27 - Terlalu Cepat

2862 Words
           Untung saja tidak ada apa pun yang terjadi sampai Lucius dan Tria kembali ke kamar mereka. Tria yang mengerti kalau ada seseorang yang menginginkan nyawanya memilih untuk diam di kamarnya sampai pesta yang ada di atas kapal pesiar akan dimulai.            Karena malam ini kemungkinan puncak dari segala macam rencana yang bisa mencelakai Tria, Lucius menyiapkan berbagai macam peralatan, senjata yang bisa disembunyikan dengan mudah dan juga puluhan rencana untuk keluar dari keadaan yang bisa membahayakan nyawa Tria dan juga dirinya.            “Bagaimana, Lucius?” tanya Tria sambil berputar satu kali, membuat gaun berwarna biru langit tanpa lengan yang digunakan olehnya mengembang. Rambutnya yang tergerai sampai ke pinggang bagai riak air terjun, ditambah dengan beberapa aksesori pada rambutnya membuat Tria terlihat lebih menarik.            Tanpa riasan di wajahnya, menurut Lucius Tria sudah lumayan cantik dan terlihat manis. Namun saat menggunakan riasan, wajahnya terlihat lebih dewasa dan sangat menarik perhatian seseorang. Mungkin ia ingin meninggalkan kesan kalau ia bisa menjadi seseorang yang kuat meski kedua orang tuanya sudah tidak ada.            Lucius menganggukkan kepalanya sekali. “Mhm, lumayan.”            “Hmph, setidaknya katakan aku cantik, atau aku menarik!” protes Tria dengan dagu yang sedikit terangkat.            “Mhm, kau cantik, kau sangat menarik,” tambah Lucius dengan nada suara yang datar.            “Meski kau sudah mengatakannya, aku tidak senang sama sekali,” protes Tria sambil mengusap keningnya dengan pelan. “Kau bisa berdansa, ‘kan?”            “Aku bisa belajar.”            “Tidak ada waktu untuk belajar, karena kau harus berdansa denganku nanti!” sahut Tria sambil merapikan dasi yang Lucius kenakan.            “Aku bisa belajar sambil melakukannya.”            Tria mendesah pelan sambil menepuk dasi yang sudah selesai ia rapikan. “Tidak mungkin kau hanya diam di ujung ruangan, ‘kan?”            “Tentu tidak.”            “Uhh … membawamu berkeliling untuk memperkenalkanmu pada rekan orang tuaku tidak akan cukup. Setidaknya kau harus berdansa denganku satu atau dua kali.”            “Tidak masalah. Mungkin aku juga hanya akan menginjak kakimu satu atau dua kali,” balas Lucius.            Tria memutar kedua bola matanya. “Itulah yang paling tidak kuinginkan …”            Dari barang yang ia bawa, Lucius mengeluarkan sebuah tabung kecil berisi serbuk berwarna putih yang terlihat seperti garam. Dengan ujung telunjuk dan ibu jarinya, ia mengambil sejumput serbuk itu. “Jangan bergerak, aku perlu menaburkan beberapa serbuk ini ke gaunmu itu.”            “Serbuk apa itu? Serbuk itu tidak akan mengotori gaunku, ‘kan?”            “Pilih mana, ingin gaunmu sedikit terkena serbuk putih atau dinodai oleh darah?” tanya Lucius dengan nada yang dibuat seringan mungkin, berniat untuk membuat perkataannya menjadi sebuah lelucon.            Tetapi, Lucius sadar kalau dirinya tidak pernah berhasil membuat sebuah lelucon, atau bisa memasang wajah untuk membuat sebuah candaan dengan mudah seperti Lakra. Sehingga, ketika Tria mendengar perkataan Lucius yang seperti itu, wajahnya langsung pucat pasi dan dia tidak mengatakan apa pun lagu saat Lucius menaburkan serbuk itu pada gaunnya.            Setelah selesai menaburkan serbuk itu di beberapa bagian yang bisa Lucius lihat dengan mudah, ia berkata, “Perkataanku tadi hanya lelucon.”            Sebuah pukulan yang bahkan terasa sedikit sakit bagi Lucius langsung mendarat di punggungnya. Dengan hidung yang mengernyit, Tria berkata, “Leluconmu itu tidak lucu sama sekali! Jika kau bekerja dengan orang lain setelah diriku, jangan sampai kau berpikir untuk membuat sebubah lelucon.”            Ujung bibir Lucius sedikit terangkat. Setelah mencoba hal itu pada Tria, dirinya sudah sadar dan tidak akan melakukan hal itu lagi di masa yang akan datang.            “Tunggu, tunggu sebentar! Lakukan sekali lagi, Lucius!” sahut Tria sambil mencengkeram kedua lengan Lucius.            “Lakukan apa?”            Tria menunjuk wajah Lucius dengan jari telunjuknya yang hampir menusuk hidungnya. “Kau … bukankah tadi kau tersenyum!? Bukan senyuman yang dipaksakan, tetapi benar-benar tersenyum!”            “Tidak,” jawab Lucius singkat.            “Aiiyaaa. Jika kau benar-benar tersenyum dengan tulus, kau terlihat sangat, sangat, sangat, sangat tampan! Ah, aku harus mengabadikan momen ini di dalam benakku,” kata Tria dengan mata yang tertutup dan kedua jari telunjuk di keningnya.            Lucius mendesah pelan sambil melonggarkan dasi yang ia kenakan. “Apa ada hal lain yang kau butuhkan?”            Setelah menarik napas dingin beberapa kali, akhirnya Tria membuka kedua matanya. “Tidak ada. Ayo kita pergi ke aula. Sepertinya Lia sudah menunggu kita di sana.”            “Setelah malam ini berakhir, akhirnya tugasku sudah selesai.”            Tria langsung merangkulkan tangannya pada lengan Lucius. “Hmph! Aku yakin setelah kau kembali ke rumahmu, kau akan merindukanku lebih dari apa yang kau sadari!”            .            .            Seperti janjinya kemarin, Tria dan Lucius menunggu Lia di depan aula tempat pesta itu akan dimulai. Sambil menunggu Lia, Lucius memerhatikan orang yang masuk ke dalam aula. Semua gerak gerik, nada bicara, aroma tubuh, tatapan mata, sampai suara langkah kaki setiap orang yang lewat di depannya ia lihat dan nilai satu persatu.            Dari pengalamannya selama ia dilatih menjadi seperti ini, dan juga dari pengalamannya ketika ia berhadapan dengan musuh yang menghalangi kelancaran misinya, Lucius bisa memastikan tidak ada satu pun orang yang mencurigakan atau pun orang yang bisa mencelakai Tria yang masuk ke dalam aula itu.            Tetapi hal yang membuat Lucius merasa terganggu adalah jika seseorang yang memiliki niat seperti itu sudah berada di dalam aula terlebih dahulu.            Jika keadaan yang sesungguhnya seperti itu, kemungkinan besar di dalam aula sudah dipasang sebuah jebakan atau berbagai macam hal lainnya.            Orang-orang yang bekerja di dalam dunia yang saat ini sedang Lucius tinggali tidak pernah memikirkan orang-orang lain di sekitarnya. Asalkan tujuan dari tugas mau pun misi yang ia dapatkan dari kliennya terpenuhi, ia tidak peduli jika ada orang lain yang menjadi korbannya. Kemungkinan terburuknya, bisa saja beberapa menit ke depan terjadi sebuah ledakan yang mengakibatkan kapal pesiar yang sedang dinaikinya karam, tenggelam ke dasar dasar laut yang gelap dan dingin.            Lucius juga sedikit tidak yakin, mungkin saja ada pembunuh dengan target orang lain juga berada di atas kapal ini, karena Tria bukan satu-satunya orang penting yang mengikuti pesta di atas kapal ini, bahkan ada puluhan orang yang lebih penting dibandingkan dengan dirinya.            Tapi dilihat dari semua orang yang lewat di depan Lucius, tidak ada satu pun yang seperti dirinya. Semua hanya orang-orang penting seperti bangsawan mau pun petinggi negara yang membawa pasangannya atau anak-anaknya untuk mengikuti pesta ini.            Sepertinya ia harus dengan sukarela mengikuti pelatihan dari Lakra lagi setelah ia menyelesaikan tugas ini. Meski tidak ingin mengakuinya, tetapi apa yang dikatakan oleh Lakra ada benarnya. Lucius masih kurang pengalaman dalam menjalankan tugasnya yang semacam ini. Selama menjalankan tugasnya, ia tidak pernah bertemu atau melawan langsung pembunuh bayaran yang lebih kuat dibandingkan dengan anggota keluarganya yang lain, atau lebih kuat dibandingkan dengan dirinya.            Lia yang belum terlihat di mana pun membuat Tria yang berdiri di sebelahnya semakin terlihat gelisah. Lucius mengintip ke dalam aula tempat pesta itu akan dimulai. Berpikir mungkin saja Lia sudah berada di dalam sebelum mereka tiba di sini.            