Bab 7

1278 Words
-SATYA- “Ini, Bang!” kataku sambil menyerahkan uang lima puluh ribu untuk membayar taksi. Sesampainya di depan gerbang Mako. “Gak usah, Mas, udah dibayar tadi dimuka sama Bapak,” jawab Bang Malik, menolak uang yang aku berikan, sepertinya itu hanya alasan. Alih-alih meminta bayaran, ia malah keluar dan ikut membantu menurunkan barang-barangku. “Gak apa-apa, Bang!” kataku menolak dengan halus bantuannya. “Jangan dipikirkan, Mas. Udah tugas saya,” jawabnya dengan senyum ramah. Setelah mengucapakan terima kasih, Bang Malik pergi, mungkin aku adalah penumpang pertama untuknya di hari ini, ia terlihat sangat bersemangat mencari nafkah untuk keluarganya, tak hanya hari ini saja, setiap hari ia memang selalu bersemangat. Aku memakai tas ranselku di pundak, sementara koper tempat pakaian aku simpan di samping kakiku. Tak terduga suasana gerbang Mako pagi ini sangat ramai. Seiring matahari yang semakin meninggi, terlihat jelas hiruk pikuk orang-orang yang entah sibuk melakukan apa. Dan satu hal yang tidak aku sangka, ternyata semua orang datang dengan keluarga mereka. Bahkan mungkin ada yang sengaja menyewa angkot, agar semua keluarganya bisa ikut melepas kepergian para calon taruna untuk melaksanakan ujian tingkat pusat. “Sat! Sat!” terdengar seseorang berteriak. Kurasa orang itu meneriaki namaku. Aku menoleh, dan aku jumpai Udin tengah berlari ke arahku, menggunakan pakaian yang rapi dengan sepatu pantofel hitam. Dia lebih terlihat orang yang akan menempuh ujian CPNS ketimbang saringan masuk Akmil. “Sat,” ucapnya lagi dengan nafas yang masih tersengal. “Lho, kamu sendirian? Gak sama…” ucap Udin terpotong. Ia melirik ke kanan dan ke kiri. Ia pasti mencari-cari anggota keluargaku. “Nggak, aku sendiri!” sambarku menegaskan. “Oh,” jawabnya singkat. “Kita ke sana yuk!” ajaknya, langsung mengangkut koper yang aku letakan tepat di sebelah kakiku. Tak lama kami tiba, tepat di pinggir gerbang. Aku dapat melihat ada dua orang wanita—mungkin seusia ibuku, dua orang laki-laki sekitar usia 50 tahunan, dan lima anak kecil yang sedang sibuk berkejar-kejaran. Belakangan aku tahu mereka itu anggota keluarga Udin. Ibunya, ayahnya, paman dan bibinya, adik-adiknya, dan para sepupunya. Tak lama setelah itu datang lagi dua orang paruh baya—aku menebak itu pasti nenek dan kakek Udin. “Lolos juga, Kang?” tanya salah seorang dari mereka, laki-laki berusia 50 tahunan. “Eh, iya, Pak, Alhamdulillah,” jawabku. Aku tak paham dengan sapaan “Kang” yang ia lontarkan padaku. Yang aku tahu, itu salah satu nama untuk marga orang Korea seperti halnya “Kim”, “Park”, “Oh”, dan banyak lagi. Bukan, aku tidak suka menyaksikan drama Korea, aku tahu nama-nama itu, karena Ayu pernah mengatakan padaku. Ia sering menceritakan berbagai kisah yang berhasil ia tamatkan padaku disela-sela waktu kebersemaan kami. Dulu. “Oh iya, kenalin, ini Bapakku, Sat,” ucap Udin. Aku pun menyapanya dengan ramah, kemudian menyalami tangannya, layaknya yang aku lakukan saat bertemu Bapakku sendiri. Tak lama terdengar suara sirine. Aku sudah hafal benar dengan suara itu. Kami pun berkumpul di dekat sumber suara itu. Ada beberapa orang tentara yang sudah berjajar di depan gerbang, mereka memandu kami untuk berbaris di tempat yang sudah ditentukan. Sebelum berangkat, kami melakasanakan apel pagi sebentar, yang kemudian di teruskan dengan acara pelepasan. Dan disitulah tangisan semua orang pecah. Aku hanya bisa mengamati mereka, karena bagianku sudah selesai saat di rumah tadi subuh. Setelah itu, satu persatu dari kami mulai menaiki bus yang telah disediakan, dan kami siap berangkat membawa nama baik daerah kami untuk ujian tingkat pusat ke Malang. Saat di perjalannan kami masih kompak, tapi aku sangat yakin saat tiba di tempat tujuan, kami adalah pesaing satu sama lain yang memperebutkan kursi taruna AAL. Ini sejujurnya pengalaman luar biasa bagiku, aku tak menyangka aku sudah melangkah sejauh ini, mendekati tujuanku, dan mungkin tujuan hidupku. Aku menatap ke luar jendela bus, tiba-tiba saja aku teringat kegiatan karya wisataku dulu saat duduk di kelas dua. Kami pergi ke Jogja dengan bus pariwisata dari Jakarta. Perjalanan sangat memakan waktu dan harusnya cukup melelahkan, tapi itu tak aku rasakan, selama Ayu duduk di sebelah kursiku. Aku memalingkan wajahku ke sebalah kursi lain, di mana aku duduk, berharap aku menemukan wajah Ayu, tapi yang hadir hanya wajah Udin yang sedang tertidur pulas. Semenit aku menatapnya, aku tak menyangka dalam kegiatan yang penuh tekanan ini, aku bisa mendapatkan teman yang sepertinya dapat diandalkan, dan kupikir pertemanan kami tidak akan selesai sampai di sini saja, entah kami lulus bersama, salah satu dari kami lulus, atau kami tidak lulus sama sekali. Aku tersenyum, mensyukuri semua yang sudah terjadi padaku. Dan kembali menatap jalan. -AYU- Ini hari terakhir ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri, seperti tekadku dari awal, aku ingin menjadi guru, sesuai yang dicita-citakan orang tuaku juga. Kami ini keluarga pendidik, ayah dan ibuku lulus dari universitas yang sama dengan titel sarjana pendidikan. Ayahku seorang dosen sedangkan ibuku, dulunya ia seorang guru, tapi setelah melahirkanku, ia berhenti dari tempatnya mengajar. Tapi bagiku ia tetap menjadi guru, hanya berbeda tempat dan muridnya saja. Ibuku adalah guru terbaik untukku dan Sandy. Aku masih terduduk di bangku ujian, sambil menatap soal-soal yang harus ku jawab dengan benar. Suara detik jam dinding di ruangan itu terasa begitu mendebarkan, dan terdengar lebih keras dari biasanya, karena ruangan begitu hening. Tak lama bel berbunyi, tanda waktu telah berakhir. Pengawas meminta kami meninggalkan ruangan dengan tertib. Saat aku sedang berjalan di koridor, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang memanggil namaku. “Hei, kamu di sini?” sapanya sambil tersenyum. Aku pun balas tersenyum. Dia Erfan, teman sekelasku. Ketua kelas kami. Anaknya sangat simpatik dan ramah, dia salah satu anak di kelasku yang paling sering di puji guru karena prestasi dan tentu saja perilakunya yang sangat sopan dan bermartabat. Meski dia termasuk anak kutubuku, namun penampilannya sama sekali tidak cupu. Erfan sangat modis, bahakan anak laki-laki alim paling trendy yang pernah aku kenal. Jika dulu bukan Satya yang menyatakan cintanya lebih awal, Erfan adalah orang kedua yang sepertinya akan aku pertimbangkan untuk aku terima pernyataannya cintanya. Meskipun sejujurnya Erfan memang belum pernah menyatakaan cintanya padaku—bahkan tidak seorang gadis pun di sekolah kami. Erfan adalah definisi dari High Quality jomblo yang sesungguhnya. “Hei, aku gak tahu kalau kamu juga dapat tempat di sini,” balasku tersenyum. “Gimana barusan ujiannya?” tanyanya berbasa-basi. “Lumayan. Kamu? Pasti buat kamu tadi itu mudah semua, kan?” jawabku. “Ah, kamu bisa aja. Ini pujian atau sendirian?” tanya Erfan, lalu tertawa ringan. Aku baru menyadari, jika dilihat dari dekat, senyumnya memang manis. Tias pernah membicarakan soal ini, tapi aku tak menganggapnya serius. “Masa nyindir sih? Semua orang juga tahu siapa kamu,” jawabku. “Eh, kamu pulang ke arah mana, mau bareng?” tanyanya. “Makasih sebelumnya. Tapi aku udah biasa naik busway,” jawabku sedikit canggung. “Gak apa-apa kita bareng-bareng naik busway aja,” jawabnya, di luar dugaan. “Lho? Bukannya kamu biasanya bawa motor?” tanyaku. “Nggak… hari ini kebetulan nggak bawa moror kok,” jawabnya. Entah aku harus senang atau tidak, tapi paling tidak hari ini aku tidak perlu pulang naik angkutan umum sendirian. Kami pun berjalan menyusuri trotoar, jarak antara tempat kami ujian dengan halte terdekat jadi mendadak terasa sangat jauh. Tidak banyak yang kami obrolkan, hanya sedikit nostalgia masa-masa SMA yang baru beberapa bulan itu kami tinggalkan. Sebetulnya meski satu kelas aku dan Erfan memang tidak terlalu akrab, kami jarang sekali mengobrol. Karena jika jam istirahat tiba aku lebih sering pergi menemui Satya di kelasnya untuk makan bekal sekolah, atau kadang pergi ke kantin. Jadi ketika sekarang akhirnya aku dan Erfan berpapasan, kami cukup kebingungan mencari topik yang pas untuk diobrolkan. kurasa bukan aku saja, dia pun terlihat sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD