Bab 1

2929 Words
Malam semakin larut dan langitpun semakin menyelimuti bumi dengan hitamnya yang pekat. Hanya ada titiktitik cahaya bintang dan lampu-lampu gedung pencakar langit. Dua sejoli sedang menyandarkan tubuh telanjang mereka yang hanya ditutupi selimut pada kepala ranjang. Keduanya larut dalam kesunyian ruangan serba putih dengan lampu temaram. “Ara...” panggilnya pada gadis yang sedang membenamkan kepala pada d**a bidangnya. ”Yaa... Ada apa, Mas?” tanya gadis itu sedikit bergumam sebelum mengangkat wajahnya untuk melihat air muka pria itu. Pria yang tidak bisa dikatakan muda namun penampilannya masih sangat menarik. Otot-otot tubuhnya masih terbentuk dengan baik, tidak ada timbunan lemak pada perutnya. Yang ada hanya deretan kotak yang terpatri indah pada bagian perutnya.  “Kau sungguh tidak ingin menikah denganku?”  Gadis itu tercenung mendengar pertanyaan yang ditujukkan padanya. Sejujurnya hanya orang bodoh yang akan menolak lamaran pria tampan yang sedang memeluk tubuh telanjangnya ini. Namun mungkin hanya ia satu-satunya orang bodoh yang menolaknya. Bukan tanpa alasan Amara menolak lamaran pria sekelas Rishyad Kelly. Amara Permata Adhiguna, gadis muda berusia 23 tahun namun sudah memiliki karir cemerlang. Setelah lulus kuliah ia diterima bekerja di perusahaan IT bonafit di kota tempatnya tinggal, bahkan perusahaan terbaik se-Indonesia. Setelah 2 tahun bekerja akhirnya beberapa bulan lalu ia diangkat sebagai seorang Asisten Manajer Marketing. Gadis itu sangat pandai bernegosiasi, dan puncaknya saat ia berhasil meraih kontrak kerjasama dengan perusaan multinasional setahun lalu. Karinya semakin baik dan lancar, dan hal itu jugalah yang membuatnya kenal dengan seorang pria beristri. Rishyad Kelly, pria berusia 39 tahun yang berhasil sukses mengembangkan perusahaan multinasional miliknya. Pria itu adalah warga keturunan Australia dari Ayahnya. Saat ini ia telah menikah dan memiliki dua orang anak yang beranjak remaja. Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk menjalin cinta dengan wanita lain. Rishyad memandangi wajah Ara yang berubah sendu ketika mendengar pertanyaannya. Sejujurnya Ara sangat ingin menerima lamaran pria ini, hanya saja ia tidak ingin menjadi perebut suami orang. Karena orang lain pasti akan menyematkan predikat itu padanya, walaupun saat ini pun sudah seperti itu. Menjadi simpanan pria beristri. “Aku akan segera menceraikannya, kau tenang saja, Sayang. Anything for you...” ucapnya sembari mengecup kening Ara lama dan hangat. Keduanya kembali hening, menerawang pikiran masing-masing. Bagaimana dengan kelanjutan hubungan mereka yang terjalin sudah hampir 1 tahun ini. Kegilaan tiada batas yang mereka rengkuh di atas janji suci pernikahan Rishyad dengan sang istri. Pria itu begitu tergila-gila dengan Amara, tidak lelah untuk mengejar cintanya hingga gadis itu luluh. Membalas cinta dan memberikan yang paling berharga untuknya.  Siapapun yang mengetahui hubungan terlarang ini sudah pasti menganggap keduanya gila. Bahkan tidak akan menyangka gadis sebaik Amara bisa melakukannya dan pria perfect penyayang keluarga seperti Rishyad bisa berakhir dengan main belakang. Menyelingkuhi istrinya dengan gadis muda dari perusahaan yang bekerjasama dengannya.  Namun itulah cinta. Terkadang gila dan tidak pandang tempat jika ingin datang. Tidak kenal dengan siapa jika ingin berkenalan. Yang mereka tahu cinta adalah suatu rasa di luar kendali hati manusia. Mungkin awalnya bisa menepisnya dan menganggap rasa itu tidak ada, namun seperti ada yang hilang dan kosong ketika seseorang itu menjauh. Itulah yang dirasakan keduanya saat ini, rasa saling memiliki dan membutuhkan. Ara selalu mendapatkan apapun dari Rishyad, pria itu selalu memenuhi keinginannya. Tetapi tidak semua hal yang sudah diberikan pria itu bisa membuatnya merasa puas. Hanya saja beberapa waktu terakhir perasaan kosong itu mulai menyergap hatinya. Pikiran bahwa semua yang mereka lakukan ini salah. Amara sudah tertidur dalam pelukan Rishyad, membenamkan wajahnya pada d**a bidang itu. Kebiasaan yang entah sudah sejak kapan gadis itu miliki, karena selama ini hanya guling yang dipeluknya. “Sabarlah sedikit lagi, Sayang. Aku akan meresmikanmu sebagai Nyonya Kelly.” *** Sudah beberapa hari sejak kepulangannya ke Indonesia, Huda selalu menghabiskan waktu dengan teman-teman SMA nya. Mengabaikan semua keinginan Ayahnya untuk mulai mengurus pekerjaan di kantor. Karena menurutnya masih banyak waktu untuk itu, saat ini ia hanya ingin bersenang-senang sedikit setelah mendapatkan gelar Master Bisnisnya di Harvard. Bahkan sebelum berangkat ke Amerika 2 tahun lalu , Huda sudah sempat bekerja dengan Ayahnya. “Ya, Pa. Huda ke kantor sekarang,” ucap lelaki yang kini tengah menghabiskan sarapannya di meja makan bersama orangtua dan ketiga adiknya. Huda Adnan, lelaki berusia 27 tahun yang baru menyelesaikan S2 nya di Harvard University. Putra pertama dari Ammar Adnan dan Hannah Kelly, kakak dari Assyifa Adnan, Haura Adnan dan Arfan Adnan. Diusianya yang sudah dikatakan cukup dewasa ia masih betah dengan kesendiriannya, bukan dalam arti sebenarnya. Huda memiliki kekasih namun belum ada terbersit keinginannya untuk menikah. “Jadi kapan kau mengenalkan gadis itu? Siapa namanya?” tanya Hannah to the point karena sejujurnya ia sangat malas menanyakan perihal lintah darat itu. Ketiga adik Huda pun sudah mendengus sebal dan memutar bola matanya. Kakak mereka terlalu bodoh untuk percaya pada perempuan seperti Intan. Anak seorang pejabat yang menurut Assyifa tidak lebih dari sekedar anak manja yang hobinya menghamburkan uang. Bahkan belum bisa dipastikan uang yang dihabiskannya itu milik Negara atau bukan. “Intan Putri Wiroharjo, Ma,” jawab Huda yang menyadari delikan tidak suka ketiga adiknya. Seakan enggan meladeni ketiga adiknya yang memang sudah sering terdengar protes, Huda telah berdiri meninggalkan mereka dimeja makan. Alasannya tidak ingin terlambat dihari pertama bekerja sebagai CEO baru perusahaan yang ditunjuk oleh ayahnya. “Kak Huda, Assyifa ikut ya,” adik yang lebih muda 7 tahun darinya itu sudah mengejarnya saat ini. Huda sudah tahu tujuan adiknya ingin ikut berangkat bersamanya, pasti akan ada ceramah panjang yang lagi-lagi harus membuatnya menutup telinga. Adiknya ini memang masih muda tapi terkadang pikirannya dewasa, lebih dewasa dari usianya. “Baiklah,” ucap Huda pasrah dan segera menjalankan mobilnya ketika Assyifa telah menggunakan seatbelt nya. Hening. “Kakak nggak pengen kenal cewek lain selain Intan Permata Berlian Mutiara itu?” Tanya Assyifa membuka pembicaraan dan menatap wajah datar tanpa ekspresi Huda. “Apa lagi, Dek?” Huda masih fokus pada jalan di depannya walau masih bisa merespon adiknya. “Gue sedih Kak kalo lo cuma diporotin dan dimainin sama tuh orang,” ucapnya dengan bersedekap d**a. “Gue percaya dia serius kok, Dek. Udah sampe di depan kampus kamu nih.”  