Dari luar, Lucius bisa melihat kalau aula tempat pesta diadakan memiliki langit-langit yang sangat tinggi, dengan karpet berwarna merah yang memenuhi seluruh lantai, gorden dengan warna emas menutupi seluruh jendela tinggi dari lantai sampai langit-langit ruangan itu. Chandelier yang dipasang di langit-langit ruangan menambah kemegahan pesta itu. Lantunan dari instrumen yang terdengar cukup merdu sedikit menutupi pembicaraan dari ratusan tamu yang menghadiri pesta itu.             Dari tempat ini, ia tidak bisa menemukan Lia di dalam aula itu. “Apa mungkin ia sudah ada di dalam?” kata Lucius pada Tria yang semakin terlihat gelisah dibandingkan dengan sebelumnya.            “Tidak mungkin. Jika ia sudah tiba di tempat ini terlebih dahulu, pasti ia juga akan menunggu kita di tempat ini. Dia juga tidak pernah terlambat,” jawab Tria terdengar seperti bisikan. “Atau jangan-jangan … ada sesuatu yang terjadi padanya?”            Lucius belum menyelidiki Lia lebih lanjut, ia juga baru bertemu dengannya beberapa kali. Tetapi jika dilihat dari gerak gerik serta kebiasaannya, ia merasa kalau apa yang dikatakan oleh Tria itu benar.            “Oh, Tria. Aku baru tahu kau datang ke pesta ini.”            Mendengar perkataan itu, Tria dan Lucius sama-sama menghadapkan wajah mereka ke sumber suara. Seorang pria tua dengan rambut yang sebagian besar sudah berwarna putih tersenyum dengan ramah pada mereka berdua. Orang itu menggunakan setelan jas rapi dengan sebuah topi dan kacamata berbingkai perak. Dilihat dari cara berdirinya yang santai dan suaranya ketika ia sedang berbicara, terlihat jelas kalau dirinya dapat dengan mudah berada di tengah-tengah perhatian orang-orang di sekitarnya. Bisa dibilang, orang ini pembicara yang sangat baik.            Meski begitu, dari ujung matanya Lucius bisa melihat kalau Tria terlihat tidak nyaman di dekatnya. “Ah … selamat malam, Paman. Aku juga baru tahu kalau Paman menghadiri pesta ini,” jawab Tria sambil memaksakan senyumnya.            Seseorang yang dipanggil ‘paman’ oleh Tria menepuk pelan bahunya dan berkata, “Bagaimana keadaanmu? Kau terlihat sedikit lebih kurus dari terakhir kali aku bertemu denganmu.”            Tria terkekeh pelan, kemudian membalas, “Aku hanya sedang diet.”            “Kau masih dalam masa pertumbuhan, seharusnya kau lebih mementingkan kesehatanmu,” kata pamannya, kemudian dengan perlahan-lahan kedua matanya menatap ke arah Lucius. “Sepertinya kau tidak datang sendirian. Siapa pemuda ini?”            Seperti baru ingat kalau Lucius berdiri di belakangnya, Tria langsung menarik lengan Lucius sambil tertawa dengan malu-malu. “Perkenalkan, Paman. Dia kekasihku.”            Kening paman Tria langsung berkerut. “Kekasihmu? Maksudnya tunanganmu? Aku belum pernah mendengar hal ini dari orang tuamu …”            “Aku bertemu dengannya beberapa bulan sebelum … kejadian yang menimpa kedua orang tuaku terjadi. Sehingga, aku belum sempat memperkenalkannya,” ujar Tria berbohong dengan mudah tanpa mengedipkan matanya sekali pun.            “Maaf atas ketidak sopananku. Namaku Lucius,” kata Lucius sambil mengangkat tangannya untuk berjabat tangan.            Paman Tria membetulkan kacamatanya sambil melihat Lucius sekali lagi dari ujung kaki sampai ujung kepalanya, kemudian ia menjabat tangan Lucius. “Senang berkenalan denganmu, Lucius. Aku paman Tria, adik dari ayahnya. Aku tidak pernah mendengar pembicaraan tentang dirimu sebelumnya.”            “Aku tidak sengaja bertemu Tria di kota saat aku sedang mengunjungi salah satu tokoku di sana,” kata Lucius yang ikut berbohong dengan mudah. “Tanpa mengetahui latar belakang kami masing-masing … kami akhirnya mulai akrab dan merasa nyaman satu sama lain.”            Paman Tria kembali membetulkan posisi kacamatanya. “Toko? Kau salah satu dari keluarga pedagang?”            “Ya. Keluargaku menjual kain sutra.”            Paman Tria menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sepertinya kebohongan Lucius berhasil. Saat ini, kain sutra sedang digemari oleh kalangan atas, sehingga pedagang yang menjual kain sutra mendapat keuntungan yang sangat besar dengan harga yang sangat tinggi.             “Salahku juga karena merahasiakan hubunganku dengan Lucius, Paman. Jika tahu keadaannya seperti ini … mungkin aku seharusnya memperkenalkan Lucius pada kedua orang tuaku,” kata Tria memasang wajah yang sedih. “Mungkin jika kedua orang tuaku tahu aku sudah bertemu dengan seseorang yang membuatku nyaman, mereka bisa meninggalkanku tanpa khawatir.”            Paman Tria tersenyum miris, ia kembali menepuk bahunya beberapa kali. “Asalkan kau senang, sehat dan aman, Tria. Kedua orang tuamu pasti tidak akan khawatir dan terus mengawasimu dari jauh.”            Lucius pura-pura memberikan sapu tangannya pada Tria yang langsung diterimanya dan ia gunakan untuk mengusap air mata buaya di kedua matanya. “Lain kali jika keadaan di rumahku sudah cukup stabil, aku akan membuat pesta teh dan memperkenalkan Lucius pada yang lainnya.”            “Tidak perlu khawatir, Tria. Tidak perlu terlalu terburu-buru dan nikmatilah waktumu,” kata pamannya kembali menenangkan Tria. “Hidupmu masih panjang …”            Tria berdeham pelan untuk menghilangkan suaranya yang sedikit serak sambil memasang senyuman di wajahnya lagi. “Baik, Paman. Ngomong-ngomong, apa kau datang ke pesta ini sendirian?”            “Ah, itu benar. Bibimu sedang sakit.”            Kedua alis Tria langsung terangkat. “Bibi sedang sakit? Aku baru mengetahuinya … mungkin aku harus mengunjunginya beberapa minggu ke depan.”            Pamannya tertawa beberapa saat dan kembali menepuk bahu Tria. “Dia hanya sedikit demam, mungkin beberapa hari lagi juga akan sembuh. Kenapa kalian berdua tidak masuk? Pestanya akan segera dimulai, ‘kan?”            “Aku sedang menunggu Lia. Apa Paman ingat?”            “Tentu, dia salah satu teman baikmu sejak kau masih menggunakan popok. Apa ayahnya juga datang? Mungkin aku bisa menyapanya juga.”            Tria menggelengkan kepalanya. “Lia menghadiri pesta ini untuk mewakili ayahnya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, Paman. Ia datang sendiri.”            Pamannya mengerutkan kening sambil mengusap dagunya. “Datang ke sini sendiri … bukankah sedikit berbahaya?”            Tria terkekeh pelan sambil mengibaskan tangannya dengan canda. “Apa yang bisa berbahaya dari menghadiri pesta pertemuan seperti ini, Paman?”            Pamannya tersenyum tipis, kemudian berkata, “Ah … itu benar. Di tempat seramai ini tidak mungkin akan berbahaya, ‘kan? Kalau begitu, aku akan masuk terlebih dahulu. Bagaimana jika nanti kita berdansa satu atau dua kali?”            Tria langsung merangkulkan tangannya pada lengan Lucius dengan manja. “Jika aku memiliki waktu, Paman!” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.            Pamannya tertawa dan menganggukkan kepalanya pada Lucius. Setelah mendapatkan balasan dari Lucius, ia baru masuk ke dalam aula.            “Bagaimana menurutmu?” tanya Tria ketika pamannya sudah berjalan cukup jauh dari mereka.            “Dari gerakannya tidak ada yang mencurigakan. Tetapi aku bisa tahu kalau orang seperti itu dapat dengan mudah menyembunyikan kebohongan dengan sempurna,” balas Lucius. “Terlebih lagi dia adik dari ayahmu. Kau ingat perkataanku sebelumnya, ‘kan?”            Tria menganggukkan kepalanya.  “Yang kau katakan ada benarnya. Pamanku selalu baik padaku, tidak pernah memperlihatkan sedikit pun wajah yang memiliki niat tertentu. Tapi seperti yang kau katakan, karena pekerjaannya pada dunia politik, ia bisa menyembunyikan kebohongan sangat mudah.”            “Tidak ada salahnya untuk berhati-hati di sekitar orang itu,” tambah Lucius.            “Tentu saja. Ah … ke mana Lia, dia sangat terlambat—”            Seperti sebuah kata sandi yang ditunggu-tunggu untuk diucapkan, Lucius mendengar suara langkah kaki yang sudah ia ingat dalam beberapa hari terakhir.            “Triaaa! Maaf aku terlambat!” Dari jauh, Lucius bisa melihat Lia dengan gaunnya yang sedikit diangkat berlari dengan kencang ke arah mereka berdua.            “Ah! Awas ja—”            Belum sempat kata-kata Tria selesai ia ucapkan, Lia langsung terjatuh wajah terlebih dahulu. Orang-orang di sekitar Lia sedikit terkejut, beberapa di antaranya membantunya untuk berdiri. Tria dan Lucius langsung bergegas ke dekatnya.            Setelah berterima kasih kepada orang-orang yang membantunya, Lia kembali berlari mendekat ke arah mereka berdua. “Maaff, aku tidur siang dan terlambat bangun.”            Tria meluruskan gaun Lia yang sedikit kusut saat ia terjatuh tadi. “Seharusnya kau lebih hati-hati …”            “Hehe, maaf. Aku takut membuatmu menunggu lama.”            “Hmph, jika akhirnya seperti ini, lebih baik aku menunggu lebih lama, kau tahu?” omel Tria.            Lucius memerhatikan bahu Lia yang sedikit bergetar. Bukan karena kedinginan, bukan karena habis terjatuh, bukan juga karena menahan malu. Lebih tepatnya terlihat seperti ketakutan. Mata Lia pun sedikit bergetar dan terus melihat ke arah sekitarnya.             “Terlambat satu atau dua menit menghadiri pesta tidak akan jadi masalah. Kau cukup ceroboh, berlarian seperti tadi seharusnya tidak perlu. Terlihat seperti dikejar-kejar oleh seseorang saja,” tambah Lucius dengan tawa pelan di akhirnya.            Senyuman di wajah Lia langsung beku seketika. Dari reaksinya, sepertinya dugaan Lucius benar. Tria yang mungkin mengerti apa yang coba Lucius lakukan langsung melingkarkan tangannya pada bahu Lia.            “Kalau begitu ayo kita masuk! Apa kakimu masih sakit?”            Lia langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak, masalah. Ayo kita masuk.”            Tria langsung melirik ke arah Lucius. “Hati-hati di sekitarnya,” gumam Lucius pelan.            .            .            Lucius mengikuti Tria dan Lia dari belakang. Sesekali ia mengucapkan salam atau cukup menganggukkan kepalanya ketika Tria atau Lia memperkenalkan dirinya pada orang yang mereka kenal.            “Ah … aku haus …” gerutu Tria pelan.            “Aku akan mengambilkan minuman untukmu,” kata Lia.            “Tidak, tetap di sini,” jawab Tria sambil menatap Lucius.            Lucius mendesah pelan. Karena banyak orang di sekitar mereka, sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Baiklah, aku yang akan mengambilnya.”            “Terima kasih, sayang! Aku akan menunggumu di sini,” canda Tria sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit.            Lucius mendesah pelan sambil memutar kedua bola matanya, kemudian berjalan dengan langkah kaki yang dipercepat ke arah meja terdekat yang di atasnya disediakan berbagai macam makanan dan minuman.            Seketika langkah kakinya terhenti, dengan cepat ia menghadap ke sisinya. Ada seseorang yang memerhatikannya dari jauh.            “Apa yang dilakukan anak termuda dari keluarga Xlavyr di sini?”            Perkataan itu langsung membuat jantung Lucius serasa copot. Ia sendiri bahkan tidak sadar ada seseorang yang berdiri di balik punggungnya. “Siapa?”            “Seperti yang diceritakan oleh kakakmu. Kau benar-benar kurang berpengalaman.”            Lucius langsung memutar tubuhnya dengan belati di tangannya. Namun, tidak ada seorang pun di belakangnya. Ia langsung menyebarkan pandangan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat siapa pun yang mencurigakan.            Belum sempat ia bernapas lega, tiba-tiba keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Teriakan langsung memenuhi seluruh ruangannya.            “Tria!” sahut Lucius sambil berlari menuju arah di mana Tria dan Lia berada.            Serbuk putih yang sebelumnya Lucius sebarkan pada Tria merupakan serbuk yang bisa memancarkan cahaya di dalam kegelapan. Jika terjadi hal seperti ini, Lucius dapat dengan mudah menemukan di mana keberadaan Tria.            Namun, cahaya kecil yang dicari oleh Lucius tidak terlihat di mana pun. Seharusnya ia jangan pernah meninggalkan Tria lebih jauh tiga meter dari dirinya.            Dari ratusan rencana yang dibuat di dalam kepalanya, ia tidak pernah membayangkan akan terjadi yang seperti ini.            Pergerakan lawannya terlalu cepat. [] 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD