I’m not Rapunzel

2142 Words
“Kau tidak akan pergi ke mana-mana tanpa Lucas dan Dave!” “Ayolah, Dad! Aku sudah 21 tahun!” Pagi ini, ruang makan keluarga Softucker kembali tidak tenang seperti hari-hari yang lalu. Putri bungsu keluarga terkaya di Rotterfoort ini kembali berbuat ulah. Kali ini merengek ingin pergi ke kampus dengan mobil barunya. “Untuk apa Dad membelikanku mobil, kalau aku tidak bisa mengendarainya?” “Lucas yang akan menyetir, kau bisa duduk di kursi belakang sambil menyalin tugas dari temanmu.” Radella memutar matanya malas mendengar jawaban dari Dad yang tidak pernah mengizinkannya melakukan apapun. Seolah, Radella akan mati mendadak, jika hilang dari pengawasan Lucas dan Dave. Semenjak tinggal bersama Dad, pria itu benar-benar memastikan bahwa Ella tidak akan pergi tanpa penjagaan. Bahkan Dad bersikeras bahwa Ella harus sekolah di rumah. Hidup penuh kekangan akhirnya membuat Ella berontak di tahun terakhir SMA-nya. Dia bertaruh dengan Dad, jika dirinya berhasil mendapatkan nilai sempurna di ujian sekolah rumahannya, maka Ella yang akan menentukan di mana dia akan kuliah. Saat itu, Tuhan berpihak padanya, tapi tetap saja Dad menugaskan Lucas dan Dave untuk selalu menguntitnya. “Apa Dad tahu bagaimana teman-teman sekelasku melihat diriku yang kemana-mana harus ditemani oleh dua orang aneh itu?” “Tidak usah kau pedulikan, mereka hanya iri padamu.” “Mereka tidak iri. Mereka menganggapku aneh!” kesal Radella, kemudian menyambar tasnya dan keluar tanpa menyentuh sarapannya. Di halaman rumah, Lucas sudah siap di balik kemudi, dan Dave segera membukakan pintu mobil sedan warna merah itu, kemudian berputar dan duduk di sebelah Lucas. Tanpa disuruh, Lucas langsung menginjak pedal gas menuju kampus Radella. Tak berapa lama, mereka sudah sampai dan Grace—sahabat Ella—melambaikan tangan dari dalam mobilnya. “Mobilmu baru?” tanya Grace. “Tapi masih ada dua pria itu?” “Ya, memang begitu Dad. Dia seperti ayah tiri yang menyekapku di menara. Padahal aku bukan Rapunzel.” “Dia memang ayah tirimu.” “Ya, aku tidak lupa itu.” Saat ini keduanya sedang dalam perjalanan menuju kelas. Oh, jangan lupakan Lucas dan Dave yang masih setia mengekor. Dua pria itu baru akan berhenti membuntuti Ella saat gadis itu sudah berada di dalam kelas atau di toilet.  “Hari ini kau ikut ke pesta Oscar?” “Kapan?” “Nanti sore,” sahut Grace sambil menjatuhkan bokongnya di kursi paling belakang, diikuti oleh Ella yang duduk di sebelahnya. “Kau tidak lihat dua pria itu di sana?” Grace menghela napas, seraya keningnya mengerut seolah sedang berpikir keras. “Tidak-tidak, kau pasti tidak akan berani melakukannya,” monolog Grace. “Apa?” Radella paling tidak suka jika diremehkan seperti ini. Mendengar kalimat Grace, membuat jiwa bertaruhnay tertantang untuk melakukan apapun yang akan keluar dari mulut Grace. “Begini …” Grace mendekatkan bibirnya ke telinga Ella, dan membisikkan rencananya. *** “Lucas, aku perlu mampir ke toko roti di simpang jalan yang ada di depan itu.” “Tapi—” “Ayolah, Luc. Grace bilang ada roti keju enak di sana. Aku ingin mencobanya.” Lucas tidak punya pilihan lain selain memutar setirnya dan menepikan mobil di dekat toko roti yang dimaksud Ella. “O iya, aku tadi mengintip garis bensin di depan itu, sepertinya akan habis. Kau bisa mengisinya di sebelah situ, kan?” tanya Ella sambil mengangguk ke arah pom bensin yang berada di seberang toko roti. “Jangan banyak berpikir, aku tidak mau mobil ini kehabisan bensin di tengah jalan!!” lanjut Ella, sebelum Lucas mengajukan protesnya lagi. Ella masuk ke toko roti ditemani Dave yang masih setia mengikutinya bak anak anjing yang manis. Satu sasaran sudah berhasil dialihkan oleh Oscar dan teman-temannya tadi, kini Dave akan menjadi urusan Ella. “Aku ingin roti ini … ini … lalu ini … dan yang ini juga aku mau semuanya,” pinta Ella sambil menunjuk roti-roti yang dipajang di etalase. “Dave, tolong bayarkan roti ini. Ini kartuku, aku ingin duduk sebentar. Stiletto ini berhasil membuat kakiku mati rasa,” keluh Ella, lalu terduduk di salah satu kursi pengunjung sembari mengurut betisnya. Hal yang tidak diketahu Dave saat dirinya sibuk di kasir, Ella diam-diam melepaskan kedua sepatunya. Tanpa perlu menghitung mundur, Ella langsung berlari keluar kedai dengan bertelanjang kaki. Ella tidak lagi peduli dengan teriakan Dave di belakang, dia masih berlari, sampai akhirnya dia memutuskan untuk sembunyi sementara waktu. Ella memilih sebuah kedai makanan Italia dan langsung masuk. “Di mana toiletmu? Cepat! Beritahu aku di mana toiletmu!” “Di sana,” jawab pria berjenggot putih seperti sinterklas. “Di sebelah kiri lorong.” Ella langsung menuju arah yang ditunjuk dan segera mengunci pintu setelah masuk ke toilet. Berulang kali Ella memaki dirinya sendiri atas kenekatannya ini—tapi seru juga!—dia tidak bisa membayangkan betapa marahnya Dad nanti, saat Dave dan Lucas pulang tanpa dirinya! Ponsel Ella yang berada di saku celananya bergetar dan sebuah pesan dari Grace muncul, yang menanyakan di mana keberadaannya saat ini. Tanpa pikir panjang, Ella langsung mengirimkan lokasinya pada Grace, yang kemudian dibalas bahwa mereka akan tiba lima menit lagi di lokasi Ella. Ella melirik jam tangannya, sudah beberapa menit dia di dalam toilet dan sepertinya Dave tidak mengejarnya sampai kedai ini. Akhirnya Ella memutuskan untuk keluar dan menunggu Grace di luar saja. Namun, seorang pria dengan rambut dan jenggot yang berantakan—tapi aroma tubuhnya sungguh wangi—tiba-tiba menyergap dan membekap mulutnya. Ella berusaha meronta, tapi pria ini mengungkungnya dan membuatnya kesulitan untuk bergerak. “Ada dua pria bertubuh besar di luar sedang mencarimu,” bisiknya. Ella tahu siapa mereka, Lucas dan Dave. “Kau sedang menghindari mereka, kan?” Ella mengangguk. “Kalau begitu diamlah sampai Vernon menyuruh kita keluar.” Sepertinya pria ini berusaha menolong Ella, dan tidak ada salahnya jika Ella menuruti apapun yang diucapkan pria ini. Meskipun dirinya juga tidak tahu apa motifnya membantu. “Hei! Apa yang kau lakukan di dalam! Kau sedang berbicara dengan siapa?” Itu suara Dave! “Apa kau lupa? Aku punya masalah dengan katung kemihku! Aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku takut ruang sempit, makanya aku berbicara dengan diriku sendiri agar tidak takut!” balas pria yang sepertinya belum berniat melepaskan Ella dari kungkungannya. Beberapa saat kemudian, suara Dave sudah tidak lagi terdengar. Bersamaan dengan itu, bekapan di mulut Ella mulai mengendur dan akhirnya terlepas. “Ayo keluar!” Ella mengikuti langkah pria yang telah menyelamatkannya ini sampai ke kursi di dekat meja bar. Kali ini Ella bisa melihatnya dengan lebih jelas bagaimana wajah pria ini. Seperti gorilla! Rambut gondrong dan jenggotnya yang lebat, membuat wajahnya sangat menyeramkan! Mungkin jika dia mau bercukur, akan terlihat sedikit lebih tampan. “Terima kasih.” Ella bukan tipe orang yang senang berhutang pada orang lain, terlebih hutang budi. Oleh karena itu, kali ini Ella akan menawarkan satu permintaan pada pria ini. Namun, apa yang didapat Ellah tidak seperti yang dibayangkannya. Pria gorilla itu hanya diam tanpa membalas ucapan terima kasih Ella.  “Hei, aku bilang terima kasih padamu!” Pria itu masih diam dan sekarang malahan meneguk habis birnya!   “Nona, dia sudah menerima ucapan terima kasihmu. Lebih baik tinggalkan dia sekarang, sebelum dua pria tadi kembali mencarimu di sini.” “Namaku Radella! Kau bisa memanggilku dengan Ella.” Ella masih berusaha, seraya mengulurkan tangannya, tapi pria menyebalkan ini masih tak acuh! “Kau adalah orang paling aneh yang pernah aku temui! Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan berkenalan!” “Nona—” “Kalau kau seperti ini, kenapa tadi menolongku, hah?! Kenapa ikut campur masalahku?” Pria gorilla itu meletakkan gelas birnya, dan—sekali lagi—tak mengacuhkan Ella melangkah melewatinya untuk pergi meninggalkan kedai. Ella merasa sangat tersinggung! Baru kali ini dirinya benar-benar tak diacuhkan! Seumur hidup, belum ada yang berani bertingkah seperti ini di depan Ella! Apakah dirinya menjadi tak kasat mata sekarang ini? “Hei! Kau mau ke mana?! Hei!” “Memanggil kembali dua pria tadi.” “Tunggu!” cegah Ella. “Baiklah, aku tidak akan menganggumu lagi!” Ella menyentak kasar lengan pria itu, lalu keluar dari kedai diiringi suara bantingan pintu. “Dasar pria berengsek!” *** Ella belum berhenti menari bersama teman-temannya di ruang tengah rumah Oscar. Pesta yang berlangsung sejak dua jam yang lalu ini, belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Bahkan semakin malam, semakin banyak yang datang. “Ini sangat menyenangkan, Grace!” teriak Ella di tengah dentuman musik. “Kenapa wajahmu seperti itu? Tenang saja, Dad tidak akan menemukanku di sini! Aku akan berada di depan rumah, sebelum pria itu menemukanku.” “Ya, aku percaya kau bisa melakukan hal itu.” Grace menyambar gelas champagne dari tangan Ella. “Tapi kau sudah terlalu mabuk! Ayo, aku antar pulang!” Ella menggeleng. Pulang? Ella belum berminat untuk itu! Ella ingin menghabiskan akhir pekan ini lebih lama, sebelum kembali ke penjara. “Hai, Grace,” sapa Oscar yang tiba-tiba sudah berdiri di antara dirinya dan Ella. “Luis mencarimu, katanya ada yang mau dia bicarakan. Sepertinya dia menginginkanmu kembali.” “Luis?” Oscar mengangguk. “Kemarikan, ini milik Ella, kan? Aku akan menjaganya, kau pergilah menemui Luis,” ujar Oscar sembari mengambil gelas champagne dari tangan Grace. Setelah kepergian Grace, Oscar berbalik dan menemukan Ella sudah sempoyongan. Gadis itu bahkan sudah kesulitan untuk sekedar menjaga keseimbangan tubuhnya. Oscar langsung menyambar tubuh itu dan membawanya ke tepi ruangan. “Ella, kau baik-baik saja? Kau mabuk?” Ella menggeleng, tapi tentu saja itu malah membuat Oscar semakin yakin bahwa teman sekelasnya ini sudah mabuk berat. “Ayo, kau bisa beristirahat di kamarku,” tawar Oscar. “Nanti saat Grace sudah selesai urusannya dengan Luis, dia akan menjemputmu.” “Aku tidak mau, Oscar! Aku ingin menikmati malam ini! Kapan lagi aku bisa bebas?” “Aku tahu. Tapi lihat dirimu sekarang, bahkan berdiri tegak saja kau tidak mampu. Ayo!” paksa Oscar yang tanpa menunggu persetujuan Ella, langsung menggendong gadis itu menuju kamarnya di lantai atas. Sesampainya di sana, Oscar membaringkan Ella di ranjang hangatnya. Perlahan, seolah gadis itu adalah boneka porselen yang mudah pecah. Oscar masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, tatapannya juga masih di tempat yang sama—wajah lelap Ella. Bukan rahasia lagi, semua orang tahu bagaimana perasaan Oscar terhadap Ella. Pria itu mencintainya, tapi tidak dengan Ella yang hanya menganggapnya sebagai teman. Berapa kalipun Oscar mendekati Ella dan mengungkapkan perasaannya, gadis itu tetap menolaknya. Oscar beranjak menuju pintu kamar dan memutar kuncinya. “Kau begitu cantik,” bisik Oscar yang kini sudah duduk di tepi ranjang dan jemarinya mengelus pelan pipi Ella. “Kenapa kau terus-terusan menolakku?” Ella menggeram kecil, tapi kedua matanya masih tertutup. “Kau tahu? Aku mengadakan pesta ini hanya untukmu. Agar aku bisa berdua denganmu seperti ini.” Oscar merunduk, mendekatkan wajahnya pada wajah lelap Ella. Hidungnya menghidu aroma bedak, kemudian bibirnya mengecup bibir tipis Ella. Tangannya perlahan bergerak menarik selimut dari tubuh Ella, berlanjut dengan kecupan-kecupan kecil di sekitar leher Ella yang berhasil membuat gadis itu melenguh. “Kau sungguh wangi,” puji Oscar lagi, kali ini jemarinya membuka satu per satu kancing kemeja Ella. Bra merah dan payu-dara yang indah itu menyambut Oscar. Membuat kedua ujung bibir Oscar tertarik dan menggelapkan matanya dengan nafsu. Ditariknya cup kiri bra Ella dan seketika bagian tubuh yang selama ini menjadi pembicaraan para pria di kampus, menyembul indah. “Kau tahu, Ella,” lirih Oscar sambil mengelus pu-ting kiri Ella. “Para pria selalu membayangkan dirimu, akupun begitu. Bedanya, kini aku bisa menyentuhmu, tapi tidak dengan mereka.” Elusan lembut jemari Oscar memberikan efek rangsangan yang menggila di permukaan tubuh Ella. Tubuhnya semakin panas, membuatnya menggeliat dan mengerah, dan semua itu membuat Oscar semakin berani melanjutkan kegiatannya melucuti pakaian Ella. “Oscar,” erang Ella dalam keadaan setengah sadarnya. “Lepaskan!” Oscar seolah tuli, pria itu tak acuh akan permintaan Ella dan masih terus mengecupi setiap inci permukaan tubuh Ella yang mulus dan lembut, sembari meremas di bagian favoritnya. “Lepaskan!” Dengan sisa kesadarannya, Ella mendorong tubuh Oscar, membuat pria itu terjungkal dari atas ranjang. Ella berusaha duduk, tapi Oscar kembali menindihnya. “Lepaskan! Aku tidak mau!” “Dengar, Ella! Aku melakukan ini semua demi dirimu!” “Lepaskan, Bajing-an!” Ella kembali mendorong tubuh Oscar, kemudian berusaha kabur saat kesempatan itu datang. Namun, lagi-lagi Oscar lebih cepat dan menarik tubuh Ella yang setengah telanjang, merapatkannya ke dinding dan menghimpitnya. “Oscar, kau di dalam? Ada yang mencarimu.” “Sialan!” maki Oscar saat mendengar seseorang memanggilnya. “Diam di sini, Ella! Aku belum selesai denganmu.” Tubuh Ella meluruh saat Oscar meninggalkannya. Ella bangkit, kemudian melangkah untuk mencari jalan keluar. Langkah sempoyongannya, membawa gadis itu sampai pada tepian jendela kamar. Meski mabuk, tapi satu sudut di otak Ella mengatakan bahwa dirinya harus segera lari dari bahaya ini. Ella membuka jendela, dan dengan sisa kesadarannya berusaha menaiki tepian jendela. Selanjutnya yang Ella tahu, tubuhnya terasa perih.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD