-ERFAN-
Dari kejauhan aku melihat sesuatu bersinar, ternyata itu Ayu. Maaf jika ini terdengar sedikit berlebihan, tapi begitulah aku mendeskripsikan anak perempuan di kelasku yang satu itu. Kami satu kelas selama dua tahun berturut-turut, tapi anehnya kami memang jarang berinteraksi, kecuali seperlunya. Bukan menyesal, tapi hanya sedikit disayangkan saja, aku melewatkan dua tahun tanpa berteman dan melihatnya secara benar, hanya selewat-selewat.
Kami menjadi dekat saat akhir-akhir saja, itu pun karena kami terlibat dalam sebuah proyek sekolah, kami diikutsertakan dalam lomba karya ilmiah remaja. Setelah yakin kalau yang aku lihat itu benar-benar Ayu teman satu sekolahku, aku berjalan di koridor dengan terburu-buru untuk menjangkaunya.
Benar saja itu memang Ayu Ajeng, anak yang selama dua tahun selalu duduk di bangku ke dua, sejajar meja guru di kelas, dan tepat di sebelah jendela. Meski aku memang tidak sengaja memperhatikannya, tapi aku tahu dia duduk di sana, karena dulu tempat itu adalah tempat yang paling aku incar. Saat kelas satu selama setahun aku duduk di posisi itu, namun ketika naik ke kelas dua dan kelas tiga posisi itu sudah ditempatinya.
Setelah menyapanya, dan terlibat pembicaraan yang sedikit canggung, kami sepakat pulang bersama menumpang Busway. Ia sempat menolak, dengan alasan ia khawatir aku akan pulang dengan kendaraanku sendiri. Yang aku tangkap dari pernyataannya itu, antara dua, ia menyuruhku pulang sendiri menggunakan motor, atau dia memang tidak mau pulang denganku.
Untungnya aku memang tidak bawa motor, karena kebetulan motorku sedang ada di bengkel, aku kesini menggunakan mobil keluarga yang kebetulan tidak digunkan siapa-siapa hari ini. Aku tidak bohong, bukan? Tadinya aku ingin mengajaknya pulang menumpang mobilku, tapi karena ia sudah buru-buru berkata akan pulang dengan Busway, tidak ada gunanya juga aku menawarkan pulang dengan kendaraanku. Akhirnya aku putuskan aku pun akan ikut dengannya menggunakan kendaraan umum.
Mobil sengaja masih aku simpan di parkiran sebuah universitas yang menjadi tempat ujianku tadi, rencananya nanti akan aku ambil setelah mengantar Ayu pulang. Ini memang terdengar menggelikan, aku pun tidak mengerti mengapa aku melakukan ini.
“Aku udah mau sampai, kamu turun di halte depan juga?” tanya Ayu padaku. Aku sedikit gugup menjawab ini, karena aku memang tidak berniat pulang ke rumah, meski arah rumah kami sama.
“Eh iya, aku juga turun di depan aja, kebetulan aku ada keperluan,” jawabku.
“Oke kalau gitu,” respon Ayu.
Tak lama bus menepi, para penumpang yang akan menaiki bus sudah menunggu di pinggir halte. Bus pun berhenti, dan pintu perlahan terbuka, kami turun dengan tertib, dan tetap waspada, siapa tahu sambil lewat ada yang merogoh tas atau saku pakaian.
“Rumahku di komplek depan, naik ojek kemudian sampai. Kamu ada perlu ke arah mana?” tanya Ayu. Semoga saja ia tidak curiga, jika aku memang sengaja hanya ingin menemaninya pulang.
“Eh… aku akan ke arah sana. Ya udah, kita berpisah di sini. Hati-hati ya!” jawabku. Setelah itu Ayu pergi sambil melambaikan tangan.
Aku masih termenung di trotoar, memastikan Ayu menghilang di pertigaan depan. Setelah itu aku menyebrang, dan mencegat busway ke arah yang berlawanan. Aku harus mengambil kendaraanku di parkiran universitas tempatku melaksanakaan ujian.
-SATYA-
Tak terasa tahap demi tahap terlewat, sudah hampir dua bulan ini tenaga dan pikiranku terkuras habis tak bersisa untuk menyelesaikan semua proses seleksi taruna. Saat ini aku sedang merebahkan tubuh di ranjang tempat tidur sebuah wisma, yang menurut informasi yang kudengar, dari tahun ke tahun wisma ini sudah langganan ditempati para calon taruna, khususnya yang datang jauh dari luar kota.
Aku selalu satu kamar dengan Udin Sejak kami meninggalkan Jakarta, dan aku sangat bersyukur ada dia, jadi aku tidak merasa benar-benar sendiri, karena kami bisa saling membantu jika ada kesulitan. Apa lagi di tempat yang jauh dari rumah.
Menurut jadwal, besok pagi adalah sidang pantukhir tingkat pusat, penutup rangkaian tes-tes yang dijalankan selama ini. Aku tiba-tiba teringat celoteh bapak sebelum aku berangkat ke Malang, ia mendoakan agar aku “tidak kembali”, dan mungkin maksud doa bapak itu adalah ini.
Tak disangka, sejauh ini aku berhasil sampai di Magelang. Dan besok adalah hari penentuan, apakah aku lanjut ke Surabaya atau pulang ke Jakarta. Meski selama ini aku merasa lancar-lancar saja, dan selalu lolos dalam setiap tahapan. Tapi itu bukan harga mati bahwa aku pasti jadi taruna AAL.
Sidang besok hari adalah hari terpenting dalam perjuanganku, jika aku lolos maka aku akan langusng dikirim ke kampus AAL. Sedangkan jika tidak lolos aku akan kembali ke rumah, untuk memikirkan rencana selanjutnya, sambil menunggu musim rekrutmen taruna tahun depan.
“Mak, doakan Satya besok ya!” ucapku dalam sebuah panggilan video call lepas shalat magrib.
“Pasti, Nak! Mamak doakan semua yang terbaik buat kamu. Jangan lupa makan yang teratur, shalat lima waktu, dan tidur yang cukup!” jawabnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Ada bapak dan Kak Kirana di belakang mamak, yang saling berdesakan ingin juga tampil di layar handphone berukuran 6 inci, agar bisa aku lihat.
“Bapak juga mendoakan kamu,” tiba-tiba wajah bapakku yang besar muncul di layar, sepertinya ia berhasil merebut ponsel Kak Kirana yang digunakan untuk melakukan video call denganku dari tangan mamak.
“Iya, Pak! Semoga benar kata bapak, aku tidak pulang!” senyumku. Bapak mengerutkat kening, sepertinya dia lupa dengan kata-katanya sendiri padaku.
“Eh, Samson, kalau lu lolos saringan AAL, gue masakin ayam bakar satu panci khusu buat lu, makanya lu harus janji kalau lu bakal lulus ye, ngerti lu?” teriak Kak Kirana mengaggetkan.
“Iya… Iya… makanya lu jadi Panglima TNI dulu, jadi gue gak usah susah payah kayak gini!” jawabku sekenanya.
“Apa kata lu?! Kagak ada urusan sama Panglima TNI, pokoknya lu balik kudu wajib udah pake seragam taruna AAL. Titik!” bentaknya.
“Iya, berisik amat sih! Tetangga pada dateng baru nyaho,” jawabku santai.
Kadang aku heran dengan Kak Kirana, dia lebih semangat dari aku yang menjalani semua kegiatan ini. Entah balas dendam karena dia sendiri tak lolos saringan Akpol, atau memang ingin memiliki adik tentara.
Akhirnya aku menutup telepon setelah melepas semua rindu dan harapan dengan keluarga yang jauh di sana. Sampai-sampai aku tak menyadari Udin sudah masuk ke dalan kamar dan merebahkan tubuhnya di sebelah ranjangku yang hanya dipisahkan sebuah meja kecil di tengah-tengah.
“Eh, saya kira kamu masih telefonan di luar,” komentarku sambil menoleh ke arahnya.
“Udah beres dari tadi,” jawabnya.
“Barusan itu keluarga?” sambung Udin.
“Iya. Maaf ya kalau heboh, emang begini aslinya,” aku tersenyum. Sebenarnya sedikit tak enak juga, takut menggagu.
“Nyantei aja,” responya.
“Kalau aku tadi baru telefonan sama pacarku,”
Aku sedikit terkejut, karena tiba-tiba saja Udin menyampaikan informasi yang sebetulnya tidak aku tanyakan dan tidak berniat menanyakannya juga. Tapi aku tetap antusias mendengarkan, siapa tahu ia memang sedang membutuhkan tempat curhat.
“Di Jakarta?” tanyaku.
“Iya. Masih SMA. Dia masuk, aku kelas 3,” jawabnya.
“Oh, berarti sekarang dia naik kelas 2 ya?” responku. Ini bukan pertanyaan hanya sekedar penegasan saja.
“Iya,”
“Dia tahu kamu daftar AAL?” tanyaku. Kemudian aku beranjak dari ranjang menuju sebuah meja besar di dekat lemari, untuk mengambil makanan ringan yang kami beli saat pulang menuju wisma.
Nama jajanannya “Pothil”, ini tak ada di Jakarta. Bentuknya mirip cincin terbuat dari singkong. Semenjak kami di Magelang, aku dan Udin sering sekali beli camilan ini, yang dijual di warung oleh-oleh dekat wisma tempat kami menginap.
“Tahu lah masa nggak, yang lucu tiap aku telefon, dia nangis-nagis pengen nyusul,” komentar Udin sambil tertawa. Aku pun yang mendengarkan ikut geli.
“Ya udah, suruh nyusul aja sini,” komentarku.
Aku sangat yakin seratus prosen, pacar Udin tak mungkin benar-benar menyusul ke Magelang. Meski Udin mengizinkan. Itu hanya gimmick masa kasmaran. Tapi bisa juga benar, anak zaman sekarang tidak sedikit yang nekat.
“Ah, kamu bisa aja, Sat. Kamu sendiri ninggalin siapa di Jalarta, selain keluarga?” Udin melirik dengan pandangan yang sedikit menyebalkan.
“Siapa? Gak ada,” jawbku. Tiba-tiba saja wajah Ayu langsung menari-nari di benaku, yang buru-buru aku tepis.
“Ah masa, orang seganteng kamu, gak ada yang nungguin,” candanya.
Aku tak merespon. Tiba-tiba saja aku termenung sejenak. Aku penasaran dengan kabar Ayu sekarang, apa mungkin ia sekarang sudah menyandang status mahasiswa salah satu universitas dengan mengambil jurusan ilmu pendidikan, atau jangan-jangan dia malah mengambil kursus bahasa Korea.