Eps 2

1538 Words
Ninja putih milik Awan terparkir cantik di garasi rumah yang sejak bayi ia tempati. Matanya memicing saat melihat ada mobil baru yang juga di garasi. Bisa dipastikan jika mobil keluaran terbaru ini milik istri papinya. Ya, Merry Rulian ; wanita yang Langit nikahi setelah empat bulan kepergian mami Awan. Pelakor? Entahlah. Yang Awan tau, mami dan papinya memang kerap kali bertengkar. Terlebih papi yang jarang pulang ke rumah. Sekali pulang, pertengkarang selalu membuat Awan muak, dan memilih tidur di caffe, tempat mereka main band dulu. Maminya meninggal setelah di rawat di rumah sakit selama dua minggu. Sakit liver dan kangker p******a membuat Fraira tak bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Dan ya, tepat saat empat bulan kepergian Fraira, Langit membawa pulang Merry. Memperkenalkan pada Awan jika wanita itu adalah pengganti sang mami. Merry tak datang sendiri, dia bersama seorang gadis, umurnya satu tahun lebih muda dari awan. Namanya, Ralika ; anak sang papi dengan wanita ini. Kalian bisa bayangkan, seperti apa hancurnya Awan kala itu. Ternyata ... papinya telah berpoligami selama hitungan tahun. Awan turun dari atas motor setelah melepas helm. Dengan begitu malas, ia menaiki undakan depan rumah. Membuka pintu, melangkah dengan perasaan yang jadi tak sehappy tadi. "Kak," Menoleh saat mendengar ada yang menyapa. Ralika tersenyum manis di undakan tangga. Adiknya ini memang sangat cantik, sekilas, dia dan Ralika, sedikit ada kemiripan. Namun, Awan sama sekali tak menanggapi itu, dia langsung menaiki tangga tanpa peduli tatapan kecewa Ralika. "Papi koma, kak." Kaki yang akan kembali menaiki anak tangga itu, urung. Satu tangannya terkepal erat. Dia memang jarang bertemu dengan Langit, bisa dikatakan, sekali dalam setahun saja. Itu juga hanya beberapa hari, saling tegur dan tak pernah terlibat obrolan serius. Karna menurut Awan, papinya ini ... tak sayang! "Besok juga bangun." Tanggapan dari seorang Awan, terdengar sangat cuek dan ... seakan tak peduli. Cepat Ralika melangkah, menaiki tangga, mengejar langkah kaki kakaknya. Mencekal tangan yang hampir membuka pintu kamar. "Kak, ayo kita ke rumah sakit. Kita jenguk papi." Ajaknya dengan tatapan memohon. Awan membuang nafas kasar, memalingkan wajah. Terlalu males menatap wajah gadis hasil selingkuhan papinya. Atau ... ah .. taix lah! "Jenguk aja. Dia kan, papi lo!" mengibaskan tangan, hingga cekalan Ralika terlepas. Melanjutkan memutar gagang pintu. "Kak," kembali tangannya digendoli. "Beberapa kali papi ngigau nama kakak. Siapa tau kan, kalo kakak datang, papi bisa langsung bangun?" Tak menanggapi itu, hanya diam dengan wajah merah menahan untuk enggak memaki. Awan melepaskan cekalan tangan Ralika lagi. Lalu menutup pintu kamar dengan membantingnya. "Kak," pekik Ralika, sedikit terkejut. "Jan ganggu gue! Dia bokap lo! Bukannya dia selalu ada buat lo?! Urus sana! Nggak usah ajak gue saat susah, anjiing!" kesalnya, berteriak. Selanjutnya, Awan menyalakan musik untuk mengungkapkan jika tak ingin diganggu. ** Pak Dukuh yang memang ada didalam kamar pak Rusdi, berdiri dari duduknya. "Bu, ibu tau kan, seperti apa keadaan pak Rusdi. Dia tak memiliki apa-apa. Lihat saja rumah dan isinya, ibuk mau minta apa? Lagi pula, dokter tadi sudah mengatakannya kan. Pak Rusdi mempunyai penyakit vertigo. Penyakit beliau kambuh saat berjualan tadi. Semua ini murni kecelakaan dan tak disengaja." Mata bulat Merry melotot lebih tajam. "Tau sakit ya nggak usah keluyuran dong. Harusnya sadar diri, kalau kondisi dia itu bisa merugikan orang lain. Bukannya malah minta orang lain suruh ngertiin. Gimana sih! Anda katanya kades kan? Kok masih aja ngebolehin warganya kerja. Padahal juga tau, kalo warganya itu udah nggak mampu kerja." Terlihat wajah pak Dukuh yang mulai kesal dengan tanggapan Merry, sampai dadaanya naik turun menahan emosi. "Maaf," Sahutan lirih dari pak Rusdi membuat pak dukuh tak jadi menjawab ucapan bu Merry. Mereka yang ada di ruangan menatap kearah ranjang, dimana pak Rusdi berusaha untuk menengahi perdebatan pak Dukuh dan bu Merry. "Saya memang salah, tapi ... saya tidak sepenuhnya salah." Pak Rusdi menarik nafas dalam lebih dulu. "Ibuk sudah tau, saya ini tidak punya apa-apa. Ibu mau minta ganti rugi apa?" Merry melipat kedua tangan didepan, menatap sinis kearah Rusdi dan Selly yang sejak tadi menunduk dengan tangan menggenggam erat rok sekolahnya. "Gini aja. Kalau minta uang, udah bisa dipastikan kalian ini nggak akan sanggup bayar. Jadi ... saya mau anak anda ini," merasa di sebutkan, Selly sedikit menegang dengan aliran darah yang tiba-tiba memanas. Mendongak pelan, menatap wanita galak ini dengan keberanian yang benar-benar ciut. "Saya mau, kamu merawat suami saya yang sekarang ... belum sadar, dan kata dokter ... kedua kakinya akan lumpuh. Kamu ikut saya ke Filipina, karna kami tinggal disana." Lanjut Merry dengan begitu enteng. Wajah Selly terlihat gelagapan. "Tap—tapi ... bap—bapak saya ... bapak saya saja sedang sak—sakit. Kal—kalau saya merawat su—suami ibu, gimana sama bapak saya nanti?" "Lho, itu urusan kamu. Namanya perbuatan ya harus ada tanggung jawabnya dong." Balasnya yang terlihat jika memang dia sama sekali tak peduli dengan keadaan orang lain. "Bu, ibu kan ... orang berada, bukankah akan lebih baik jika ibu memakai suster untuk merawatnya?" Mendengar sahutan dari pak Kades yang sama sekali tak diharapkan oleh Merry, dia mulai melotot. "Gini lho, bu. Pak Rusdi ini udah duda sejak tujuh tahun lalu. Dia hanya punya satu orang anak saja. Ini juga Selly baru saja lulus SMA. Kalau Selly harus pergi mengurus suami ibuk di luar negri, bagaimana nasib pak Rusdi nantinya," lanjut pak Kades. Bu Merry bersikap terkejut dengan satu tangan memijat pelipis. "Astaga, itu sama sekali bukan urusan saya, pak. Mereka yang berbuat, kenapa harus saya yang menanggung semuanya?" "Bu," "Oke, oke." Memotong kata yang akan keluar dari mulut pak Rusdi. "Saya kasih kelonggaran. Kalian bayar saya seratus juta, atau anak ini ngerawat suami saya sampai sembuh di ... di Indonesia." 'Ya, biarkan mas Langit tinggal di sini dulu sampai dia bisa kembali lagi seperti semula. Merepotkan juga kan, kalo aku harus membawanya kembali ke Filipina? Udah cacat, nanti habisin banyak uang juga. Mending manfaatin orang miskin ini, kan?' lanjutan suara hati Merry yang ... ah, ini bangsad! "Di Indonesia? Nggak jadi ke Filipina, bu?" tanya Pak Kades, memastikan lagi. Bu Merry menggeleng. "Saya kasih longgar, biar kamu juga tetap bisa merawat bapak kamu yang sakit ini." ** Kamar VVIP, kelas paling oke untuk seorang Merry yang paling gengsian. Ia membuka pintu ruang rawat, berjalan dengan sedikit berlari menuju ranjang pesakitan. Tersenyum hangat kala mendapati suami yang kini sudah membuka mata. "Mas, akhirnya kamu sadar. Aku seneng banget." Ucapnya dengan raut penuh kebahagiaan. Langit sedikit mengulas senyum, menelisih ruangan yang hanya ada istrinya dan Ralika. Lalu ... menoleh kearah pintu dengan dengan sedikit kesusahan. "Anaknya Fraira nggak ada, mas. Dia nggak peduli lho sama kamu." Ucap Merry yang udah tau jika Langit sangat mengharapkan Awan ada didalam ruangannya. "Mam," Ralika menarik lengan mamanya. Meminta untuk tak mengatakan hal itu. "Lho, mama ngomong apa adanya lho, Ka. Kamu kemarin udah kasih tau anak itu kan? Tapi dia menolak saat kamu ajak kesini. Ngapain juga harus di tutupi dari papimu." Sama sekali nggak peduli apa pun, bahkan dari cara ngomongnya, udah jelas kelihatan kalau dia ini nggak menyukai Awan. "Dah tau anak itu nggak peduli sama orang tuanya, kamu ini, mas. Masih aja kasih dia fasilitas!" kini mendudukkan p****t di kursi empuk yang ada disamping tabung oksigen. Ralika mengelus lengan Langit. "Nanti aku coba ngomong ke kak Awan lagi ya, pi." Langit kembali mengulas seutas senyum. "Makasih, sayang." "Oh iya, mas. Aku nggak bisa lama-lama disini lho. Kantor kosong. Sesuai rencana kita kemarin sebelum balik ke Indonesia. Kita hanya seminggu disini. Tapi kemarin malam Grey nelpon. Pak Brato minta lihat produk yang baru, sekalian mau rundingan sama kamu. Aku rasa, karna kamu sekarang nggak mungkin untuk ngurus kantor, biar aku dulu yang handle. Gimana?" tanyanya, meminta persetujuan lebih tepatnya. Langit menghela nafas sejenak. Tujuan kepulangannya ke Indonesia ini, untuk menjemput Awan. Dia ingin membimbing putra satu-satunya untuk mengurusi dan menjadi pewaris perusahaannya yang telah lama ia jalankan. Dan ... memang ayahnya ; kakek Awan, meminta agar perusahaannya ini jatuh ke Awan. Anaknya dengan Fraira, bukan dengan wanita lain. "Kamu untuk sementara tinggal di Indonesia dulu, mas. Sampai kaki kamu bisa di gerakin. Aku udah nyuruh orang untuk rawat kamu. Bentar lagi dia datang kok. Tenang aja, aku nggak akan foya-foya gunain uang kamu. Ini dia ngerawat dengan gratis." Lanjut Merry. Kening Langit berlipat mendengar penuturan istrinya. "Kamu udah kirim uang untuk jatah Awan?" Merry sedikit terkekeh. "Udah kok. Awan nggak terlalu butuh banyak uang, mas. Dia dapat beasiswa dari kampus. Jadi biaya kuliahnya gratis." Di luar kamar itu, Awan mengepalkan tangan. Mengurungkan tangan yang hampir membuka pintu ruang rawat itu. Memilih berjalan sedikit menjauh, duduk di kursi besi luar ruang VVIP. Kalo aja dia nggak mikirin Langit, dia benar-benar mencekik wanita benalu itu. Bisa-bisanya Langit menikahi, berselingkuh dalam hitungan tahun dengan wanita sialan itu. Rela meninggalkan maminya yang ... sangat jauh berbeda dengan Merry. Menyugar rambut kebelakang dengan helaan nafas kasar. Setelah beberapa menit hatinya merasa sedikit tenang, ia mulai beranjak untuk pergi dari rumah sakit ini. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis berkaca mata berlari kecil. berbicara sebentar dengan seorang satpam yang berjaga di pintu depan kelas VVIP. Setelahnya, gadis yang tak lain adalah Selly, masuk kedalam. "Udik? Ngapain dia kesini? Ruang VVIP? Dia kan beli tempe aja ngutang? Siapa yang sakit?" bertanya sama kursi mati. Merasa sangat penasaran, Awan mengikuti langkah Selly.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD