An Annoying Neighbor

1699 Words
Ben baru sampai di rumahnya saat petang. Seharian ini, setelah urusannya dengan perempuan gila tadi selesai, Vernon mengajaknya ke rumah temannya yang menawari pekerjaan untuk membersihkan kebun-kebunnya. “Vernon, aku sangat berterima kasih soal pekerjaan itu.” “Hey, itu belum seberapa dibanding apa yang ayahmu lakukan untukku.” Vernon melongokkan kepalanya keluar jendela mobil. “Tetanggamu berisik sekali.” Ben menoleh ke rumah tetangganya, yang dia masih ingat adalah milik keluarga Oswald. “Kurasa anaknya sedang berpesta. Tuan dan Nyonya Oswald sedang menjenguk orang tuanya.” “Ah, anak muda,” ujar Vernon mengerti. “Dia akan dapat masalah kalau nanti orang tuanya pulang.” Ben terkekeh mendengar kalimat Vernon. “Kulihat, kau sudah membersihkan halaman rumahmu?” Ben mengangguk. “Tadi sebelum ke tempatmu.” “Mampirlah lagi ke kedai, aku akan membuatkanmu makanan enak.” “Besok sepulang kerja, aku akan mampir.” “Baiklah, aku pulang dulu kalau begitu.” “Hati-hati di jalan,” ujar Ben sambil melambaikan tangan pada Vernon yang mulai melaju meninggalkannya. Satu masalah sudah selesai, setidaknya untuk beberapa minggu ke depan, Ben tidak perlu memikirkan dari mana dia akan mendapatkan uang dan makanan. Hal lain yang harus dia pikirkan saat ini adalah mencari orang yang harus bertanggung jawab atas apa yang dialaminya selama 15 tahun ini. Diambilnya ponsel pemberian Vernon dan mencari sebuah nama keluarga, tidak perlu waktu lama. Nama itu begitu termasyur di Rotterfoort, hampir semua sektor penting di kota ini dikuasai oleh mereka. Jemari Ben masih menari di atas layar ponselnya, tapi kemudian kedua netranya membelalak sempurna saat membaca satu judul artikel di sana. Ernest Softucker tewas bunuh diri! “Sial!” maki Ben dengan jemari yang mencengkeram erat ponselnya. “Kau sudah mati? Kita belum bertemu Ernest, tapi kenapa kau sudah mati?! Argh! Kau belum merasakan mendekam di dalam penjara atas perbuatanmu, Baji*ngan!” Ben menggeram kasar, menendang meja kayu di depannya. Merutuki kematian Ernest Softucker yang terlalu cepat, kematian pria yang menyeret ayah Ben ke penjara atas tuduhan yang salah!   “Tidak! Tidak! Meskipun kau sudah mati, keluargamu tetap harus menerima pembalasanku, Ernest! Ya, kau masih punya seorang adik yang mewarisi seluruh harta kekayaanmu! Aku akan membuat adikmu bertekuk lutut di hadapanku, memohon untuk dikasihani hidupnya. Seperti yang kau lakukan pada ayahku! Di alam sana, kau akan menyesali semua itu! Kau akan berharap bisa hidup kembali untuk menolong adikmu!” Ben kembali menekuri layar ponselnya, mencari segala informasi tentang keluarga Softucker yang masih tersisa. Membuat keluarga Softucker hancur adalah tujuan pertama Ben setelah dia keluar penjara. Satu pun, Ben tidak akan menyisakan anggota keluarga Softucker, semuanya harus menerima pembalasannya. Sepeser pun, Ben tidak akan menyisakannya untuk keluarga bed*ebah itu. Fokus Ben pada layar ponselnya teralihkan dengan suara ketukan kencang di pintu rumahnya. Ben segera beranjak untuk membuka pintu, tapi dia tidak menemukan seorang pun di sana. Ben melongok ke luar, dan dilihatnya dua pria berlari seraya terbahak. “Dasar bocah!” maki Ben, lalu tak mengacuhkannya. Namun, baru beberapa saat berlalu, suara gedoran yang lebih kencang kembali terdengar. Ben kembali membuka pintu rumahnya, dan lagi-lagi dua bocah sialan itu terbahak! Persetan jika mereka masih bocah, Ben tidak peduli. Dia langsung mengejar kedua pria itu yang berakhir di rumah tetangganya yang sedang mengadakan pesta. Sebenarnya Ben tidak ingin mencari masalah dengan anak Tuan dan Nyonya Oswald yang tadi siang memberinya pie apel. Namun, suara dentuman musik dan tingkah teman-temannya sudah sangat menganggu ketenangan Ben. Akhirnya Ben melangkahkan kaki memasuki pekarangan keluarga Oswald dan berulang kali menekan bel rumahnya. “Ya?” sapa seorang wanita dengan segelas bir di tangannya. “Kau terlalu tua untuk ikut pesta ini. Tapi kau sangat seksi, lihat otot bisepmu ini. Sungguh menggairahkan. Apa kau sengaja memakai kaos tanpa lengan ini untuk memamerkan ototmu ini?” lanjutnya dengan suara serak dan jemari yang terus bermain di lengan Ben. “Siapa yang bertanggung jawab atas pesta ini?” “Uh! Kenapa terburu-buru, Honey?” bisik wanita itu di telinga Ben, lalu menggigit kecil telinganya. Membuat Ben refleks menghindar. “Ups! Maaf. Kau sensitif sekali rupanya. Baiklah, kalau kau tidak mau bermain.” Wanita itu mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, lalu menandaskan isinya hingga habis. “Masuklah! Oscar mengadakan pesta ini untuk kita nikmati!” “Di mana Oscar?” “Kenapa kau ingin bertemu dengan orang yang sedang sibuk dengan kekasihnya? Lebih baik, kau ikut saja bersamaku, kita—” Ben mencekal lengan wanita itu, membuatnya meringis menahan nyeri. “Aku tidak punya waktu bermain dengan kalian, para bocah! Cepat suruh Oscar keluar sekarang juga!” Wanita itu mencebik kesal, tapi kemudian berlalu meninggalkan Ben menuju lantai dua. Ben mengedarkan pandangannya dan hanya tersenyum miris, membayangkan apa yang akan Tuan dan Nyonya Oswald lakukan kalau mengetahui bahwa putra tunggalnya mengadakan pesta untuk menghancurkan rumah mereka?   Tak berapa lama menunggu, seorang pemuda menuruni tangga dengan wajah muram. Langkahnya berhenti tepat di depan Ben dan menyapanya hanya dengan tatapan dingin. “Kau Oscar?” Oscar mengangguk kecil sebagai jawabannya, seraya menatap Ben dari ujung kepala hingga sepatunya yang kusam. “Apa aku mengenalmu?” “Kurasa kau tidak ingat siapa aku. Terakhir aku melihatmu, saat kau masih memakai popok.” “Oh, jadi sekarang kau adalah Pak Tua … maaf, siapa tadi kau bilang namanu?” “Aku belum mengatakannya.” Ben menghela napas. “Aku Ben, tetangga sebelah rumahmu,” lanjutnya sembari mengangguk ke arah rumahnya. Oscar mengikuti ke mana arah pandang Ben, tapi tetap tidak berminat menanggapi obrolan Ben dengan lebih serius. “Dua temanmu mengangguku.” Oscar menengok ke belakang dan memperhatikan teman-temannya dengan saksama. “Hei! Apa kalian menganggu pria tua ini?” Para anak ingusan yang sedang asyik bergoyang itu bukannya menjawab pertanyaan Ben, malahan kompak berseru mengoloknya. “Kau lihat sendiri? Tidak ada yang menganggumu. Mungkin kau—” Belum selesai Oscar berucap, Ben sudah mencengkeram pipinya dengan satu tangan. Membuat Oscar dan beberapa orang teman di dekatnya terkejut. “Dengar, Bocah! Aku tidak peduli jika kau mau menghancurkan rumah orang tuamu dengan pesta tidak bergunamu ini. Tapi satu hal!” Ben mengetatkan cengkeramannya. “Jangan ganggu ketenanganku. Paham?” Oscar mengangguk cepat. Melihat ekspresi ketakutan Oscar, Ben langsung melepaskan cengkeramannya diiringi oleh senyum miring yang menambah kesan sinis di wajahnya. “Pelankan musikmu. Aku butuh istirahat, karena besok aku harus bangun pagi.” “Ba—baiklah.” Tanpa pamit, Ben langsung berlalu dari rumah keluarga Oswald. Sekuat tenaga dia menahan tawanya, yang sedari tadi berusaha tidak meledak saat melihat ekspresi putra Tuan Oswald. Bahkan Ben yakin, jika semenit lebih lama Ben belum melepaskan cengkeramannya, pemuda itu akan mengompol di celananya. Ben mengunci pintu rumah, menurunkan gorden, kemudian melangkah menuju kamarnya untuk beristirahat. Pegal di tubuhnya harus segera hilang, agar besok pagi dia bisa mulai bekerja dengan baik. Namun, baru selangkah dia memasuki kamarnya, kedua netranya berhasil membulat sempurna, menatap sesuatu—bukan, lebih tepatnya seseorang berbaring di ranjangnya! Seorang wanita dengan rambut berantakan yang menutupi seluruh wajahnya, tengkurap, dan mendengkur! Ben menggeram kesal mendapati satu kawan Oscar yang mabuk ada di kamarnya. Bahkan tanpa malu, wanita itu menguasai seluruh ranjang Ben, yang bahkan untuk ditempati dirinya sendiri saja sudah sesak! “Hei!” bentak Ben dari ambang pintu kamarnya. “Nona! Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Ini bukan tempat tidurmu, bahkan bukan rumahmu! Kau salah rumah! Kalau mau mabuk, pergilah ke rumah Tuan Oswald!” Wanita itu masih terlelap. Tidak ada tanda-tanda, dirinya akan menjawab seluruh makian Ben. “Hei!” sekali lagi Ben memanggilnya, tapi wanita itu tetap tidak berkutik. Dengan kekesalan yang membuncah, Ben menghampiri wanita itu dan berusaha membangunkannya. “Hei! Bangunlah!” Ben kembali menggoyang pundak wanita itu, kemudian menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Perlahan Ben menelentangkan tubuh wanita itu, dan saat mendapati bagaimana rupasi pemabuk itu, Ben memutar matanya malas. Tapi tangannya cepat-cepat meraih selimut yang terlipat di ujung kasur untuk menutupi tubuh bagian atas wanita itu. “Sial sekali aku hari ini!” gerutunya. “Kenapa bertemu dengan dirimu lagi?!” Wanita itu mengerang, menggumamkan sesuatu di tengah lelapnya. Ben tidak terlalu menangkap dengan jelas apa yang diucapkannya. “Kau bilang apa?” tanya Ben yang tengah mendekatkan wajahnya ke lawan bicaranya yang masih meracau. “Tolong aku,” rintihnya. “Dad akan membunuhku, jika aku pulang.” Ben mencebik. “Dasar anak manja!” Wanita itu masih bergeming, yang berhasil menyulut kekesalan Ben hingga titik maksimalnya. Tanpa memedulikan hal lainnya, Ben mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya keluar. “Dad, seseorang ingin membunuhku,” racaunya lagi. “Memangnya kau siapa? Sampai ada yang ingin membunuhmu? Tapi itu tidak mengherankan, melihat bagaimana menyebalkannya dirimu tadi saat di kedai Vernon. Pasti kau adalah gadis kaya yang manja, yang terbiasa dengan segala kemewahan, suka memerintah, dan—” Ben seketika merasa dirinya seperti orang gila, karena turut mengomel tidak jelas. Ben menurunkan wanita itu di undakan teras rumahnya, tetap menyelimutinya dengan satu-satunya selimut yang dimilikinya. Ben memang berniat meninggalkan wanita mabuk ini di teras rumahnya. Dirinya yakin, setelah sadar, dengan sendirinya dia akan pulang, atau setidaknya kembali ke rumah Oscar. Namun, yang terjadi beberapa jam kemudian benar-benar membuat Ben frustasi! Matanya sulit terpejam, bukan, bukan karena sisa wangi parfum wanita itu yang masih melekat di sprei, tapi karena otak Ben tidak berhenti memikirkan kemungkinan bahwa wanita menyebalkan itu mungkin saja masih kedinginan meskipun sudah diselimuti dengan selimut tipis. Gusar, Ben langsung beranjak dari baringanya dan melangkah cepat menuju pintu rumahnya. Sesaat Ben mengintip di balik celah gorden, wanita itu masih dalam posisi yang sama, semenjak dia tinggalkan tiga jam yang lalu. “Kenapa Oscar tidak mencarinya? Berapa banyak alkohol yang diminumnya? Kenapa sampai sekarang belum sadar?” gumamnya sendiri. “Ah, sudahlah. Itu bukan urusanku. Paling beberapa jam lagi dia akan sadar dan segera pulang.” Ben membuka pintu rumahnya, kemudian berjongkok untuk memperhatikan dengan saksama wajah lelap di hadapannya ini. Sialnya, tatapan Ben sulit untuk beralih dari bibir mungil dengan warna merah itu. Ben menghela napas. Meskipun hatinya diliputi dendam, tapi membiarkan wanita asing yang polos—walau sangat menyebalkan—perlahan bibirnya membiru karena dingin, Ben tidak setega itu. Jemari Ben perlahan mengancingkan kembali kancing baju yang terlepas, kemudian mengangkatnya. Tidak, Ben tidak akan membawa wanita itu untuk tidur di ranjangnya lagi, tapi Ben akan membawanya kembali ke tempat yang seharusnya. Rumah Oscar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD