Eps 3

1181 Words
"Eh, sini masuk." Seru Merry ketika melihat ada Selly dipintu ruang rawat. Selly menarik nafas lebih dulu, lalu membuangnya pelan melalui mulut. Sesaat ia membenarka kaca mata yang sedikit melorot turun, lalu mendorong pintu lebih lebar lagi. Tersenyum canggung menatap kearah Langit yang menatapnya menelisih. Membungkukkan badan sebagai tanda hormat. "Siapa dia, Mer?" tanya Langit yang tak pernah melihat Selly. Gadis mungil yang manis, polos, dan terlihat sangat lugu. Baju dan rok lusuh yang nempel di tubuh Selly sudah memperlihatkan jika dia adalah orang yang tak mampu. "Dia yang akan rawat kamu, mas. Sampai sembuh." Jawab Merry dengan menelisih penampilan Selly juga. "Jadi ... dia ini anaknya orang yang udah celakai kamu kemarin itu." Langit menghela nafas, tentu masih mengingat kejadian pagi itu. "Oh, jadi kamu anaknya bapak yang nggak bisa pakai sepeda itu?" Selly mengangkat kepala, mengerjab lucu. "Bap—bapak saya ... bis—bisa pakai sepeda kok." Belanya. Udah sejak dia masih kecil, bapaknya memang berjualan dengan sepeda tua itu. Dia juga sering dibonceng jika bepergian berdua. Tentu tak terima jika ada yang menyimpulkan bapaknya tak pandai menaiki sepeda. Itu kan karna penyakit vertigo bapaknya kambuh tak tau tempat, makanya jadi oleng. "Kalau bisa, nggak mungkin dia akan oleng di jalan besar. Itu membahayakan pengendara lain. Gara-gara bapak kamu itu, saya jadi harus masuk disini." Suara bernada kesal yang terucap dari bibir Langit membuat Selly membuang nafas. Dia memang selalu begini, memilih mengalah dari pada harus berdebat untuk mengatakan jika apa yang dia yakini itu benar. "Selama kamu sakit, kamu di Indonesia dulu, mas. Kamu harus free, nggak usah mikirin kantor. Kamu serahin aja semua ke Grey. Pasti dia bisa handle semua kerjaan kantor." Langit mebuang nafas panjang. "Aku ngikut apa kata kamu aja." ** Dengan wajah sendu dan bibir yang sedikit manyun, Selly melangkah keluar dari ruangan VVIP. Kini pikirannya penuh oleh selembar formulir pendaftaran masuk ke universitas UP yang telah menjadi impiannya. Kuliah? Itu bisa saja ia lakukan. Tapi ... gimana nasib bapaknya? Mereka mau makan apa kalau Selly memilih kuliah? Ya, biaya kuliahnya memang gratis. Buku, dan jika dapat tugas kuliah yang lain, itu tidak mungkin akan gratis kan? Dia bisa saja bekerja, ngambil kerjaan malam, karna dirasa, waktu kerjanya hanya bisa saat malam hari. Tapi uang untuk pengobatan bapaknya, untuk makan mereka sehari-hari, dapatnya dari mana? Astaga .... Dengan pikiran yang penuh seperti ini, Selly tak peduli dengan keadaan sekitar lagi. Bahkan dia tak sadar jika tadi sudah berpapasan dengan Awan. Malah cowok jutek itu kini mengikuti langkah kecilnya. Kening Awan berlipat saat menyadari jika Selly jalan tanpa arah. Padahal letak lift ada dibelokan samping, dan gadis yang menurutnya udik itu tetep aja lurus. Cckk, emang gadis aneh sepanjang masa! "Udik!" panggilnya dengan langkah yang lebih lebar. Tak ada sahutan, bahkan Selly tetap melangkah dengan tatapan kosong. "Cckk, udah udik, budeg juga ternyata!" kesalnya. "Demiit!" teriak Selly ketika dengan tiba-tiba Awan muncul didepannya. Berdiri menghalangi langkahnya. Tangan Awan langsung mentoyor kening Selly. "Orang ganteng begini lo bilang demit. Katarak lo!" Selly mengelus dadaa yang jadi berdebar, sungguh, dia benar-benar terkejut. "Ya Allah, Awan ... kamu ngagetin. Hanya demit yang suka tiba-tiba muncul tanpa permisi dulu." Kesalnya. Dia kalau lagi mikirin sesuatu, ngelamun, dan ada yang ngagetin, udah pasti latahnya jadi kambuh. Awan sedikit terkekeh melihat gadis didepannya jadi manyun dan terlihat terusik. "Lo nya aja yang budeg. Tadi juga udah gue panggil." Tak menanggapi Awan, dia celikukan, mencari letak belokan menuju kearah lift yang tadi ia lewati. "Yaampun, aku kebablasan." Menepuk kening sendiri, berbalik, lalu melangkah menuju lift. "Lo ... ngapain disini?" tanya Awan, mengikuti langkah Selly. "Uumm, tadi jenguk orang." Jawabnya singkat. Nggak gagu, karna dia ngomongnya nggak pakai hati. Ini pikiran Selly benar-benar lagi penuh. Memasukkan kedua tangan disaku jaket, menatap Selly yang kini menekan tombol disamping pintu lift. "Saudara?" Selly geleng kepala. "Orang yang udah dicelakai bapak." Ting! Segera Selly melangkah masuk kedalam lift. Menatap Awan yang terlihat melotot diluar pintu dengan menatap kearahnya. Detik berlalu, sampai pintu lift hampir menutup, Awan tak juga ikut masuk. "Wan, kamu nggak ikut masuk?" tanyanya dengan tangan menghalangi pintu agar tak menutup. Awan menghela nafas sebentar, lalu mengikuti, melangkah masuk kedalam lift. Selly menekan tombol lift, setelahnya, lift mulai bergerak turun. "Gimana cara bokap lo nyelakai orang?" tanyanya penasaran. Dia memang kecewa sama papinya, tapi ... mendengar ada yang sudah mencelakai papinya, itu membuat sudut hatinya tak terima. "Waktu bapak jualan cilok, vertigonya kambuh. Makanya sepeda bapak jadi oleng, jadi dia jatuh ditengah jalan." Terang Selly tanpa sedikit pun melirik Awan. Kening Awan lebih berlipat lagi. "Nggak nyambung banget, gimana ceritanya nyelakai? Kan bokap lo jatuh sendiri." Ting! Keduanya melangkah keluar beriritan. Bahkan Awan masih saja mengikuti langkah kecil Selly. Dia kan pengangguran, mau ngapain sih? Jenguk papinya juga males, karna didalam sana masih ada Ralika dan Merry. "Ya ... karna bapak jatuh itu, bapak-bapak yang pakai mobil jadi kaget, ngehindari untuk nggak nabrak bapak, makanya dia jadi nabrak pembatas jalan, sampai mobilnya rusak dan kakinya jadi sakit. Nggak bisa jalan. Makanya aku suruh tanggung jawab buat ngerawat orang itu sampai bisa kembali jalan." Bibir itu manyun. Mengingat karna tanggung jawab ini, dia jadi nggak bisa untuk tetap kuliah. "Kek lo ngerawat gue dulu?" Lontaran pertanyaan Awan membuat Selly menghentikan langkah, menoleh, mendongak untuk bisa menatap wajah Awan yang tentu lebih tinggi darinya. Seketika itu, ia baru menyadari, jika yang sejak tadi bersamanya adalah Awan, lelaki yang telah mencuri ciuman pertamanya dulu. Ia mulai salah tingkah, memalingkan wajah, melanjutkan langkah dengan menggigit bibir bawah. Ada rasa aneh yang kini menelusup didalam dadaa. Duuhh, rasanya gemetar, kek orang kelaparan. "Aku ... aku pulang dulu." Pamitnya ke Awan ketika langkahnya telah sampai di karidor depan rumah sakit. Tak menanggapi, Awan hanya diam dengan tetap menatap Selly. Sampai Selly berbalik, lalu melangkah keluar dari halaman rumah sakit untuk mencari kendaraan bajaj yang biasa menjadi pengantar kepergiannya. Seutas senyum terbit dibibir manis Awan. Asik kan, kalo serumah lagi sama Selly. Ada yang dikerjain. Behahah .... "Kak," Panggilan yang membuat senyumnya hilang seketika. Awan membuang nafas kasar dengan sangat malas. Bahkan untuk menoleh pun, ia tak mau melakukannya. "Kakak disini sejak kapan? Kenapa nggak masuk?" kini Ralika berdiri disampingnya. Sedikit melirik, lalu berbalik. Namun tangannya ditarik saat kaki hendak melangkah pergi. "Kak, papi nanyain kakak terus. Kalau kakak udah disini, mending masuk sekalian. Kasihan pap—" "Awas! Awas!" Cepat Awan menarik tubuh Ralika, memeluknya, menjauhkan dari brankar yang hampir menabraknya. Ada korban tabrak lari yang harus segera mendapatkan penanganan. Pelukan untuk pertama kali selama beberapa tahun dia mengenal sosok Awan. Sosok yang menurutnya jutek, dingin dan cuek. Namun, entah kenapa dia begitu mengagumi lelaki yang menjadi kakaknya ini. Kakak kandung, karna darah Langit mengalir didiri mereka berdua. Kali ini, Ralika menatap wajah Awan tanpa kedip. Dari jarak yang dekat seperti ini, dan pelukan hangat kakaknya, ia semakin kagum. Sampai kedua mata tak berkedip karna ingin menikmati moment untuk pertama kali. Sadar akan apa yang dia lakukan, Awan melepaskan pelukan dengan sedikit mendorong tubuh adiknya. "Sorry. Gue nggak ada maksud apa-apa." Nggak peduli tanggapan Ralika, dia menutup kepala dengan tudung hoddie, lalu melangkah keluar dari karidor menuju tempat parkir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD