No Longer A Prisoner

1656 Words
“Benedict!” Sipir penjara itu berulang kali mengetukkan tongkat jaganya ke jeruji penjara, sembari matanya tidak berhenti mengedar, menatap satu per satu narapidana yang sedang berada di lapangan penjara Blackford. “Benedict Cerg!” ulangnya. “Pengacaramu datang,” lanjutnya, saat seorang pria dengan jenggot tak terurus mendekat padanya. “Aku tidak ada jadwal bertemu dengannya.” “Bukan urusanku. Tapi pengacaramu ada di ruang tunggu.” Benedict menghela napas sebelum akhirnya mengikuti langkar sipir penjara. Di sana, di tengah ruang tunggu, Nyonya Cassie Frost, pengacaranya yang berumur lebih dari setengah abad, tersenyum menyambutnya. “Aku ada kabar baik untukmu. Duduklah!” Nyonya Cassie membuka tas kerjanya, kemudian mengeluarkan sebuah map dan mendorongnya ke depan tubuh Ben. “Itu adalah keputusan pengadilan yang memberimu remisi 15 tahun, karena sikap baikmu selama di sini. Kau tahu artinya?” “Besok aku akan keluar dari penjara ini,” lirih Ben dengan tatapan yang masih fokus pada map di hadapannya. “Benar. Tapi sepertinya kau tidak senang mendengarnya?” “Apa selama menjadi pengacaraku, dirimu tidak sedikit pun memahamiku?” tanya Ben dengan senyum kecilnya. “Jangan bertindak bodoh, Ben. Jangan sampai kau kembali ke penjara lagi. Setelah keluar dari sini, carilah pekerjaan dan hiduplah dengan baik.” “Statusku sebagai mantan narapidana tidak akan mengizinkan itu.” Nyonya Cassie mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan kiri Ben. Menepuknya pelan di sana, mencoba menyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja setelah keluar dari penjara. “Aku akan membantumu mencari pekerjaan yang cocok.” “Tidak perlu—” “Aku memaksa,” potong Nyonya Cassie. “Baiklah, aku harus pergi, masih banyak kasus yang harus aku urus. Ini, hubungi aku kapan saja.” ujarnya lagi seraya memberikan kartu namanya. “Anda baik sekali padaku.” “Ben, aku tahu kau adalah pemuda yang baik.” *** “Jangan kembali ke sini, dirimu terlalu baik untuk tinggal di tempat seperti Blackford ini.” Ben tersenyum pada sipir yang mengantarnya hingga ke pintu keluar penjara. “Aku tidak janji,” sahut Ben, kemudian melangkah pergi meninggalkan penjara Blackford yang sudah memerangkapnya selama 15 tahun. 15 tahun adalah waktu yang lama untuk Ben menghabiskan masa mudanya di sana, untuk satu kesalahan yang dilakukannya demi membela sang Ayah. Ben tidak akan pernah menyesali apa yang telah dilakukannya pada para bajing-an itu. Bajing-an yang datang ke rumahnya di saat dirinya terlelap, kemudian menyeret ayahnya keluar rumah dan beberapa hari kemudian, Ben menemui ayahnya di penjara. Seolah kenyataan itu belum cukup buruk, dua minggu kemudian, Ben mendapat kabar bahwa sang Ayah meninggal bunuh diri. Langkah Ben berakhir di depan sebuah rumah sederhana yang sudah lama tidak terurus. Rumput liar sudah hampir setengah tinggi tubuh Ben, juga tanaman liar yang merambat di tembok dan pagar. Ben sedikit mendorong paksa pagar itu, kemudian melangkah menuju bagian samping rumahnya dan menemukan sebuah kotak kayu yang sudah lapuk. Dibukanya kotak itu dan Ben mengambil sebuah anak kunci pintu untuk masuk ke rumah. Masih seperti dulu, seperti saat terakhir dia melihatnya. Ben menarik kain-kain putih yang menutupi perabot rumahnya dan langsung duduk di salah satu sofa. Pandangannya jatuh pada sebuah bingkai foto berdebu yang kain penutupnya terjatuh. Di foto itu, Ben tersenyum di samping sang Ayah dan memamerkan ikan hasil pancingannya dari danau—itu adalah foto terakhirnya bersama Ayah. Betapa kerasnya Ben berusaha mengenyahkan semua kenangan bersama sang Ayah, kenangan itu justru semakin menyeruak masuk ke dalam alam pikirannya. Betapa keras pun Ben menuruti nasihat Nyonya Cassie, tapi hatinya masih menyimpan dendam pada semua orang yang menyebabkan hidupnya berakhir seperti sekarang. Ben segera bangkit, dia tidak ingin berlama-lama merenungi nasibnya. Benar kata Nyonya Cassie, dia harus segera mencari pekerjaan yang layak. Namun, masalahnya Ben tidak memiliki keahlian apapun selain bela diri. Itupun dia dapatkan dengan berlatih bersama tahanan lainnya. Ben bergegas membersihkan rumah dan dirinya, lalu dia pergi ke sebuah kedai yang tak jauh dari rumahnya. Pak Tua pemilik kedai itu masih terlihat sama, hanya sedikit penambahan warna putih di jenggot dan rambutnya. Saat tatap keduanya bertemu, Ben bisa melihat keterkejutan di mata sayu itu, ditambah sedikit air mata di pelupuknya. Pak Tua itu segera meninggalkan meja kasir, menyambut, dan memeluk Ben erat. “Bagaimana kau bisa di sini? Apa—” “Aku sudah bebas, Vernon.” Vernon masih menatap tak percaya pada Ben—anak sahabatnya yang bertahun-tahun menolak kunjungan penjarannya. Kini, pemuda yang dulu sering bermain bersama putranya sudah kembali berdiri di hadapannya. Vernon tak kuasa menahan haru dan kembali memeluk Ben. “Aku akan buatkan makanan favoritmu.” “Dirimu masih ingat?” “Tentu saja, makanan favoritmu adalah makanan favoritku dan ayahmu juga. Spageti.” Ben tertawa mendengar kalimat Vernon dan langsung mengikutinya untuk duduk di kursi yang berada di depan meja bar. “Bagaimana bisnis kedaimu?” “Semakin ramai.” “Peter?” “Dia sudah menikah dan sekarang tinggal bersama istrinya, empat jam perjalanan dari sini.” Vernon memutar matanya malas. “Membuatku malas untuk ke rumahnya. Beruntung dua cucuku sangat manis, itu yang membuatku rela pergi ke sana setiap akhir pekan.” Tak berselang lama, sepiring spageti yang masih mengepulkan asap dan segelas bir tersaji di depan Ben. Tanpa menunggu, Ben langsung melahapnya habis. “Kau sudah menjenguk ayahmu?” “Aku belum berani ke sana.” “Kenapa?” Ben mengambil gelas bir dan langsung menandaskannya. “Aku belum menjadi anak baik seperti yang diinginkannya. Pergi ke kampus, bekerja dengan memakai jas dan dasi, membelikannya mobil bekas atau ratusan kaleng bir.” “Ben, ayahmu pasti mengerti dengan keadaanmu. Sekarang, fokuslah untuk masa depanmu.” Ben mengangguk lemah dengan nasihat Vernon. Suasana kedai sore itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa keluarga yang menikmati spageti buatan Vernon dan tiga orang supir truk yang kebetulan adalah teman Vernon. Ben masih tidak percaya dirinya berada di sini. Jika biasanya di jam yang sama dia akan berada di lapangan penjara Blackford bersama narapidana lainnya, bermain bola, kartu, atau sekedar duduk-duduk meratapi nasib. Kini, dia sudah selesai menyantap sepiring spageti lezat, bir dingin, dan menikmati ocehan anak-anak tentang sekolah mereka. “Di mana toiletmu? Cepat! Beritahu aku di mana toiletmu!” Ben menoleh dan mendapati seorang wanita dengan napas terengah, membentak Vernon. “Di sana,” jawab Vernon. “Di sebelah kiri lorong.” Tanpa sepatah kata, wanita itu berjalan tergesa menuju arah yang ditunjuk Vernon. Meninggalkan Vernon dan Ben yang saling menatap bingung melihat tingkah wanita asing berambut brunet itu. “Mungkin dia ingin menangis, karena patah hati. Makanya dia butuh toilet,” celetuk Vernon. Baru saja Ben akan menanggapi, pintu kedai Vernon terbuka keras hingga menimbulkan suara yang membuat semua pengunjung termasuk Ben menoleh cepat. Dua orang pria dengan tubuh besar langsung menghampiri Vernon dengan menggebrak meja. “Di mana gadis yang memakai baju biru? Dia ke sini, kan?” Vernon melirik sekilas pada Ben yang menggeleng. Ben tahu, bahwa gadis yang dimaksud dua pria ini adalah gadis yang baru saja selesai mebentak Vernon dan sekarang sedang berada di toilet. “Sedari tadi aku berdiri di sini, tidak melihat gadis yang kau maksud,” jawab Vernon tenang. Dua pria itu membalikkan tubuh untuk menatap satu per satu pelang*gan Vernon yang ketakutan. Kemudian salah satunya berjalan menuju lorong toilet. Ben langsung melompat turun dari kursinya dan mendahului langkah pria itu. “Hei!” protesnya. “Maaf, aku sudah tidak tahan,” sahut Ben sambil kedua tangannya menutupi bagian selakangannya. “Aku punya masalah dengan—” Ben melirik selakangannya. “Aku tidak peduli urusanmu!” kesal pria itu, dan membiarkan Ben untuk berlalu. Ben bergegas. Ketika sampai di depan toilet, pintunya terbuka. Ben buru-buru mendorong gadis itu dan membekapnya sebelum kalimat protes berhasil keluar dari mulutnya. Dengan sebelah tangannya, Ben langsung memutar kenop pintu dan menguncinya. “Ada dua pria bertubuh besar di luar sedang mencarimu,” bisik Ben.  Mata gadis itu melebar. “Kau sedang menghindari mereka, kan?” Gadis itu mengangguk. “Kalau begitu diamlah sampai Vernon menyuruh kita keluar.” “Hei! Apa yang kau lakukan di dalam! Kau sedang berbicara dengan siapa?” bentak si Pria asing itu sambil menendang pintu kamar mandi. “Apa kau lupa? Aku punya masalah dengan katung kemihku! Aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku takut ruang sempit, makanya aku berbicara dengan diriku sendiri agar tidak takut!” balas Ben dari dalam kamar mandi, masih dengan posisi yang sama bersama gadis itu. Suara pria itu tidak lagi terdengar. Sepertinya dia puas dengan jawaban Ben. Tak berapa lama kemudian, suara Vernon menggantikannya dan mengabarkan bahwa keadaan sudah aman. “Ayo keluar!” ajak Ben.  “Terima kasih,” ujar gadis berbaju biru itu pada Ben yang sudah kembali duduk menikmati segelas bir yang telah diisi Vernon lagi. “Hei, aku bilang terima kasih padamu!” ulangnya kesal. Ben masih tak acuh dan menikmati birnya. “Nona, dia sudah menerima ucapan terima kasihmu. Lebih baik tinggalkan dia sekarang, sebelum dua pria tadi kembali mencarimu di sini.” “Namaku Radella! Kau bisa memanggilku dengan Ella,” ucap Ella sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat, tapi—lagi-lagi—tak diacuhkan oleh Ben. “Kau adalah orang paling aneh yang pernah aku temui! Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan berkenalan!” “Nona—” “Kalau kau seperti ini, kenapa tadi menolongku, hah?! Kenapa ikut campur masalahku?” Ben meletakkan gelas birnya, kemudian bangkit menuju pintu keluar. “Hei! Kau mau ke mana?! Hei!” “Memanggil kembali dua pria tadi,” sahut Ben sambil lalu. “Tunggu!” cegah Ella sambil menahan lengan Ben. “Baiklah, aku tidak akan menganggumu lagi!” Ella menghempaskan lengan Ben, kemudian dengan hentakan kaki keras dia berjalan keluar kedai. “Dasar pria berengsek!” Ben masih mendengar makian Ella dari parkiran. “Dia hanya ingin berterima kasih, Ben.” “Aku tidak perlu terima kasihnya.” “Lalu kenapa kau menolongnya?” “Dia terlihat seperti anak anjing yang butuh pertolongan.” “Anak anjing? Apa gadis itu selucu itu?” Ben tersenyum mendengar sindiran Vernon. “Dia menakutkan.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD