Bab 5

1419 Words
Setelah gagal menelepon Ayu karena kontaknya hilang dan aku tidak pernah menghafal nomor teleponnya. Aku segera menyimpan ponselku di atas meja, dan pergi ke dapur untuk bertemu sepiring nasi, sepotong ayam bakar, plus sambal terasi. “Ayo makan yang banyak! Biar nanti kuat!” Seru ibuku langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, sesaat setelah melihatku masuk ke dapur. “Iya, Mak,” jawabku singkat. Lalu menggeser kursi dan duduk di salah satu bangku di depan meja makan tua peninggalan Engkong Rohmat, kakekku dari pihak ibu. “Besok berangkat jam berapa?” tanya ibuku. Aku yakin pertanyaan mamak hanya untuk memastikan saja, karena mustahil ayahku tidak bilang aku pergi kapan. “Lepas shalat Subuh, Mak. Sekitar jam setengah lima dari rumah,” jawabku. Aku sengaja akan pergi pagi sekali, karena lebih baik datang terlalu pagi daripada terlambat. Jika melihat pengumuman kemarin, aku dan beberapa calon taruna lain akan diberangkatkan bersama pukul delapan pagi esok hari. Tes seleksi sendiri baru akan dilaksanakan lusa. Meskipun terbilang sangat mepet, tapi aku bersyukur, masih ada waktu untuk beristirahat beberapa jam, sebelum harus bersiap mengikuti rangkaian tes selanjutnya yang tak kalah melelahkan seperti beberapa minggu belakangan ini. “Hati-hati di jalan! Jaga sikap! Nanti di sana kamu dikasih makan, gak? Kalau nggak kamu bawa magic-com saja dari rumah sekalian sama berasnya,” ucap mamak, membuatku ingin tertawa. “Yaelah, Mak. Di sana juga dikasih makan kali, kalau pun nggak dikasih, ya gak usah segala penanak nasi di bawa-bawa,” komentarku. “Ya kali, Mamak kan gak tahu, anak Mamak apa dikasih makan apa nggak di sana,” mamakku berkata dengan sewot. Aku tahu, dan bisa merasakan perasaan mamak, antara senang dan khawatir, aku berangkat ke Malang. “Apa Mamak gak boleh ikut, Nak?” tanyanya, di luar dugaanku. “Mak, ini bukan pendaftaran anak TK, gak perlu diantar apa lagi pake ditungguin,” jawabku. Ada-ada saja pertanyaan mamak ini, aku bergumam dalam hati. “Yah, sayang banget ya, tadinya kali aja Mamak bisa milih-milih apel malang di sana buat bakal oleh-oleh tetangga,” sambungnya lagi lebih ngawur. “Kalau mau apel malang gak perlu jauh-jauh, Mak. Noh, di pasar Kramatjati banyak,” Tiba-tiba kakakku yang bawel kembali, ia baru saja ke luar dari kamar, setelah kira-kira satu jam bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Tahun kemarin, dia juga ikut seleksi Akpol, tapi tidak lolos, bahkan sejak seleksi di tingkat daerah. Tidak bisa berenang. Setelah mendapatkan pengumuman tidak lolos seleksi Akpol, dan karena setelah lulus SMA ia juga tidak ada niat langsung bekerja, akhirnya ia ikut seleksi saringan masuk universitas berselang dua bulan kemudian, dan mungkin memang jodohnya adalah jadi anak kuliahan bukan anak ikatan dinas, dia lolos di fakultas ekonomi di salah satu universitas negeri di kota Depok. Dan sekarang sedang mengusahakan beasiswa, mengingat sawah bapak di Jawa sudah habis dijual buat membiayai biaya masuk kuliah, dan semesteran. Jika tahun ini beasiswa itu belum terlihat hilalnya, kakakku mau tak mau harus cari kerja tambahan untuk menutupi kekurangan biaya kuliah dan buku-buku. Bukan bapak tidak sanggup membiayai, tapi gaji PNS dengan banyak cicilan ini itu, tentu tidak akan mencukupi. Soal biaya, bapak juga sempat gusar, karena rumor yang beredar, butuh uang besar untuk masuk Akmil, tapi aku sangat bersyukur, sejauh ini kami belum keluar uang sepeser pun, kecuali untuk biaya fotocopy dokumen, dan cetak pas photo di awal saja. Dan juga mungkin biaya sekunder, seperti jajan bakso dan es jeruk di dekat Mako saat menunggu pengumuman kelulusan administrasi, yang memakan waktu hampir seharian ke sana kemari itu. Dugaan mamakku benar, belum lama ia pernah menyarankan padaku untuk cari sekolah lanjutan yang berembel-embel ikatan dinas, supaya meski statusnya masih pendidikan pun sudah dapat “gaji”. Lain halnya dengan mengambil kuliah reguler, jangankan dapat uang, justru banyak keluar uang. Saat mendengar ini, aku bisa melihat wajah Kak Kirana mulai suram, padahal bukan salahnya juga tak bisa berenang. Dan aku bahkan harusnya berterima kasih padanya, paling tidak aku jadi tahu bahwa berenang umumnya masuk dalam tes fisik seleksi Taruna. “Itu kan beda sensasinya, Neng,” jawab mamak. Masih membahas soal apel malang. “Kalau gitu bilang aja pengen jalan-jalan, Mak,” komentar kakakku. Yang berujung membuat mamak tersipu. -MAMAK- “Elah, pinter amat sih lu, Neng. Tahu aja kalo Mamak kurang piknik,” timpalku membalas gurauan anak gadisku yang mungkin sebentar lagi akan di bawa orang kalau sudah dipinang. “Ya udah, entar kalau liburan semester, kita piknik, Mak. Mau ke mana, Bandung? Jogja? Apa Bali, biar sekalian jauh?” ucap Kirana. “Duit dari mane?” ucap seseorang sambil menyibak tirai pintu dapur, peserta debat pagi ini bertambah. Suamiku tiba-tiba datang, kemudian mengambil gelas untuk menyeduh kopi seperti biasa. Melihat hal itu dengan sigap aku langsung menyodorkan dua buah stoples, berisi kopi hitam dan gula pasir. “Yah, Bapak. Rezeki gak ada yang tahu, Pak,” aku bisa mendengar Kirana berkomentar, sambil menyiapkan air panas di termos untuk menyeduh kopi tubruk. Aku hanya bisa tersenyum mendengar percakapan antara bapak dan anak itu. “Ya udah, aku pamit ya! Assalamualaikum!” ucap Kirana. Tak lama ia menghampiriku dari belakang, untuk mencium tangan. “Kamu gak sarapan dulu?” tanyaku, sambil menyimpan termos yang sudah diisi air mendidih di atas meja makan. “Nggak, Mak. Udah telat, kalau lebih siang suka macet,” jawabnya. Jawaban yang hampir selalu terlontar jika warga Jakarta disuguhi pertanyaan yang sama di pagi hari. Suasana seketika hening kembali. Aku senang melihat Satya begitu lahap menyantap makan paginya. Tadi, sebelum bersiap-siap pergi ke kampus, Kirana sengaja meluangkan waktu pembantuku memasak, ia bilang, ingin memberikan hadiah spesial untuk adik laki-lakinya yang sudah berhasil sejauh ini. Ayam bakar bumbu kecap kesukaannya. Berbicara menu makanan ini, ada sejarah tersendiri. Dulu saat anak-anak masih kecil-kecil. Ya, tidak terlalu kecil juga, sekitar usia SMP, Kirana mendaftar ekskul tata boga di sekolahnya, dan ceritanya, ia mau mempraktekkan resep semur ayam khas Betawi di rumah, hasil dari praktek di sekolahnya. Aku sudah menyiapkan semua bahannya dengan susah payah, subuh-subuh aku pergi ke pasar mencari pesanan Kirana sekalian membeli kebutuhan dapur rutin. Setelah sampai di rumah, Kirana langsung menyerbu keranjang belanjaku, dan siap-siap mengeksekusi bahan menjadi masakan. Kebetulan hari itu adalah akhir pekan, jadi semua anggota keluarga berkumpul. “Kalian semua duduk manis aja ya, makan siang hari ini, semua aku yang siapkan, jangan ada yang ikut campur di dapur! Banyak tangan bikin makanan gak enak!” ucapnya dengan tegas dan sedikit galak. “Emangnya kamu mau bikin donat, Nak? Kalau bikin donat sih jelas, kalau pas ngadon kebanyakan tangan, mitosnya bikin adonan jadi bantet,” gurauku. “Ya udah Mamak boleh bantu. Tapi Cuma menanak nasi aja ya tugasnya, gak boleh pegang peralatan masak!” ucapnya lagi. “Baik, Chef!” jawabku, sambil menahan tawa. Laganya sudah seperti koki profesional, Kirana mulai memakai apron masak yang diikatkan ke pinggangnya—ini sengaja dia beli dari toko online, saat tahu bahwa di sekolahnya kini dibuka ekskul tata boga. Jika di lihat dari penampilan luarnya sih, sudah dapat di tebak, hasil masakan Kirana pasti mak nyus. Setelah menanak nasi, sesuai perintahnya, aku meninggalkan dapur. Aku pikir anak gadisku—yang merasa dirinya menjadi koki handal itu, tetap ada di sana untuk mengurus masakannya. Tapi tak di duga, anak perempuan tetangga kami main ke rumah, dan Kirana alih-alih melanjutkan memasak di dapur, ia malah asyik mengobrol di teras rumah. Kejadian selanjutnya sudah dapat di tebak. “Tidakkk!!! Kenapa jadi gini sih??!” terdengar suara histeris dari dalam dapur. Kami yang mendengar itu, terbirit-b***t berlari menuju dapur. Kemudian mendapati panci yang hampir gosong, dan seorang anak perempuan yang sedang menangis sesenggukan di pojokan dapur. Aku segera menghampiri Kirana dan menanyakan apa yang terjadi, sementara Bapak dan Satya berlari ke arah kompor, dan membuka tutup panci. “Walah semurnya kering, Mak!” komentar Satya. Membuat Kirana yang sudah berhenti menangis, kembali menangis sejadi-jadinya. “Yak udah gak apa-apa, semur sudah menjadi ayam ungkep kecap, kita bikin saja jadi ayam bakar spesial,” ucap Bapak membesarkan hati Kirana. Kirana yang tadinya muram sambil berjongkok di pojokan dapur bangkit berdiri, ia mengusap air matanya, lalu mengambil pembakaran dari bahan batu granit yang ia simpan di sebelah tabung gas di bawah meja kompor. “Ya udah, sini aku bikin ayam bakar aja semurnya!” ucapnya sambil terisak. “Mamak bantu ya,” aku menawarkan diri, karena tak tega melihat kesedihan mendalam yang dialami anak gadisku yang gagal memasak semur. “Nggak boleh!!!” jawabnya galak. Apa mau dikata, aku menuruti saja apa maunya. Sambil menahan tawa, aku mundur pelan-pelan, dan meninggalkan dapur sebelum ia berubah menjadi singa betina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD