya enggak sih." tutur Tiara sambil duduk leseh diatas karpet dan membuka bungkusan box kue pukis. Gadis itu teringat saat Kinan tanpa sadar berucap 'kue pukis didepan kampus enak kali ya' beberapa hari lalu saat ia berkunjung. "Sini duduk." Kinan akhirnya ikut duduk di depan Tiara. "Makasih, Ra. Aku hutang banyak banget sama kamu." Tiara mendongak melihat Kinan yang kembali menitikkan air mata. "Kinan." "Nanti kalau anak ini udah lahir, aku janji akan kerja keras supaya bisa ganti Ra." "Kamu ngomong apa sih, Nan?" tanya Tiara tak suka. "Makasih Ra, makasih tetap mau jadi temen aku pas keadaan aku kayak gini." Tangis Kinan menyeruak. Tiara adalah satu-satunya orang yang mau menerima keadaannya. Dulu Kinan punya banyak teman, tapi setelah mereka tahu Kinan hamil diluar nikah, Satu-persatu mulai meninggalkannya dan hanya Tiara lah yang tersisa. Tiara menerima, membantu dan mendukung Kinan dengan segenap hati. Tiara memeluk Kinan dengan erat. "Udah dong, Nan, jangan nangis lagi. Kasihan anak kamu nanti ikut sedih." ucapnya sambil mengusap-usap punggung Kinan. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD