Fabian Lin. Laki-laki impian sejuta umat. Laki-laki yang tak akan menerima sebuah penolakan jika ia melamar ratusan gadis sekalipun. Baik wajah, prestasi, dompet, bahkan garis keluarganya hanya bisa dideskripsikan dengan satu kata “sempurna”. Walau tak jarang rumor buruk tentang sang pria bermunculan, semua nilai minus mampu dihapuskan dengan semua kelebihannya. Atau lebih tepatnya, mungkin pria itu membungkam para jurnalis yang mengekspos kebusukannya dengan segepok uang.
Menghela napas, Shasha yakin lingkaran di bawah matanya terlihat sangat jelas. Sudah beberapa hari ini ia memikirkan tentang kebodohannya. Baik, ia memang tidak akan bisa lolos dari Fabian. Tapi bagaimana dengan Ain? Jika bocah tak berdosa itu terseret, ia akan menyesal seumur hidup!
Suara pintu yang dibuka membuat lamunan Shasha pecah. Seketika, ia menampakkan senyum ramah dan menoleh ke arah pelanggan yang baru saja masuk ke dalam minimarket.
“Selamat datang, ada yang bisa saya ban—”
Beku. Bibirnya langsung bungkam saat ia melihat sosok familiar yang tak pernah ingin ia temui. Fabian Lin, masih dengan setelan jas hitam dan dasi hitam, berjalan ke arahnya. Manik kelam sang pria pun tidak pernah terlepas darinya.
“Selamat malam, aku ingin membeli minimarket ini.”
Dengan susah payah, Shasha melemparkan senyum terpaksa. “Maaf, tapi minimarket ini tidak dijual.”
Fabian terdiam, hingga pria itu menyadari lingkaran hitam di bawah mata gadisnya. Seketika, pria itu menghela napas.
“Kau tidak perlu bekerja di minimarket ini lagi. Pulang dan beristirahatlah,” ujar Fabian seraya berlalu ke ruang manager.
Kesal. Satu-satunya yang ada di d**a Shasha. Lagipula mengapa pria itu tiba-tiba muncul dan mengatakan hal-hal aneh semacam membeli minimarket dan menyuruhnya berhenti bekerja? Gampang di bibir, berat di dompet. Shasha yakin pria itu masih bisa makan dan hidup mewah seumur hidupnya walau tanpa bekerja sekalipun. Namun, semua itu tidak berlaku baginya. Jika ia tidak bekerja, ia dan Ain bisa mati kelaparan.
Tak ingin tahu-menahu masalah Fabian, Shasha membiarkan pria itu masuk ke ruang manager. Lebih baik ia pura-pura tidak melihat. Hal yang berkaitan dengan Fabian Lin hanya akan membuatnya sengsara. Terbukti, bertemu sekali saja mengakibatkan insomnia selama beberapa hari. Pantas saja, banyak orang yang menjulukinya sebagai iblis.
Sekali lagi, suara pintu terbuka membuyarkan lamunan Shasha. Saat ia menoleh, wajah familiar kembali menyapa. Kali ini, pelanggannya adalah salah satu anak buah Fabian. Ia tidak tahu siapa nama pria itu, hanya saja ia mengingat wajah yang ada di samping Fabian Lin.
“Selamat Malam, Nona. Apakah roti isi dalam kemasan masih ada?” Kiel, tersenyum ramah pada Shasha. Walau begitu, ia masih merasakan bahwa sang gadis terlihat begitu waswas.
Setelah mengambilkan satu roti isi, Shasha kembali ke meja kasir dan menghitung total harga yang harus dibayarkan. Namun, setelah membeli roti isi, Kiel sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Pria itu menikmti roti isi sembari mengamati sekitar dan berharap sang tuan muda segera selesai dengan urusannya.
“Apa Anda anak buah pria itu?” tanya Shasha, penasaran.
Kiel kembali tersenyum. “Oh, maaf. Namaku Kiel, Asisten Tuan Fabian. Dan maaf juga atas semua perlakuan kami di pertemuan sebelumnya. Sebenarnya kami tidak bermaksud untuk melukai Nona Yin.”
Merasakan bahwa sang asisten lebih mudah diajak berkomunikasi, Shasha pun melemparkan senyuman.
“Tidak masalah,” jawab Shasha. “Untuk masalah lamaran itu ... bisakah Anda membujuk Fabian untuk membatalkannya?”
Sebenarnya, Kiel pun merasa kasihan pada Shasha. Namun, apa boleh buat? Ia tidak akan bisa membujuk sang tuan muda. Sekali Fabian serius, semua yang pria itu inginkan akan ia kejar hingga dapat. Tak terkecuali seorang gadis.
“Maaf, tapi aku tidak bisa membantu,” ujar Kiel. “Walau terlihat dingin, tapi sebenarnya Tuan Muda adalah orang yang baik. Mungkin Nona akan tahu jika Nona belajar untuk memahaminya.”
Menghela napas, Shasha langsung menggeleng pelan. “Tidak. Aku bahkan tidak mau berurusan lagi dengannya.”
Seketika, Kiel tersenyum simpul. “Tidak akan ada yang tahu jalan takdir, Nona. Bisa jadi, kalian memang ditakdirkan untuk bersama.”
Tersenyum kecut, Shasha tidak sudi mengamini kata-kata Kiel. “Itu hal paling horor yang pernah aku dengar.”
Mengedikkan bahu, Kiel tidak kembali berkomentar. Pria itu memilih untuk memakan roti isi dengan tenang. Tak lama, hingga sosok yang ia tunggu kembali menampakkan batang hidungnya. Fabian kini berjalan menuju Kiel dan Shasha. Sang asisten langsung tersenyum ramah, tapi tidak untuk Shasha. Gadis itu masih enggan menatap sang pria tampan.
Diluar dugaan, Fabian tidak mengatakan apa pun dan berlalu begitu saja, meninggalkan Shasha yang masih tak ingin menatap kedua pria yang baru saja meninggalkan minimarket. Sedikit yang Shasha tahu, Fabian sempat melemparkan seringai tipis padanya. Pria itu bahkan telah menyiapkan hadiah yang akan mengguncang Shasha.
Menghela napas, sang gadis benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat bertemu dengan pria laknat macam Fabian Lin. Ingin rasanya berpura-pura tidak melihat. Sayangnya, kehadiran pria itu begitu kuat hingga ia pun tidak bisa menolak hawa keberadaannya. Di sisi lain, tangannya bahkan selalu gatal untuk bisa menampar sang pewaris tunggal keluarga Lin, tapi tentu saja Shasha tidak akan senekat itu. Bisa jadi, masalah dalam hidupnya akan semakin bertambah. Setelah ia tahu identitas Fabian Lin, tak dipungkiri bahwa ia pun merasa gugup saat berhadapan dengan sang pria. Walau begitu, ia masih tidak ingin menunjukkan semua kelemahan itu pada orang lain. Terutama Fabian Lin.
“Shasha,” suara serak menyapa.
Saat Shasha menoleh, yang ia dapati adalah pria paruh baya yang menjabat sebagai manager di tempat kerjanya. Namun, entah mengapa Shasha merasakan sebuah kejanggalan di raut wajah sang pria paruh baya. Terlihat sangat pucat, seolah nyawanya ditarik paksa dari dalam tubuhnya.
“Pak Chen, ada apa?”
Walau memegang jabatan yang terbilang tinggi, Pak Chen sama sekali tidak pernah membuat karyawannya merasa tidak betah saat bekerja. Pria itu selalu menjaga kebersamaan dengan para karyawannya. Di mata Shasha, Pak Chen adalah contoh pemimpin yang ideal.
“Uh, anu....”
Biasanya Pak Chen selalu berbicara dengan manik lembut yang berbinar. Namun, entah mengapa kali ini pria itu terlihat ragu untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Apakah pertemuannya dengan Fabian Lin benar-benar merusak kewarasannya dan kini Pak Chen sedang berusaha untuk membuat diri sendiri kembali normal?
Sedikit yang Shasha tahu, kalimat yang terlontar dari mulut Pak Chen langsung membuatnya membeku.
“Maafkan aku, Shasha. Tapi ... mulai hari ini kau dipecat.”
***
Tatapannya masih terkunci pada jendela mobil. Tidak ada yang tahu apa yang pria itu pikirkan. Hanya saja, kini bibirnya merekahkan senyuman tipis. Bagi orang lain, mungkin senyuman adalah pertanda baik. Namun, Fabian Lin berbeda. Sebuah senyuman adalah tanda bahwa akal busuknya kini berjalan lancar. Tentu, Kiel yang telah mengenal sang tuan muda pun mengerti akan isyarat kecil tersebut. Bahkan kini, sang asisten menjadi waswas jika sang tuan muda menggunakan cara yang terlewat berlebihan untuk bernegosiasi dengan Shanaya Yin. Tidak, mungkin “negosiasi” bukanlah kata yang tepat. Faktanya, Fabian malah memberikan tekanan lebih berat untuk Shasha, memaksa sang gadis untuk menyetujui lamarannya. Kiel yakin, gadis malang itu tidak akan bisa lari dari jeratan Fabian Lin.
“Tuan Muda, bukankah Anda terlalu kejam?” ujar Kiel, canggung. “Shanaya Yin akan lebih membenci Anda.”
Fabian menghapus senyum tipisnya, kembali ke raut datar yang tidak berekspresi. “Aku hanya memberinya sedikit dorongan.”
Senyuman kecut Kiel merekah. Ia yakin, metode yang digunakan Fabian bukanlah sebuah “dorongan” melainkan sebuah “paksaan”. Walau begitu, sang asisten berusaha untuk bungkam. Ia tidak ingin berurusan lebih jauh lagi dengan sang tuan muda yang sedang merancang akal busuk.
“Kita lihat apa yang akan dia lakukan selanjutnya,” ujar Fabian. “Jika dia kembali mendapat pekerjaan, laporkan segera padaku.”
“Baik.”
Jujur, Kiel merasa iba pada Shasha. Gadis itu bahkan tidak pernah melakukan sebuah dosa, kecuali meninju wajah Fabian. Bagi Kiel, kesalahan Shasha tidaklah fatal. Lagipula, tidak ada salahnya sesekali memberikan sebuah “pelajaran” bagi sang tuan muda. Siapa tahu, dengan tinju Shasha, pria itu bisa lebih membuka mata untuk menjadi individu yang lebih baik. Ya, tidak ada yang tahu betapa menjengkelkannya seorang Fabian Lin selain Kiel. Sayangnya, sebuah tinju dari sang gadis cantik pun tidak bisa membuat Fabian mendapatkan kembali kewarasannya. Justru sebaliknya, pria itu menjadi lebih gila.
Keheningan pecah setelah ponsel Fabian berdering. Menggeser layar, tangannya segera menempatkan ponsel di telinga. Namun, entah mengapa raut sang pria tampan kini berubah menjadi lebih dingin.
“Fabian,” sapa seseorang di seberang sana. “Kakek tidak pernah mengajarkanmu untuk pergi saat jam kerja, terlebih lagi saat jadwal meeting dilaksanakan.”
Terdiam. Hingga bibir tipisnya melayangkan sebuah balasan. “Layaknya Kakek juga lupa bahwa pemimpin Hexagon Group adalah Fabian Lin.”
Ah, tidak. Tidak lagi.
Kiel diam-diam mengutuk dalam hati. Mendengarkan ocehan Fabian dan sang tuan besar yang beradu mulut bukanlah hal yang ia sukai. Ia berani bersumpah bahwa beberapa menit kemudian, ia akan mendengar berbagai macam sumpah-serapah atau umpatan. Ia yakin akan hal itu.
Melirik sekilas, Kiel menggigit bibir bawah dengan perasaan waswas. Sebenarnya, ia sudah mengingatkan Fabian untuk mendahulukan urusan kantor. Namun, untuk pertama kalinya sang tuan muda mangkir dari kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Pria itu memilih menunda jadwal meeting dan bergegas menemui Shanaya Yin. Biasanya, pria itu langsung menyuruh salah satu bawahannya untuk membereskan semua masalah diluar urusan kantor. Namun, kali ini sang tuan muda bahkan turun tangan secara langsung hanya untuk membeli sebuah minimarket. Tentu, semua ini karena gadis bernama Shanaya Yin.
“Aku hanya ingin melihat wajah muramnya saat melihatku. Itu hiburan yang tak ternilai harganya.”
Jujur, alasan simpel Fabian cukup untuk membuat Kiel menepuk jidat. Masalahnya, hanya karena ingin bertemu dan menatap Shasha, Fabian mengorbankan sebuah meeting yang sangat berpengaruh dengan kelangsungan kejayaan Hexagon Group. Sungguh, cinta membuat kualitas kepala seorang Fabian Lin anjlok total.
“Dengar, cucuku yang paling laknat. Kau boleh memakiku atau melemparkan semua umpatan kasarmu, tapi jangan pernah membuat masalah dengan Hexagon! Apa kau tidak tahu betapa sulitnya membangun sebuah perusahaan?! Tidak tahu diri sekali kau!”
“Kakek sebaiknya ingat umur. Berteriak tidak baik untuk kesehatan, bagaimana jika pita suaramu jebol atau terserang tekanan darah tinggi? Aku juga yang repot,” timpal Fabian tanpa memperhatikan tata krama.
Sementara itu, Kiel hanya bungkam dan menahan kekesalannya.
“Mempunyai cucu sepertimu hanya memperpendek usiaku!” gerutu sang kakek.
“Oh, bagus. Aku sudah menyiapkan lahan pemakaman untukmu,” ujar Fabian, lagi-lagi tanpa memperhatikan kesopanan.
“Kau—kau cucu paling breng—”
Tanpa repot-repot mendengar ocehan sang kakek, Fabian mematikan sambungan telepon dan kembali menempatkan ponsel di saku. Hubungannya dengan sang kakek memang layaknya kucing dan anjing. Bahkan, Fabian pun sampai tak ingin berada dalam satu atap dengan sang kakek. Tentu, semua itu karena sebuah alasan. Alasan yang membuat Fabian tak pernah bisa berdamai dengan masa lalunya.
Sementara itu, Kiel yang mengetahui perdebatan antara Fabian dan sang tuan besar usai, hanya bisa menghela napas lega. Setidaknya, telinganya tidak menjadi korban kata-kata kasar yang terlontar dari bibir kedua tuannya. Sungguh, jika Shanaya benar-benar menjadi istri Fabian, akankah gadis itu mampu mengatasi ketidakwarasan Fabian?
“Apakah Anda tidak ada niat untuk berdamai dengan tuan besar?” singgung Kiel.
Namun, sang tuan muda hanya membuang muka dan mengabaikan asistennya. Alih-alih menjawab pertanyaan Kiel, pria itu kini mengalihkan pembicaraan. Menghindari topik yang paling tidak ia sukai.
“Kiel, cari satu orang untuk mengikuti pergerakan Shanaya Yin. Aku ingin orang yang mahir bela diri dan bisa menjadi mata-mata,” ujar Fabian.
Seketika, Kiel menyanggupi. “Baik.”
Yang melingkupi mereka selanjutnya hanyalah keheningan. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing hingga lupa akan keberadaan satu sama lain.
***
Tidak seperti biasa, malam itu terasa begitu dingin. Lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Kakinya pun terasa begitu hampa. Menapak jalanan tanpa arah dan tujuan. Ah, apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia berikan pada Ain untuk sarapan esok nanti? Apa yang harus ia katakan pada bocah kecil yang selalu menyambutnya pulang?
Ia tak memiliki sepeser pun uang. Bahkan tabungannya pun telah menipis, hanya bisa digunakan untuk bertahan hidup selama beberapa hari.
“Pria itu membeli minimarket ini. Aku tidak mempunyai kewenangan untuk membantah jika dia sudah memerintahkanku untuk memecatmu. Maafkan aku, Shasha.”
Menipiskan bibir, kata-kata Pak Chen benar-benar membuatnya kacau. Ia tahu semua ini adalah perbuatan Fabian Lin. Dengan kata lain, arena yang telah pria itu siapkan untuk ajang pertarungan. Ia tahu semua ini hanya untuk balas dendam karena sebuah pukulan yang ia berikan.
Mengepalkan tangan, Shasha merasakan sebuah amarah dan kekesalan yang membuncah di hatinya. Bagaimana bisa pria itu bertingkah seenak jidatnya?! Tidakkah ia memikirkan berapa orang yang terkena dampak atas kesombongannya?! Bahkan kini Pak Chen pun hampir terseret.
Mengeraskan rahang, tidak ada gunanya jika ia menangis. Mengembuskan napas, Shasha pun membulatkan tekadnya. Jika yang pria itu inginkan adalah pertarungan, maka ia akan melayaninya dengan senang hati. Ia tidak memiliki apa pun, tapi setidaknya ia memiliki harga diri yang siap menghancurkan setiap langkah Fabian. Ia akan bertahan. Walau pria itu menghempas kehidupannya, ia akan bertahan.
Melanjutkan langkah, rumah mungilnya tercinta kini tepat di depan mata. Namun, saat ia mengingat kejadian di hari sebelumnya, entah mengapa tangannya kini terhenti untuk membuka pintu.
Menipiskan bibir, ia tidak menyangka bahwa dampak yang ditimbulkan karena Fabian Lin benar-benar membuatnya terguncang. Walau terlihat tenang pun, Shasha tak bisa memungkiri bahwa kini ia benar-benar khawatir. Karena orang yang menjadi musuhnya, adalah Fabian Lin. Pria yang bahkan bisa memusnahkannya dengan sekali jentikan jari. Butuh keberanian besar untuk tetap menatap pria itu dengan tatapan tajam.
Membuka pintu, Shasha berharap wajah sialan Fabian Lin tidak lagi ia temukan di ruang tamu. Cukup sekali, ia tidak tahan dengan kelakuan seenak jidat pria itu.
“Ain, Kakak pulang,”ujarnya sembari melangkah masuk.
“Kakak!”
Beruntung, yang menyambutnya kali ini adalah suara imut sang adik. Dalam hati, ia bernapas lega karena tidak ada lagi Fabian Lin yang duduk santai di rumahnya untuk menagih hutang sang ayah.
“Ah, kau sudah pulang. Kebetulan aku sedang memasak untuk makan malam,” suara familiar pun menimpali.
Menoleh, Shasha melihat sahabatnya yang menengok dari pintu dapur dengen celemek yang masih menggantung di pinggangnya.
“Shannon!” ucapnya, kaget. “Kenapa ada di sini? Di mana supirmu??”
Gadis itu langsung menyeringai puas. “Aku kabur dari rumah.”
“Ah, kabur dari ru—”
Saat tersadar, Shasha langsung melebarkan mata. “Kabur dari rumah?!”
Sahabatnya hanya mengangguk tanpa dosa. Sementara dirinya kini harus mengakui bahwa akhir-akhir ini, kesialan memang mengacaukan hidupnya. Masalah dengan Fabian Lin bahkan belum beres, kini Shannon kembali membuatnya kacau.
Ah, layaknya ... ia akan kembali mandapat masalah yang tak terselesaikan.