“Saat mulai menulis, bebaskan jiwamu. Biarkan dia menjadi ruh untuk setiap tokoh yang kamu ciptakan. Dengan begitu, mereka akan terasa benar-benar hidup.”
***
“Van, kamu yakin dia akan setuju?”
“Seyakin aku melihatmu sekarang. Manusia mana yang bisa menolak uang dan popularitas?”
“Dia bukan manusia. Kamu pasti belum pernah mendengar tentangnya.” Nita berkata penuh nada ejekan. “Dan, ya … Jangan lupakan puluhan email kita yang dia abaikan. Percayalah, kali ini pekerjaan kita tidak akan mudah.”
“Kita lihat aja nanti. Nyatanya dia memberikan kita alamat rumah ini, pasti selama ini, semua itu hanya trik untuk mengambil lebih banyak keuntungan dari tulisannya.”
Revan mengetuk pintu kamar A6 dengan penuh keyakinan. Kamar kos yang ditinggali penulis incaran atasannya. Dia sangat yakin untuk meminang naskah gadis itu dan mengangkatnya ke layar lebar. Ini bukan project kecil, kalau Revan berhasil meyakinkan Venus, bos pasti akan memberikan bonus besar untuknya.
“Nit, coba kamu ketuk sekali lagi.”
Gadis berkacamata dengan rambut yang dikuncir ekor kuda itu mengetuk-ngetuk pintu, tapi tetap tidak ada jawaban. Nita mengintip lewat jendela di samping pintu.
“Sudah kuduga.”
“Apa?”
“Dia di dalam, tapi bahkan bertingkah seolah tidak peduli dengan kedatangan kita. Huh! Apa kubilang, dia itu bukan manusia. Dia wanita aneh, anti sosial, dan kabarnya, dia menikahi naskahnya sendiri.” Nita mengusap wajah dramatis.
Gadis itu sudah mendengar dari banyak orang, kalau Venus selalu menolak novel-novelnya difilmkan.
“Menikahi naskahnya sendiri? Maksudmu?” Revan menurunkan kaca mata hitamnya, ikut mengintip, tapi dia tidak melihat ada orang di dalam.
“Iya, dia cewek sinting. Setiap kali ada PH yang melamar novelnya untuk difilmkan, dia pasti menolak, dan mengatakan hal-hal konyol seperti seorang perempuan yang tidak mau berbagi suami dengan wanita lain.”
“Benar!” Revan kaget saat seorang membuka pintu di depannya dengan cukup keras.
Gadis dengan pashmina cokelat yang diikat asal-asalan menyembulkan kepalanya dari dalam.
“Kamu benar.” Venus menatap Nita penuh cibir. “Aku menikahi naskahku sendiri, jadi jangan ganggu keluargaku dengan keserakahan kalian!”
Venus hendak menutup pintu, tapi Revan mengganjalnya dengan kaki.
“Aku suka caramu bernegosiasi.” Revan mengedipkan mata dan membuat Venus mual karena gaya sok kerennya. “Kita bisa bicarakan nominal sambil minum teh, kamu tidak perlu sok jual mahal begitu. Aku sudah paham karakter penulis sepertimu. Ayolah.”
Venus menatap kaki Revan yang masih mengganjal pintu, dia masih belum menyerah. Tunggu ... Apa dia bilang barusan? Negosiasi katanya? Manusia sok tahu yang menakar segala sesuatu dengan uang, dia perlu diberi pelajaran.
“Ah, ya …” Venus mengangguk-angguk sambil menyedekapkan tangan. “Aku juga sangat paham orang-orang sepertimu. Kemarin juga ada yang datang kemari, melakukan hal yang sama persis seperti yang kamu lakukan.” Pandangan Venus tertuju pada kaki Revan lalu beralih ke wajahnya. Gadis itu tersenyum manis dan berbicara dengan nada beracun. “Persis sekali, dia berdiri di luar, dan aku di dalam. Aku hendak menutup pintu, dan dia menahannya dengan kaki ... Lalu ...” Tngan Venus bergerak mengikuti setiap kata yang keluar dari bibir mungilnya. Dan pandangan dua tamu tak diundang itu dengan setia mengekori setiap apa yang ditunjuk Venus, seperti orang bodoh.
“Lalu?”
“Lalu ...”
“Lalu apa? Lanjutkan.” Revan penasaran, Nita ikut memiringkan kepala yang mendadak terasa berat sebelah.
“Pulangnya digendong.”
“Digendong? Maksudmu?”
“Karena ini.” Venus membuka pintunya lebar-lebar, lalu membantingnya dengan sangat keras.
“Awww! Aw! Aw! Dasar sinting!” umpat Revan yang sama sekali tidak mendapat jawaban dari Venus.
Melihat rekannya kesakitan, Nita malah tertawa sampai memegangi perut.
“Sukurin! Apa kubilang. Lagian jadi orang sok keren, kamu pikir kamu cukup iyess untuk menggoda wanita seperti Venus. Haha!”
“Sialan!” Revan melempar kaca mata ke arah Nita sambil memegangi kaki yang terasa panas perih, tapi gadis itu dengan sigap menangkapnya.
***
“Kenapa orang-orang seperti mereka selalu datang? Kenapa mereka selalu berpikir seolah mengangkat novel menjadi film adalah puncak kesuksesan seorang penulis? Dasar manusia, selalu saja menakar kata sukses dengan uang.”
Venus menggerutu panjang pendek. Dia kembali pada rutinitasnya. Kali ini dia sedang menulis novel tentang seorang yang bisa melihat hantu. Dia selalu mengingat kata-kata Arjuna, satu-satunya penulis Indonesia yang novel-novelnya selalu menarik bagi Venus. Menurutnya, setiap kali membaca tulisan Arjuna, dia selalu terbawa pada setiap adegan yang dituliskan oleh penulis muda itu. Dia bilang, seorang penulis harus bisa membelah diri sebanyak mungkin, agar dirinya bisa menjadi jiwa bagi tokoh-tokoh yang diciptakan. Dan Venus selalu berusaha melakukan hal itu.
Baru saja Venus mendaratkan bokongnya di kursi, ketukan pintu kembali terdengar.
“Apa lagi ini?” Venus bangkit dengan lesu, lalu segera menuju pintu.
“Ada apa la....”
“Taraaa!”
Tisna berdiri di depan pintu sambil merentangkan tangan. Gadis itu berputar-putar menunjukkan seragam baru yang ia kenakan.
“Tisna? Ada apa ini, aku bahkan bisa merasakan energi yang sangat kuat dari kebahagiaanmu tanpa perlu menyentuhmu.” Venus ikut tersenyum, matanya berbinar penuh rasa kagum.
“Aku dapat kerjaan.” Tisna jingkrak-jingkrak sambil memeluk Venus, dan gadis itu otomatis ikut berjingkrak. Dia sudah lupa dengan rasa kesal karena kedatangan orang-orang tadi.
“Apa? Kamu dapat kerjaan? Syukurlah, aku ikut senang.”
“Aku tahu.” Tisna kembali memeluk Venus. “Ve, makasih, ya. Kalau waktu itu kamu tidak menghentikanku, mungkin aku sudah jadi hantu paling menyesal karena mengakhiri hidup dengan perbuatan bodoh.”
“Kadang untuk menyelamatkan satu nyawa, seseorang harus mengorbankan nyawa yang lain.” Bibir Venus menipis, memamerkan senyum menggoda. Dia lega, bukan hanya karena Tisna mendapat pekerjaan, tapi saat memeluknya Venus bisa merasakan semangat yang membuncah. Tisna sudah kembali.
“Kamu benar. Kamu membahayakan nyawamu
untuk menyelamatkanku. Sekali lagi terima kasih ya, Ve.”
“Uhg!” Venus menjitak kepala Tisna. “Aku tidak akan memaafkanmu kalau kamu terus berterima kasih begini. Itu membuatku risi.”
Tisna hanya tertawa kecil menanggapi ucapan sahabatnya. “Aku titip Syafa dan Ibu. Mulai sekarang aku akan berangkat kerja jam sembilan pagi, dan pulang jam sepuluh malam. Aku percayakan mereka padamu.”
“Siap, Jendral!” Venus memberikan hormat sambil mengentakkan kaki, lalu mereka tertawa bersama.
“Oiya, semalam aku membaca ulang naskahmu. Jujur, aku merasa kamu mengekang imajinasimu saat menulis. Itu membuat tulisan terasa tidak bernyawa. Aku juga sudah menandai beberapa bagian yang menurutku perlu diperbaiki, ide yang kamu pilih sudah sangat bagus, hanya penulisannya saja yang perlu sedikit perbaikan. Kamu harus membebaskan dirimu saat menulis, dengan begitu, pembaca juga akan ikut merasakan perasaanmu. Nanti kukirim lewat email.”
“Entahlah, Ve.” Air muka Tisna mendadak sedikit suram. “Selama ini yang kupikirkan adalah bagaimana segera menyelesaikan naskah agar bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan. Untuk sekarang ini mungkin aku akan berhenti dulu, aku mau fokus pada pekerjaan baruku.”
Venus bisa merasakan kalau Tisna hanya sedang membohongi diri sendiri. Menulis adalah separuh dari kehidupannya, bagaimana bisa dia meninggalkan dunia literasi hanya karena ditolak oleh satu penerbit?
Pasti ada yang tidak beres.
“Oiya, kamu sendiri bagaimana? Apa mereka sudah datang?”
“Mereka? Mereka siapa?” Venus mengerutkan kening, lalu ingatannya kembali pada dua orang yang mengacaukan harinya pagi ini.
“Jangan bilang kamu yang ....”
“Yups!” Tisna tersenyum penuh arti. “Aku yang membalas email mereka dan memberikan alamatmu. Mereka itu dari Blue Sky Production, PH yang menggandeng nama Arjuna sebagai salah satu scriptwritter untuk film-filmnya.”
“Apa? Arjuna? Kenapa kamu tidak bilang?” Venus lemas seketika.
“Kenapa? Kamu tidak melakukannya lagi, kan?”
“Hancur sudah harapanku untuk bekerja sama dengan Penulis favoritku.” Venus mengembuskan napas frustrasi. Lututnya terasa lemas, sekarang dia harus apa agar dua orang itu kembali lagi?
***
Venus sengaja melakukan aktivitas di luar rumah saat malam hari. Saat orang-orang terlelap, dia akan keluar rumah untuk membuang sampah, dan pergi ke minimarket di ujung jalan yang buka dua puluh empat jam untuk membeli kebutuhan. Dia paling tidak suka keramaian dan bertemu banyak orang. Perasaannya menyerap energi emosi orang lain seperti spons yang menyerap air. Dia memiliki intuisi yang dalam, dan seolah tidak memiliki filter dalam menyerap emosi orang di sekitar. Venus juga sangat sensitif terhadap bau, suara, dan kesibukan orang-orang. Karena alasan itu pula, dia memilih tinggal sendirian di dalam bilik kos kecil sepanjang hari. Dunianya hanya ada dalam tulisan, dan seolah terpisah dari dunia nyata.
Seperti biasanya, malam ini dia pergi keluar untuk membeli keperluan bulanan. Namun saat hendak menyeberang, dia melihat ada sebuah truk yang melaju kencang dan menubruk mobil sedan dari arah berlawanan. Truk itu seolah kehilangan kendali, kecelakaan tidak bisa dielakkan karena mobil sedan itu juga melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Seketika orang-orang berkumpul di sana. Orang-orang yang datang entah dari mana, mobil dan kendaraan yang melintas di jalan itu semuanya berhenti. Venus melihat kobaran api dari ledakan mobil yang sempat terpental beberapa meter sebelum berguling dan meledak. Sialnya, dia sempat bertemu pandang dengan gadis pengendara mobil sebelum mobil itu benar-benar hancur.
“Beres. Semua berjalan sesuai rencana.”
Entah dari mana asal suara itu, saat perasaannya kacau, pendengaran Venus jadi berkali-kali lipat lebih tajam. Dia benci hal itu, karena sering kali harus mendengar hal-hal yang tidak perlu didengar olehnya.
Kepalanya terasa pusing, lututnya lemas dan perutnya mual. Venus berusaha pergi dari tempat itu, tapi orang-orang yang terus berdatangan membuatnya semakin kewalahan menghadapi energi yang menyerbu mirror neuron dalam dirinya, membuat proses emotional contagion tidak terkendali.
“Hey! Kamu kenapa?”
Kalimat itu menjadi satu-satunya yang bisa dia dengar dengan jelas sebelum semuanya menjadi hening.
Dalam kepalanya, dia melihat pria dengan kaos bergambar tameng Kapten Amerika menepuk-nepuk wajahnya.
“Kapten, tolong bawa aku pergi dari sini.” Venus mengembuskan napas lemah sebelum benar-benar tak sadarkan diri.
BestRegards,
MandisParawansa