"Saya tetap pada keputusan saya untuk menjadi sugar baby Pak Kama."
Niat Priska menjual diri pada dosennya sudah bulat. Diotaknya hanya ada uang, uang, dan uang. Begitu pendek cara pikirnya hingga tidak memikirkan bahwa masih ada solusi bermartabat selain mengikuti tawaran Kama Prabalingga.
"Oke, saya suka sama mahasiswa yang konsisten sama ucapannya. Nggak plin plan."
Kama menyodorkan map yang terbuka itu di atas meja kaca yang bening mengkilat. Jejeran makanan ringan kering yang berada di atas meja sama sekali tidak menarik minat Priska begitu matanya membaca baris demi baris isi perjanjian hubungan mereka yang bertotal lima halaman.
"Sudah kamu baca semua atau kamu masih bingung? Nggak sampe lima menit udah sampai halaman terakhir?" Kama melontarkan pertanyaan.
Priska menelan salivanya ketika mengingat isi pasal pertama. "Saya...ingin tahu jelasnya tentang...pasal keperawanan, Pak."
"Oh itu toh. Gampang. Sekarang saya tanya, kamu masih perawan?"
Priska mengangguk tegas.
"Yakin belum pernah tidur sama siapapun?"
Priska kembali menganggukkan kepala dengan ekspresi wajah begitu polos hingga mengundang senyum jahil di bibir Kama.
"Saya hargai keperawananmu senilai biaya satu semester. Lalu jatah bulananmu lima juta per bulan. Itu tergantung kondisimu, lagi datang bulan apa enggak."
Friska menghela nafas karena ia tidak menyangka akan bertransaksi seperti perempuan tuna susila sungguhan. Di rumah dosennya sendiri. Namun anehnya tidak ada air mata yang berjatuhan karena itu tidak akan membuat masalahnya usai.
"Pak, saya boleh tanya?"
"Silahkan. Jangan lupa diminum airnya, biar kamu nggak gemeteran."
Priska sudah sangat serius tapi Kama malah melucu. Otak Priska kembali membayangkan jika Kama pasti biasa melakukan hal ini pada mahasiswa yang memiliki kesulitan di jalur finansial.
'Dasar dosen gatel!' Batinnya berseloroh.
"Tanya apaan? Kok diem aja?"
Benar kata Kama, jika Priska butuh minum untuk membuatnya bisa berbicara lebih tenang dan lugas. Sungguh ia masih terkejut dengan semua ini.
"Biaya keperawanan saya dihargai satu semester. Berarti hanya lima belas juta, Pak?"
Kama mengangguk santai. "Iya."
"Saya masih bingung, Pak?"
Kama terkekeh lalu menaikkan kaki kanan ke atas kaki kiri. "Setelah berhubungan 'itu' dan saya tahu kamu perawan, langsung lima belas juta saya berikan. Paham?"
"Lalu biaya hidup saya, Pak?"
"Ngikut juga, lima juta. Total dua puluh juta untuk bulan ini. Paham?"
Priska mengangguk lalu kembali melontarkan pertanyaan. "Pak, saya mau tanya. Saya pernah baca, kalau perawan itu dihargai seratus juta. Kenapa saya dihargai murah?"
Tawa Kama pecah hingga ia melepas kacamatanya kemudian mengusap air mata yang keluar dari sudut mata sipitnya. Menurutnya, Priska itu polos tapi mata duitan. Tapi itu wajar untuk remaja metropolitan sepertinya, asal masih bisa menjaga kesucian. Kama tidak mau bercampur dengan gadis muda yang sudah celup sana sini.
"Kamu tuh ya, sukses bikin perut saya kram tahu nggak."
"Itu salah Pak Kama sendiri kenapa tawanya ngakak."
"Oke, oke." Kama memakai kembali kacamatanya sambil menetralkan suaranya yang sedikit serak akibat banyak tertawa.
"Gini rumusnya, kenapa keperawanan kamu saya hargai senilai satu semester, itu karena penampilan kamu, Pris."
"Memangnya ada apa dengan penampilan saya? Saya kurang cantik?"
Kama mengangguk tegas. "Kurang cantik, kurang terawat, tuh ada bisul di jidat kamu."
"Bapak menghina saya jelek gitu?!" Priska mendadak tidak terima.
"Kamu tahu banyak anak pejabat yang super mulus baru kelas satu SMA udah one night stand sama eksekutif muda. Mereka jelas glowing. Kemana mamanya nyalon, mereka pasti ikutan. Itulah mengapa mereka bayarannya gede begitu jual keperawanan demi prestis dihadapan teman-temannya bisa gaet om-om tajir."
"Lha kalau kamu mau dihargai mahal, ya seenggaknya kamu harus glowing dulu, Pris." Imbuhnya dengan senyum menyebalkan.
"Pak Kama tuh nyebelin ya?! Menghina orang sesuka hati! Kalau saya nggak cantik dan nggak glowing, kenapa mau beli harga diri saya heh?!"
"Hey, calm down. Santai, Priska. Kita bisa bicara baik-baik."
"Pak Kama tuh yang nggak baik kalau bicara!" Ucapnya keras sembari mengusap matanya yang berkaca-kaca.
Priska menangis bukan karena transaksi ini melainkan ia tidak suka fisiknya dihina tidak sempurna oleh orang yang sama tidak sempurnanya. Ah Kama, dia bersikap sok menjadi dewa yang agung tanpa cela padahal b***t juga.
"Oke saya minta maaf, Priska. Saya salah. Kamu bisa duduk lagi. Kita ngobrol tenang."
"Dari tadi juga saya berusaha tenang! Tapi Pak Kama yang keterlaluan!" Ini kali pertama Priska berani membentak Kama secara personal.
"Oke maaf. Maaf ya? Saya nggak akan hina fisik kamu lagi."
Pikir Kama, sekalian saja ia mengatakan dirinya bersalah dengan terang-terangan sebelum Priska berubah pikiran. Kapan lagi dia bisa mendapat kesempatan menjamah tubuh mahasiswa muda yang tengah bimbang dengan masalah keuangan?
"Saya cuma dihargai segitu?" Priska masih kekeh ingin menaikkan harga dirinya.
"Karena ini hanya sekali seumur hidup, Pak. Setelah Bapak mengambilnya, saya pasti nggak mungkin bisa berdarah lagi sama suami saya. Seenggaknya saya mendapat harga yang pas karena melibatkan masa depan saya. Termasuk kesempatan saya kehilangan calon suami karena tahu saya nggak perawan lagi."
Apa yang diminta Priska adalah hal lumrah bagi seorang pemula yang menjajakan dirinya.
"Oke, saya naikin jadi dua puluh juta. Itu sudah mentok untuk ukuran mahasiswa seperti kamu. Kalau setuju silahkan tanda tangan."
Prisa sadar dirinya tidak pernah menginjak lantai salon and spa pun mengangguk kecil kemudian menandatangani surat perjanjian itu diatas materai. Pun, hal yang sama dilakukan oleh Kama. Dan itu artinya perjanjian mereka telah sah dimulai hari ini hingga enam bulan ke depan.
"Nice."
"Apapun yang menjadi keinginan saya, kamu harus turuti. Paham?"
Priska mengangguk dengan menggenggam erat jemarinya.
"Peraturan pertama. Priska, kemari. Ini perintah."
Suara Kama terdengar sangat serius kali ini dan Priska menurut. Ia melangkah perlahan mendekati Kama yang menepuk sofa di sebelahnya yang kosong. Priska berani jamin jika rumah ini hanya dihuni Kama seorang diri hingga ia berani berbuat demikian.
Setelah mendudukkan tubuhnya, Kama meraih pinggang Priska begitu saja agar lebih dekat dengannya. Hingga bisa ia lihat kulit wajah Priska yang kencang dengan sentuhan bedak tipis dan lip glos yang tidak terlalu merah namun cukup membuatnya tidak sabar menunggu hari esok.
"Saya nggak mau melakukan hubungan terlarang sama perempuan manapun tanpa ikatan yang sah. Sekalipun itu semua terjadi karena uang semata."
"Maksud Pak Kama apa?"
Satu tangan Kama membelai wajah Priska yang bergidik takut begitu Kama menatapnya seperti beruang kelaparan.
"Besok kita nikah diam-diam dibawah tangan. Oke?"
"Ni...nikah? Di bawah tangan?"