“ Pada sebuah temu, ada takdir yang mengikat kisah dua orang di atas bumi. Lalu bisakah seseorang menggenggamnya, jika seorang yang lain berusaha mengingkari takdir itu?”
***
Mata gadis itu seperti sebuah lorong. Ketika Venus melihatnya, tubuhnya seperti dilemparkan lalu membentur bebatuan. Sesak, dia kesulitan menemukan udara. Kepalanya terasa berat, dan perut rasanya seperti dikoyak oleh sesuatu yang membuatnya mual bukan main.
"Tolong aku."
Venus mendengarnya. Dia bisa mendengar jeritan hati gadis dalam mobil itu, air matanya terus mengalir, tapi bibirnya terkunci. Ada yang tidak beres dengan kecelakaan yang barusan terjadi.
Kepala Venus semakin terasa berat. Jiwanya tersedot ke dalam lubang hitam melalui bola mata gadis yang dilihatnya.
"Sayang sekali kamu harus mati."
Seorang dengan sarung tangan hitam, membelai wajah gadis yang menggunakan dress putih selutut. Gadis itu terlihat ketakutan, tapi tak mampu melakukan perlawanan. Nyalinya tak seberapa dibanding ketakutan ia rasakan.
“Tenanglah, aku akan membuat semuanya lebih mudah. Kematianmu tidak akan rumit. Kamu hanya perlu duduk manis dan ... buuummm!” Orang itu mengisyaratkan sebuah ledakan dengan tangan. “Malaikat maut akan menjemputmu.”
"Aku mohon, biarkan aku hidup. Aku tidak akan membuka mulut." Gadis itu memelas, tapi laki-laki dengan pakaian serba hitam yang mengekangnya sama sekali tidak tersentuh.
"Tentu, Alana. Tentu kamu akan tetap hidup, kamu harus menikmati kematianmu. Aku tidak akan membiarkanmu melewatkan momen itu dengan sia-sia."
Tangan lelaki yang menutup sebagian wajahnya dengan masker hitam, menyuntikkan sesuatu di lehernya. Perlahan, tubuh Alana terasa kebas. Dia tidak bisa menggerakkan kaki dan tangannya. Hanya napas dan detak jantung yang bisa dia rasakan. Semua perasaan itu seolah berpindah ke tubuh Venus. Dia merasakan seluruh kengerian yang dilalui Alana. Selanjutnya Venus tidak bisa melihat apa-apa lagi. Tubuhnya terasa dingin. Seluruh bayangan tadi menghilang begitu saja, yang ada hanya gumpalan putih yang membentang begitu luas.
Angin yang berembus menerpa wajah, menghadirkan sensasi sejuk yang tak biasa. Ada sesuatu yang menempel di wajah gadis itu, sesuatu yang terasa hangat dan lembut.
"Hey! Lepaskan tanganku." Suara itu terdengar begitu dekat di telinga Venus.
"Hey!" Suaranya terdengar semakin nyata. Gumpalan kapas putih yang tadi di hadapannya menghilang satu-satu, seolah terbawa angin entah ke mana.
"Astaga!" Venus terbangun. Dia berada di sebuah kamar yang cukup besar, jauh lebih besar dari kamar kos yang dia tinggali.
"Aku di mana?"
"Astaga! Aku di mana? Kamu siapa? Kenapa aku bisa ada di sini?" Jayu menirukan ucapan Venus sambil dilebay-lebaykan. "Drama!"
"Kamu ... kamu yang waktu itu, kan?" Venus terlihat sedikit berpikir, otaknya menyimpan wajah Jayu sebagai orang yang menolongnya waktu Tisna hendak bunuh diri.
Menyadari kalau pria jangkung di hadapannya memang sama dengan orang yang waktu itu, Venus melompat dari atas ranjang dengan gerakan yang sangat cepat. Tidak terlihat sama sekali kalau dia baru sadar, dan sudah membuat Jayu terjaga semalaman karena dia terus mengigau, dan hanya berhenti saat memegangi tangan Jayu.
"Tunggu ... kamu manusia, kan?"
Pertanyaan Venus membuat Jayu mengernyitkan kening. Pria dua puluh tujuh tahun itu bersedekap, lalu menghampiri Venus, mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Pertanyaan itu lebih cocok untukmu. Apa kamu yakin kalau kamu itu manusia?"
"Apa maksudmu? Aku jelas manusia," Venus berputar-putar di hadapan Jayu. Menunjukkan seluruh sisi tubuhnya, lalu melompat-lompat di tempat. "Kakiku menyentuh lantai, aku bernapas, punya detak jantung, dan aku juga makan nasi. Jadi tidak diragukan lagi kalau aku ini manusia. Tapi kamu aneh, aku tidak yakin kalau kamu manusia sungguhan. Katakan padaku, apa kamu itu sejenis cyborg atau semacam hantu, atau alien? Mana yang benar?"
Jayu menggelengkan kepala. Seumur hidup baru kali ini dia bertemu gadis seperti Venus. Gadis mungil dengan kelakuan super aneh. Pertama saat di atas gedung, Jayu melihatnya sebagai manusia sinting yang bukannya menghentikan orang hendak bunuh diri, malah mau ikutan lompat. Lalu semalam, gadis itu tiba-tiba pingsan di dekat Jayu dan membuatnya terpaksa membawa Venus pulang, karena tidak tahu di mana rumahnya. Jayu tidak mungkin membawanya ke rumah sakit, orang pasti akan berpikir yang aneh-aneh jika ada aktor papan atas yang membawa seorang gadis tak sadarkan diri tengah malam ke rumah sakit. Dan pagi ini, setelah semalam dia harus tidur di lantai dekat tempat tidur karena Venus terus mengigau dan menangis kalau Jayu melepas tangannya, dia malah mendapat pertanyaan absurd.
"Aku pasti sudah gila. Kenapa aku membawanya kemari?"
Jayu menggumam sambil lalu. Pria itu hendak meninggalkan kamar ketika Venus tiba-tiba melompat ke hadapannya sambil merentangkan tangan.
"Apa lagi?"
"Apa lagi katamu?" Venus berkacak pinggang di depan Jayu. "Meninggalkan obrolan tanpa menjawab pertanyaan lawan bicaramu itu tidak sopan."
“Ya ya ya, dan bertingkah seperti itu pada orang yang sudah menolongmu adalah perbuatan yang sangat sopan.”
Jayu mencibir kedua tangan Venus yang berada di pinggang seperti seorang preman sok jagoan yang sedang menggertak lawan.
Menyadari maksud perkataannya, Venus menurunkan tangan. Gadis itu tertunduk di depan Jayu.
"Maaf." Kali ini Venus benar-benar tidak berani menatap Jayu. "Aku hanya penasaran, selama ini aku belum pernah bertemu satu pun manusia yang sepertimu. Saat kamu menolongku dan temanku di atas gedung waktu itu, aku merasa seperti pertemuan kita adalah sebuah sinyal, ada takdir yang mengikat kita berdua, dan hidupku akan berubah jika berada di sampingmu."
Amazing! Selain absurd, ternyata Venus adalah gadis yang tidak tahu malu dan tidak punya harga diri. Jayu mengartikan kata ‘berubah’ dengan makna yang berbeda. Dia menganggap Venus sama saja dengan wanita-wanita yang selama ini mengejarnya karena harta dan popularitas.
"Apa kamu tidak punya harga diri? Bahkan jika kamu bukan manusia, wujudmu tetap seorang wanita. Kenapa kamu membual hanya untuk merayuku? Kamu pikir aku tidak tahu, apa isi otak wanita sepertimu? Uang, uang, dan uang, benar-benar menjijikkan!"
"Aku sendiri pusing memikirkan, mau diapakan uangku yang banyak itu. Untuk apa memikirkan uangmu?" Venus berbicara dengan suara yang agak lirih. Dia masih berpikir tentang siapa Jayu sebenarnya. Dia harus memastikan, apa Jayu itu manusia, atau bukan. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu."
"Sombong sekali, kamu pikir...."
Venus tiba-tiba berjinjit dan meletakkan kedua tangannya di wajah Jayu. Agak sedikit kesulitan menggapai wajah pria itu karena tinggi Venus hanya sebatas d**a.
Venus memejamkan mata, berusaha menyerap setiap emosi yang dirasakan Jayu, tapi dia tidak menemukan apa-apa kecuali detak jantungnya sendiri yang terasa ganjil. Jarak mereka yang sangat dekat membuat Jayu menahan napas. Dia merasa ada yang tidak beres dengan organ pemompa darah yang tiba-tiba berdentam keras seperti genderang mau perang.
"Ini tidak benar. Bagaimana ini bisa terjadi?" Venus menjauhkan diri kemudian berputar mengelilingi Jayu, mengabsen setiap detail tubuhnya, kalau-kalau dia menemukan sesuatu seperti baterai atau antena seperti milik alien yang pernah dia lihat di sebuah drama.
"Kamu memang mirip manusia, tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa?"
Jayu berdecih, dia hendak meninggalkan gadis yang sudah membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
“Sebentar!” Venus menarik tangan Jayu, membuatnya berbalik, lalu menempelkan telinga di d**a bidang pria itu, berusaha mendengarkan detak jantungnya. Saat itu juga, jantung Jayu serasa dipaksa berhenti, atau sebaliknya, justru berdebar sangat kencang, untuk yang ke dua kalinya. Karena kelakuan aneh gadis yang sama. Ada apa ini?
Tidak merasa ada yang aneh, Venus menjauhkan diri. Dia memiringkan kepala sambil menggerak-gerakkan tangan di samping pelipis, membuat pola abstrak berupa lingkaran dengan jari telunjuknya seolah dia sedang berpikir sangat keras. Dan memang begitu, tapi apa pun yang dia pikirkan, rasanya tetap tidak bisa menjadi jawaban. Tidak ada hal yang mungkin yang membuat semuanya masuk akal, kecuali satu hal. Jayu bukan manusia. Kalau selama ini Venus seperti spons yang menyerap emosi orang di sekitarnya, maka Jayu seperti kapas ajaib yang menyerap seluruh kegelisahan, rasa takut, dan seluruh emosi negatif yang ada di dekat Venus sehingga dia tidak perlu merasakan emosi orang lain. Saat berada di dekatnya, Venus hanya merasa tenang dan nyaman. Dan saat menyentuhnya, maka dia seolah menemukan dunia yang dipenuhi kedamaian. Ini ajaib. Jayu adalah keajaiban yang diturunkan Tuhan sebagai berkah dalam hidupnya. Pasti begitu.
"Bos, kita harus pergi ke pemakaman Alana pagi ini, aku sudah menyiapkan ...." Seseorang menerobos pintu kamar itu, membuat Venus dan Jayu yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing menoleh secara bersamaan.
Satria membawa kemeja dan celana hitam di tangan, dia menjatuhkan bawaannya begitu saja saat melihat isi kamar bosnya. Ralat, kamarnya yang sedang dijajah oleh Jayu. Bukan hanya ada Jayu di sana, tapi juga seorang gadis berjilbab yang sedang berdiri di dekat bosnya.
"Boooooskuuuh, apa yang kulihat ini? Kalian? Tidak, tidak, aku pasti salah lihat." Satria heboh sendiri, dia menepuk jidat berkali-kali lalu mengucek mata, memastikan kalau penglihatannya tidak bermasalah.
"Sat, Satria, kamu jangan salah paham dulu. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."
"Memangnya apa yang aku pikirkan?" Satria tersenyum penuh arti sambil melenggokkan badan. "Setelah sekian lama akhirnya kamu berkencan dengan seorang gadis dan bahkan tidur bersama. Ini kabar bagus, setidaknya aku bisa percaya kalau kamu bukan gay. Sudahlah, Boskuuh, kamu tidak perlu malu-malu di hadapanku."
Satria menowel lengan Jayu lalu terkekeh sambil menutupi mulutnya, seperti seorang gadis yang sedang tertawa jaim.
Ya, asisten Jayu itu memang agak melambai. Walau namanya Satria, tapi dia adalah Satria setengah matang yang selalu menuduh Jayu memiliki penyimpangan seksual karena hampir tidak pernah berkencan selama dia menjadi asistennya.
"Aku bukan perempuan murahan." Venus menyilangkan tangan di depan d**a saat mata Satria seolah menuduhnya telah melakukan ‘sesuatu’ bersama Jayu.
"Kamu ini, sama saja dengan dia. Kalian membuatku pusing." Jayu mengambil kemeja yang tadi dibawa Satria. "Sudahlah, kita harus segera pergi ke pemakanan."
"Lalu bagaimana denganku?" Venus mengikuti Jayu yang hendak masuk kamar mandi untuk berganti pakaian.
"Kamu pikir kamu siapa? Urus saja dirimu sendiri."
"Aku tidak bisa." Venus menunduk, air matanya mulai jatuh satu-satu membuat Jayu sedikit goyah. "Aku tidak bisa pulang sendirian. Aku tidak tahu seberapa jauh jarak tempat ini dengan tempat tinggalku, dan aku juga tidak tahu seberapa banyak orang yang harus kutemui kalau harus pulang sekarang. Kamu pikir kenapa aku bisa pingsan semalam?"
"Itu bukan urusanku." Jayu berusaha tidak peduli, dia tidak mau terlibat lebih jauh dengan hidup gadis aneh itu.
"Dia dibunuh. Itu bukan kecelakaan biasa."
"Maksudmu, kecelakaan itu sengaja dirancang oleh seseorang untuk membunuh Alana?" Satria buka suara. "Ya ampun, Boskuuuh. Bagaimana ini? Siapa yang tega melakukan itu padanya?"
"Aku tidak tahu siapa pelakunya. Tapi saat aku melihat mata gadis itu sebelum mobilnya meledak, aku bisa merasakan kalau dia ingin mengatakan sesuatu. Jiwaku terseret ke dalam masa lalunya, sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi, tapi di sana terlalu banyak orang. Aku kehabisan energi, jadi tidak bisa melihat kejadian itu secara utuh. Aku hanya melihat dia berbicara dengan seseorang, dan orang itu menyuntikkan sesuatu ke leher Alana."
"Berhenti bicara omong kosong. Aku akan mengantarkanmu setelah ke acara pemakaman."
BestRegards,
MandisParawansa