Huda menghentikkan mobilnya tepat didepan gerbang kampus tempat Assyifa kuliah. Namun gadis itu masih tak bergeming dari kursi penumpang. Matanya masih menatap Huda penuh selidik sebelum akhirnya bicara pada kakaknya itu. "Dikantor Papa ada perempuan baik, cantik dan pintar Kak. Lebih baik sama dia saja, daripada Kakak buang-buang waktu dengan perempuan jenis begitu" usahanya berlanjut dengan mencomblangkan Kakaknya dengan salah satu staff di perusahaan ayah mereka. "Yasudah kamu kuliah yang bener" Huda lebih memilih untuk tidak menghiraukan ucapan Assyifa dan merapikan jilbab adiknya itu. Huda kembali melajukan mobilnya di jalanan kota yang selalu padat setiap harinya di jam-jam seperti sekarang. Lelaki itu lebih suka suasana hening saat berkendara, tidak ada bunyi-bunyian selain deru mesin mobil yang berpacu di bawah sana. Bicara soal Intan, gadis itu adalah pacar pertamanya sehingga sulit bagi Huda untuk melepaskannya walau ada seseorang yang leboh dulu merebut hatinya. Setelah melalui perjalanan cukup lama akhirnya Huda sudah memasuki area kantornya. Memasuki basement untuk memarkirkan mobilnya di area khusus petinggi perusahaan. Dia merapikan penampilannya sesaat sebelum keluar dari mobil, karena tidak ingin kesan pertama di hari pertama kembali bekerja di perusahaan ayahnya berpenampilan tidak rapi. Huda membenarkan posisi dasinya yang kurang tepat. “Mungkin benar kata mereka aku harus segera menikah,” seringainya tipis saat memeriksa kembali penampilannya dari spion depan. *** “Ara...!!!” teriak seseorang di belakang Amara, membuat gadis yang baru akan memasuki ruang kerjanya berhenti. “Jangan teriak-teriak, Sof. Gue nggak budek,” keluh Amara saat berbalik dan mendapati Sofia berjalan sedikit berlari ke arahnya. “Makanya lo kalo jalan jangan cepet bener, kaki gue pendek susah ngikutinnya,” ucapnya setelah berhasil mensejajarkan langkah dengan Amara. Amara telah fokus mengerjakan laporan penjualan untuk minggu ini, mengabaikan semua celotehan Sofia. Kepalanya sudah benarbenar pening rasanya, terlebih pertanyaan Rishyad padanya semalam. Amara tidak menyangka kegilaannya dengan menerima cinta Rishyad saat itu akan membuat hidupnya serumit ini. Di satu sisi dia benar mencintai pria itu, tapi di sisi lain dia tidak mungkin mempertahankan apalagi memperjuangkan sesuatu yang memang tidak pernah menjadi miliknya. Apa kata keluarganya nanti jika tahu bahwa selama ini dia tidak lebih dari simpanan pria beristri? “Ngelamun aja lo, printan udah kelar semua tuh,” Sofia menepuk bahu Amara untuk menyadarkannya dari lamunan panjang tak berujung. “E---eeh... Thanks, Sof,” ucapnya menyunggingkan senyum tipis saat mengambil tumpukan kertas hasil print laporannya. “Lo sakit, Ra?” tanya Sofia dengan wajah khawatir. “Enggak kok, I am well,” “Terus kenapa muka lo pucet? Terus dari tadi ngelamun aja,” Sofia masih menatap wajah Amara yang memang pucat