Bab 6

1359 Words
Tak lama, ayam bakar hasil “kecelakaan” siap dihidangkan. Aromanya benar-benar memanjakan hidung. Ternyata rasanya benar-benar enak, Satya adalah orang yang paling banyak nambah porsi. Ia sangat menyukainya, bahkan sebagai penghargaan, ia menyebut kakanya itu lebih jago dari pada Chef yang sering muncul di acara kompetisi memasak di televisi—Satya bisa bilang begitu, karena yang baru ia coba hanya masakan mamaknya dan kakaknya saja. Sejak saat itu Satya kerap meminta Kirana membuatkan ayam bakar yang sama, dan harus dibuatkan oleh Kirana. Pernah suatu ketika, tanpa sepengetahuannya aku membuatkan Satya menu ayam bakar yang serupa, bahkan semur ayam yang tidak sengaja mengering pun aku buat menjadi kering bahkan hampir gosong di panci, seperti yang pernah di buat Kirana. Tanpa diduga ternyata Satya bisa tahu, bahwa itu bukan masakan hasil maha karya kakaknya. Dan ia memakannya hanya karena menghargai jerih payahku, namun tidak selahap jika dibuatkan Kirana. -SATYA- “Barang-barangmu udah siap, Sat?” tanya Bapak padaku “Udah, Pak,” “Nih, simpen, jaga-jaga kamu butuh sesutu di sana,” Bapak menyodorkan sebuah amplop ke hadapanku, saat aku tengah melipat sajadah setelah pulang dari mesjid dekat rumah. Pandanganku tak pernah lepas dari jam dinding karena aku harus segera bersiap dalam sepuluh menit. Sesegera mungkin aku harus pergi dari rumah. Kami berkumpul di depan Mako. “Apa ini, Pak?” tanyaku, sambil mengintip ke dalam. Ternyata ada beberapa lembar uang berwarna merah di dalamnya. “Untuk bekal saja, sapa tahu ada kebutuhan mendadak dan jauh dari ATM. Bapak dan Mamak kan jauh, nanti kamu minta tolong siapa kalau butuh duit,” jawab Bapak. Aku sangat terharu. Bukan karena uangnya, tapi karena perhatiannya yang begitu besar padaku. Padahal tanpa diberi “perbekalan” seperti ini pun, sepertinya aku bisa bertahan hidup di sana. Kadang bapak memang sentimentil orangnya, aku pergi hanya seminggu saja sudah berasa seperti orang mau pindahan. “Pak, gak usah repot-repot, minggu depan juga Satya pulang,” jawabku. “Kalau tidak pulang bagaimana?” ucap bapak. Jujur saja, kata-katanya barusan sedikit membuatku bergidig. Maksudnya apa, mengatakan hal semacam itu pada orang yang akan pergi jauh dari rumah, sungguh sebuah ujarnya yang ambigu dan absurd. Tapi aku tidak menanggapi lagi ucapannya. Karena sibuk menyiapkan barang-barang. Aku keluar kamar sambil menentang ransel besarku. Tadi malam aku sudah mengecek kembali semua barang bawaan, barangkali ada yang terlewat. Karena jika ada satu saja yang tertinggal apa lagi jika itu barang yang penting, bisa tamat riwayatku di sana. Saat aku ke luar kamar menuju ruang tamu, kulihat Kak Kirana pun keluara dari kamarnya sambil menggosok mata, tumben sekali hari ini ia bangun tidak lebih dulu daripada aku, biasanya dia yang paling rajin menggedor pintu kamarku jika subuh tiba. “Lu pergi sekarang, De?” tanyanya. “Iya lah, kalo pergi besok, ngapain bawa ransel ke ruang tamu,” jawabku ketus. “Ati-ati di jalan! Hmm… Rumah pasti bakalan sepi selama lu di sana,” sambungnya. “Gak usah lebay! Gue tahu, lu selama ini berharap jadi anak tunggal di rumah ini, kan? Doa lu terkabul kali ini! Meski cuma beberapa hari. Selamat menikmati!” candaku. “Bisa aja lu…” balasnya tersenyum. Di halaman rumah sebuah taksi sudah menunggu, itu taksi Bang Malik, tetanggaku. Dia memang bekerja di sebuah perusahaan taksi besar di ibu kota, sebagai supir. Dia selalu semangat meski kadang dia mengeluh, pendapatannya “menarik” taksi tidak sebesar dulu, karena sebagian penumpangnya kini beralih ke moda transportasi berbasis online. Saat aku ke luar rumah, Bang Malik sudah melambaikan tangan ke arahku dari dalam mobil, dan setelah melihatku keluar dari ruang tamu dengan sebuah ransel, ia juga buru-buru membuka pintu depan dan berhamburan menyambutku di teras. Sebelum benar-benar pergi, aku melirik ke arah mamak. Matanya sembaba. Kurasa semalaman mungkin ia menangis. Aku tak berani menanyakan apa sebabnya ia menangis, karna aku tahu itu malah akan membuatnya bertambah sedih. Sejujurnya, ibu manapun tak ingin jauh-jauh dari anaknya, tapi ego seorang ibu bisa luruh demi kemajuan Sang Anak. Karena sejatinya doa ibu tak terhalang ruang dan waktu, di mana pun anaknya berada, di sana lah doa itu akan tertuju. “Kamu sehat-sehat ya, Nak!” tiba-tiba ia membuka suara. “Iya, Mak. Doain Satya ya!” seruku. Sambil mencium tangannya. Sontak saja tangisan pecah. Mamak benar-benar menangis di hadapanku. Air mata itu, tak pernah kulihat seumur hidupku, selain hari ini. Karena ibuku sejatinya jarang menangis, meski beban hidupnya menjadi ibu rumah tangga sangatlah berat. Aku tak berani lagi menatap matanya, karena lama-lama aku pun pasti akan menangis. Dan parahnya lagi aku bisa saja langsung berubah pikirin seketika, dan bisa-bisa membatalkan keberangkatanku ke Malang. “Pak, Satya pergi dulu!” ucapku, mencium tangan bapak. “Semoga sukses, Nak!” serunya sambil merangkulku dengan hangat. Bang Malik datang ingin membawakan tas ranselku, tapi aku tolak. Selain aku bisa membawanya sendiri, aku tak biasa merepotkan orang lain. Meski supir sekalipun. Setelah Bang Malik membuka pintu bagasi dan membereskan ranselku, ia bergegas pergi ke belakang setir. Kemudian memanaskan mesin. Aku masuk ke dalam taksi, dari dalam sana aku bisa melihat mamak, bapak, dan Kak Kirana berdiri di halaman dengan wajah yang sendu. Padahal awalnya justru mereka bertiga yang sangat bersemangat dan mengharapkan aku sampai ke Surabaya. Tapi nyatanya baru sampai Malang saja, mata mereka sudah bengkak. “Gak ada yang ketinggalan, Mas?” tanya Bang Malik padaku. “Gak ada, Bang. Ya udah, jalan aja, Bang!” jawabku. Perlahan mobil pun bejalan meninggalkan halaman. Kami hanya bisa saling melambaikan tangan dengan pilu dan rasa rindu yang sudah tumbuh, meski sejatinya kami baru akan berpisah. Sebelum ini sempat terjadi drama di rumahku, mamak teguh pendirian ingin ikut ke Malang mengantarku, tapi bapak mencegahnya. Alasannya sama seperti yang aku lontarkan sebelumnya. Bahwa ini bukan seleksi anak TK, yang harus ditemani orang tua ke sana kemari. Akhirnya mamak menyerah, ia tak berhasrat lagi untuk ikut pergi ke Malang. Tapi masalah lain muncul, akhirnya ia menurunkan standar keinginannya, tak lagi berniat ingin ikut ke Malang, tapi memohon diizinkan menemaniku sampai ke Mako. Sayang sekali, keinginannya yang satu ini pun tertolak. Aku sendiri yang menolaknya, bukan aku malu pada ibuku, tapi aku malu pada diriku sendiri, aku ini calon TNI, aku tak mau kelepasan menangis di sana saat perpisahan nanti. Selain itu nampaknya orang-orang pun tak ada yang diantar keluarganya, terkecuali mungkin yang datang dari luar kota, pikirku. -BANG MALIK- Aku memperhatikan dari kaca sepion depan, betapa harunya perpisahan mereka. Bahkan saat mobil sudah melaju jauh pun, aku masih bisa melihat mereka saling melambaikan tangan. Diam-diam aku melirik ke arah bangku belakang dari kaca sepion supir, hanya ingin memastikan calon taruna seperti apa tetanggaku ini. Saat aku amati secara seksama, Satya anak Pak Bambang ini dari penampilannya memang sudah sangat cocok menjadi salah satu anggota TNI. Postur tubuhnya tegap dan proporsional, rambutnya yang sudah dipotong model cepak semakin gagah dan berwibawa. Padahal dulu aku lihat jika dia pergi ke warung istriku untuk membeli mie instan, model rambutnya tak pernah lepas dari poni, yang tak jarang ia kibaskan ke arah samping. “Ikut seleksi Akmil apa, Mas?” tanyaku memberanikan diri. “Angkatan Laut, Bang,” jawab anak itu. “Wah keren banget Mas Satya, ckck,” decakku kagum. Aku jadi teringat dulu, saat aku seusianya. Cita-citaku ingin menjadi pilot, tapi ternyata malah menjadi supir taksi. Tak mengapa, toh dua-duanya sama saja, mengangkut penumpang, bedanya pilot di udara, supir taksi di darat. “Kenapa ambil angkatan laut, Mas? Gak angkatan darat aja gitu?” tanyaku lagi, penasaran. “Pengen jadi KOPASKA, Bang,” Jawabannya semakin membuatku kagum saja, aku bersyukur anak tetanggaku ini sudah mantap dengan cara dia menjalani masa depannya. Ketimbang nongkrong-nongkrong tak jelas dan berujung ikutan tawuran, pemandangan yang kerap kali aku lihat di kalangan pemuda ibu kota. Aku ini supir taksi senior, penjuru Jakarta semuanya sudah pernah aku sambangi, dan aku tahu betul bagaimana kerasnya kehidupan sosial di ibu kota ini. “Semoga sukses ya, Mas!” responku singkat, sambil tersenyum. “Kalau sudah jadi TNI, kabar-kabari Bang Malik ya, Mas,” sambungku. Bagaimana pun aku adalah orang yang turut andil dalam mengantarkan anak ini menjadi seseorang. Aku berharap apa pun yang dicita-citakan anak ini dapat terwujud. Ini doa yang tulus dari seorang supir taksi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD