Karena kasus korupsi
"Ini rincian biaya tagihan semester ini yang harus kamu lunasi."
Prisa menatap kertas berisi rincian jumlah biaya semester enam yang akan jatuh tempo dua minggu lagi. Total semuanya lima belas juta rupiah dengan kembalian sepuluh ribu perak saja.
"Kalau kamu niat mau minta penangguhan lagi, saya nggak bisa kasih lagi ya, Pris."
Niat Priska yang awalnya ingin diberi kelonggaran waktu sedikit lagi nyatanya terbaca oleh petugas administrasi fakultas dan langsung ditolak tanpa ia mengajukan pertanyaan.
"Tapi, saya belum punya uang, Pak."
Petugas itu menghela nafas lalu menatap Priska. "Kamu biasanya tuh nggak pernah minta penangguhan kayak gini loh, Pris. Kok sekarang hidupmu kesannya miskin amat?"
Ucapan bernada hinaan itu membuat hati Priska tercubit. Memangnya di dunia ini masihkah ada orang yang berdoa agar menjadi miskin?
"Namanya juga hidup, Pak. Kadang di bawah kan wajar. Lagian, saya juga nggak mau hidup sengsara."
"Udah lah aku nggak mau dengar keluhanmu. Sana cari uang buat bayar SPP semester ini. Kalau nggak kamu lunasi ya siap-siap aja nelor dulu setahun."
Beginikah ucapan seorang petugas adminitrasi yang bijaksana? Bukan! Dia seharusnya tidak menjadi petugas administrasi kampus jika cara berbicaranya mirip preman tanah abang.
Priska keluar membawa kertas itu dengan pikiran carut marut. Masalahnya, uang siapa lagi yang akan ia pakai?
Enam bulan ia bersabar dengan keadaan yang memaksanya untuk mengencangkan sabuk di perut karena ayahnya yang berprofesi sebagai politikus di kursi dewan terseret kasus mega korupsi yang merugikan negara. Uang bulanan yang biasa ia terima dengan lancar kini sudah enam bulan tidak lagi mengucur.
Sebelum badai korupsi menjerat ayahnya, Priska tidak pernah belajar apa itu mandiri karena tidak ada yang membimbing arah hidupnya. Ibunya yang merupakan istri simpanan ayahnya telah tiada sejak ia SMA. Pun dengan adik laki-lakinya yang begitu urakan karena tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang.
Beruntung Priska masih berjalan di jalan yang benar hingga satu tawaran dari dosennya sendiri beberapa hari yang lalu membuatnya terkejut setengah mati. Sejauh ini, identitasnya tertutup rapi bahwa tidak ada yang tahu ia anak siapa tetapi dosennya yang bernama Kama Prabalingga mengapa bisa tahu segalanya?
Kama tiba-tiba menawarkan uang pembayaran semester plus uang jajan secara cuma-cuma pada Priska asal bersedia menjadi sugar baby-nya. Priska yang mengenal pribadi Kama sebagai dosen yang hangat dan murah senyum itu ternyata memiliki sifat playboy. Awalnya, Priska menolak mentah-mentah dan meminta Kama tetap menyembunyikan identitasnya.
Lalu bagaimana dengan tagihan yang diminta hari ini?
"Nggak cukup." Priska menghela nafas karena melihat isi saldo ATM-nya kurang dari dua juta rupiah.
"Ya Tuhan, gue harus apa?!" Priska memukul kasar mesin ATM karena kebingungan.
"Mau minta uang ke keluarga Ayah? Bisa dibunuh hidup-hidup gue kalau mereka tahu gue anak hasil hubungan gelap Ayah." Racaunya sendiri.
Beruntung ayahnya, Rastan Budianto, tidak menelantarkan dirinya sedari kecil walau pada akhirnya ia terabaikan saat ayahnya mendekam di sel tahanan karena ulah kriminalnya.
Rumah yang Priska tinggali bersama adiknya pun bukan terletak di kawasan elit, melainkan hanya berada di kompleks perumahan sederhana. Karena begitu lah nasib keluarga istri kedua yang dinikahi secara diam-diam, tidak pernah ada cerita mereka lebih kaya dan bahagia dari istri pertama.
Dan semua barang berharga di rumah itu telah habis dijual Priska dan adiknya untuk bertahan hidup selama enam bulan ini. Belum lagi kebutuhan tak terduga yang kerap menyambangi mereka dan disinilah ia berada akhirnya.
"Hai, Pris."
Kama yang memakai kemeja garis lengan pendek dengan celana kain hitam nampak begitu gagah dan tampan.
"Saya berubah pikiran, Pak." Ucapnya cepat begitu Kama berada dihadapannya.
Kama menoleh ke kanan kiri lalu menggiring Priska menuju kafe hotel yang tengah sepi pengunjung. Kebetulan Kama sedang menghadiri seminar kedokteran di aula hotel ini dan sedang jam istirahat.
"Bisa katakan sekali lagi?" Tanyanya setelah selesai memesan minuman.
"Saya berubah pikiran, saya terima tawaran, Pak Kama."
Priska tidak sepenuhnya polos hingga tidak mengerti apa itu sugar baby dan semua tugasnya. Ia pernah mencibir salah satu temannya yang berprofesi demikian. Dan sekarang ia melakoninya.
"Siap dengan tugas seorang sugar baby?" Tanya Kama dengan tangan dilipat depan d**a dengan tubuh yang disandarkan di kursi.
Priska mengangguk paham. Baginya, yang terpenting saat ini adalah uang untuk menyelamatkan jenjang perkuliahannya yang tinggal satu tahun lagi. Terlalu sayang jika harus drop out ketika sudah lebih dari separuh jalan.
"Kamu bisa datang ke rumah saya nanti malam untuk membahas kesepakatan kita."
Priska menatap Kama sekilas lalu menunduk lagi. Dosen berusia hampir kepala empat itu masih lumayan dengan kulit kuning bersih juga sedikit keriput yang mendewasakan.
"Saya nggak tahu dimana rumah Pak Kama."
"Nanti saya kirim pesan dimana lokasi rumah saya. Kamu harus datang sendirian dan nggak boleh ada yang ngerti hubungan kita."
Priska mengangguk. "Saya juga nggak siap dikatain orang ayam kampus, Pak."
Setidaknya, Priska ingin menjual diri dengan cara yang terhormat dan diam-diam. Beruntung ia tidak memiliki kekasih sejak dua tahun silam, jadi ia tidak perlu merasa sakit hati karena harus berpisah dari orang tercinta demi segepok rupiah.
"Apalagi saya. Saya dosen sekaligus dokter spesialisme loh. Bisa kena kode etik kalau ketahuan nakal bukan?!" Ucapnya dengan senyum yang membuat Priska ingin muntah.
***
Yang Priska ketahui, Kama Prabalingga itu sudah menikah. Ia masih ingat dengan jelas status dosennya itu ketika ia masih maba. Mading kampus sempat menempelkan biodata Kama dan segala prestasi yang pernah dicapai hingga diterima sebagai dosen tetap di kampus bergengsi ini.
Sama dengan Priska, ia bisa diterima di kampus elit ini karena ayahnya yang bergelimang harta. Andai ia tidak dinafkahi mungkin ia tidak akan pernah merasakan apa itu kuliah di kampus beken ini. Walau kenyataan berkata ia hanya mendapat kesempatan dibiayai hingga semester lima.
"Masuk." Kama sendiri yang membukakan pintu rumahnya yang asri dan megah itu.
Sepi namun tetap hangat dan elegan. Ah, orang kaya selalu menunjukkan kebolehannya melalui apa yang ia pakai termasuk bagaimana huniannya.
Kama mempersilahkan Priska untuk duduk di sofa mahal ruang tamu, sedang ia berlalu ke ruang kerja untuk mengambil sebuah map berusi lembaran kontrak kerja sama. Ia tidak mau hubungan bersifat sementara dan menguntungkan ini berjalan tanpa kejelasan.
"Ini surat perjanjian kita. Saya sudah menuliskan peraturan kerja sama hubungan yang saya inginkan. Saya pihak pertama yang menjadi penikmat jasa dan kamu pihak kedua sebagai penyedia jasa."
Hati Priska mencelos ketika ia disebut sebagai penyedia jasa. Dia benar-benar tidak ubahnya seperti perempuan tuna susila pada umumnya. Mau berteriak protes pada takdir pun, ia bisa apa?
"Kenapa? Sedih karena saya bilang kamu penyedia jasa?"
Hebatnya seorang Kama, dia begitu pintar membaca ekspresi seseorang.
"Kamu bisa mundur kalau ragu. Karena begitu kamu tanda tangan, kamu nggak bisa lari dari kesepakatan."
Memangnya, apa yang bisa Priska lakukan selain ini? Pada siapa lagi dia harus mengadukan nasib nya selain pada kemampuan yang ia miliki?