saat ini. “I am well, Sof. Don't be worried okay,” senyuman itu lagi. Sofia tahu betul itu bukanlah senyum tulus dari seorang Amara Permata Adhiguna, melainkan senyum terluka. Mereka memang dekat saat di kantor dan juga luar kantor, hanya saja masih ada perasaan sungkan bagi Sofia untuk menanyakan kondisi Amara. Lebih tepatnya ia ingin menghargai privasi sahabatnya itu. Amara bukanlah sosok yang sangat terbuka dengan orang lain, jadi kalau sampai ada yang bisa mendekati atau akrab dengannya sudah dipastikan orang itu hebat. “Lo udah denger belum?” tanya Sofia pada Amara yang sedang sibuk dengan layar PC nya. “Belum, Sof",”jawabnya santai masih dengan kesepuluh jari di atas keyboard. “Seriusan belum denger?” Sofia mendekatkan wajah ke Amara yang tidak menggubrisnya sedari tadi. “Lo belum cerita, terus apa yang gue denger?” Amara mengernyitkan kening dan menatap Sofia tajam. Sofia menepuk keningnya sendiri sampai membuat Amara meringis membayangkan betapa sakitnya itu. Mendengar suaranya saja sudah menyakitkan, apalagi merasakannya. “Gue lupa hehe sorry, Ra,” cengirnya menyadari kebodohannya. “Yaudah jadi lo mau cerita apa? Gue siap jadi tempat sampah gosip lo.”  “Yaelah. Mau bener lo jadi tempat sampah, yang bagus dikit napa? Trash bag gitu hehe... Udah aah seriusan nih gue denger CEO baru akan masuk hari ini.” “CEO baru?” tanya Amara yang mulai tertarik mendengar ocehan Sofia yang biasanya tidak lebih dari sampah gosip murahan. “Iya, Huda Adnan yang ganteng itu lho... Ya walau kalah ganteng sama omnya,” Sofia mulai senyum-senyum sendiri membayangkan wajah tampan Huda. Karena memang dia   sudah bekerja di perusahaan ini lebih lama dari Amara, jadi sempat bertemu dengan Huda sebelum melanjutkan studynya ke Amerika. “Omnya? Emang siapa? Lo kenal?” tanya Amara mulai penasaran karena tidak biasanya Sofia membandingkan orang lain yang sudah menurutnya tampan. “Rishyad Kelly, lo pasti kenal dong yang sering meeting soal project pemancar bandara itu,” sontak saja ucapan Sofia barusan membuat tubuh Amara menegang. Saat ini sungguh ia tidak ingin mendengar nama itu, bahkan sedari pagi ia sudah mengabaikan puluhan panggilan dan pesan dari pria itu. “Keponakan Pak Rishyad? Turunan juga dong,” kekehnya berusaha mencairkan suasana dan ketegangan pada dirinya. “Iya. Ganteng lho ya, beda dikit doang lah sama Pak Rishyad. Secara Pak Ammar kan Indonesia aseli bukan copyan seperti Bu Hannah,: Sofia yang bicaranya tanpa filter langsung mendapat pelototan dari Amara. Khawatirnya kalau ada orang lain yang mendengar ucapannya dan melapor. Kan bisa bahaya. “Udah yuk balik kerja, nggak usah gossip,” Amara kembali fokus dengan layar PC nya daripada meladeni Sofia. Lebih tepatnya ia menghindar untuk mendengar nama pria itu disebut. *** Rapat pimpinan perusahaan Jaya Group sedang dilangsungkan dan Ammar Adnan selaku Pimpinan tertinggi dan pemilik saham terbesar dari Jaya Group turut hadir. Ammar memperkenalkan CEO baru sebagai pemimpin baru yang bekerja tepat di bawahnya. Huda Adnan, dari namanya saja sudah dapat dipastikan siapa lelaki ini. Bukan hanya seorang putra pertama di keluarga Adnan, melainkan cucu pertama di keluarga Kelly yang memiliki jaringan perhotelan di Asia Tenggara dan Australia. Kakeknya adalah Christian Kelly seorang konglongmerat asal Australia dan Neneknya adalah Galuh Ajeng Wiryonoto putri tunggal pemilik perkebunan kopi di Jawa Tengah. Sudah dipastikan banyak gadis di luaran sana yang berebut untuk mendapatkan cintanya. “Saya mohon bantuan dari Bapak dan Ibu karena saya masih baru dalam posisi ini,” ucap Huda mengakhiri sambutan singkatnya sebagai CEO baru Jaya Group. Rapat sekaligus perkenalan CEO baru telah selesai, Huda berjalan cepat meninggalkan ruang meeting setelah ayahnya. Ruangan Huda berbeda 1 lantai dengan ruangan Ammar, sesuai permintaannya. Tujuannya agar ia lebih bisa leluasa bekerja tanpa pengawasan langsung dari sang ayah. Saat jam makan siang kantin perusahaan sangat penuh, kebetulan perusahaan ini memang menyediakan makan siang dengan takaran gizi yang pas. Seorang ahli gizi disediakan untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi setiap karyawan. Amara dan Sofia telah mengambil tempat duduknya setelah mendapatkan jatah makan siang. Mereka mengabaikan keriuhan di depan pintu masuk kantin, karena sudah bisa menebak siapa yang datang. Sejak dulu Huda memang lebih suka berbaur dengan karyawannya dan menikmati santap siang di kantin. Namun sepertinya hari ini cukup tidak baik untuknya, karena lelaki itu tidak mendapatkan tempat duduk. Hingga mata hitam dengan tatapan elangnya menangkap 1 kursi kosong di sebelah gadis berambut hitam dengan potongan long bob dan seorang gadis berambut ikal panjang dikuncir kuda. Huda segera berjalan ke arah meja tersebut dengan senampan penuh makanan dan minuman. Tanpa sungkan ia langsung mendaratkan b****g di  kursi kosong yang ada di sisi gadis berambut pendek. Mengabaikan tatapan kecewa para wanita yang sedari tadi menatapnya lapar. “Permisi, boleh saya duduk di sini ya?” ucapnya ramah yang membuat gadis yang rambutnya diikat itu terpesona. “Si--silahkan Pak Huda,” gadis itu tergagap karena tidak bisa menutupi kekagumannya pada sosok CEO baru mereka. Huda mulai menyantap makan siangnya tanpa memperdulikan tatapan lapar wanita itu. Termasuk gadis yang duduk di depannya, kecuali gadis yang duduk di sampingnya. Gadis itu tampak acuh dengan kehadirannya, membuat Huda penasaran.  “Kalian dari divisi apa?” Huda mencoba membuka pembicaraan dengan kedua staff yang berbagi meja dengannya. “Sa-saya dari Promotion, Pak” ucap gadis berambut panjang dengan kuncir kudanya itu. “Sofia ya? Sepertinya beberapa tahun lalu kita pernah mengerjakan proyek bersama kan?” tanya Huda ramah, namun perhatiannya tertuju pada gadis di sisinya yang masih acuh. “Benar, Pak. Ternyata Bapak masih ingat saya,” kekeh Sofia merasa bangga bisa diingat seorang CEO tampan. “Masih dong, ide-ide kamu brilian. Dan siapa gadis di sampingku ini?” tanyanya sembari melirik gadis berambut pendek yang saat ini sudah menaikkan kepalanya untuk menatap Huda. “Saya Amara, Pak. Dari divisi Marketing,” ucap Amara amah dan sedikit senyum. Huda menatap Amara tanpa berkedip, gadis itu memiliki mata coklat yang indah. Siapapun yang melihatnya bisa langsung jatuh cinta, contohnya saja Rishyad yang tergila-gila padanya. “Nama yang indah, baiklah silahkan dilanjut makan siangnya. Karena saya sudah selesai jadi saya duluan ya...” ucap Huda dengan senyum ramahnya meninggalkan Sofia dan Amara yang juga membalas senyumnya. Sofia langsung bersorak heboh setelah memastikan Huda keluar dari kantin. Ada perasaan bangga setelah berhasil berbagi meja dengan CEO tampan sekelas Huda Adnan. Amara nampak cuek dengan kehadiran lelaki itu, karena melihat wajahnya mengingatkan pada Rishyad. Wajah keduanya memang sedikit mirip kecuali iris matanya, karena Rishyad memiliki iris mata abu kehijauan dan Huda memiliki iris mata hitam pekat. Seakan ada lubang dalam dan gelap yang bisa menarik siapa saja ketika menatap ke dalam manik hitamnya. Istirahat makan siang telah selesai dan semua karyawan kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Tumpukan dokumen dan suara keyboard yang diketik bersama-sama menjadi alunan merdu pengiring kerja. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 5, waktunya pulang. Sofia telah pulang lebih dulu meninggalkan Amara yang masih berkutat dengan keyboardnya.  “Hello...” Amara menyapa orang yang membuat ponselnya berdering. “Kenapa dari pagi nggak angkat telepon atau balas SMS yang aku kirimkan, Sayang?” suara di seberang sana terdengar sedikit cemas. “Maaf, Mas. Ara sedikit sibuk hari ini karena ada CEO baru yang minta beberapa data,” Amara merapikan barang-barangnya sebelum pulang. “Mas tunggu di basement.” “Tapi Ara bawa mobil sendiri, Mas,” tolaknya yang sudah mencantelkan tas di bahunya. “Mas ingin bicara sesuatu.” “Sama, Ara juga. Tapi nggak bisa ikut, Mas,” tolaknya yang sudah berjalan menuju lift. *** Huda mengerjapkan mata beberapa kali karena terlalu lama menatap layar laptop. Pekerjaan barunya sebagai seorang CEO di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama di Indonesia membuatnya harus mempelajari banyak dokumen penting perusahaan. Lelaki itu melirik jam tangan yang mrlingkari pergelangan tangan kirinya. Hingga ponselnya berdering saat ada panggilan dari nama yang sudah tidak asing lagi. Intan PW “Yaa...” sapa Huda yang mulai mematikan laptopnya. “Sayang di mana?” tanya suara di seberang sana. “Masih di kantor, sebentar lagi aku pulang.” “Kamu nggak lupa kan untuk temenin ke pesta pertunangan temen aku?” rengeknya dengan nada manja. “Nggak dong. Ya sudah aku balik dulu, entar aku hubungi lagi,” ucap Huda yang sudah memasukkan laptopnya ke dalam tas. “Kamu hati-hati ya, love you.” “Love you too, Sayang,” senyum hangat Huda terpatri di wajah tampannya setelah sambungan terputus. Huda berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan menjinting tas laptop di tangan kanannya. Kakinya melangkah di koridor kantor yang sudah sepi karena para staff sudah pulang sejak setengah jam lalu. Huda memasuki lift yang sudah terbuka, memencet tombol untuk ke basement gedung. Tidak berapa lama Huda sudah berada di basement gedung dan berjalan ke arah mobilnya yang terparkir. Namun langkahnya seketika berhenti saat melihat sosok yang dikenalnya. “Om Rishyad,” gumamnya pelan sambil memicingkan mata kearah pria yang tidak lain adalah omnya sendiri, tapi pria itu dengan seorang wanita.  Siapa? Pertanyaan itu yang saat ini muncul di kepala Huda saat melihat Rishyad dengan seorang wanita muda. Tidak! Lebih tepatnya seorang gadis muda dan sepertinya ia pernah melihat gadis itu. Tapi di mana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD