Chapter 3

2606 Words
Shannon Yang adalah salah satu orang yang mempunyai kebebasan untuk tetap berada di dekat Shasha selain Alvin Xu. Gadis itu memang belum lama mengenal Shasha, tapi ia telah banyak membantu kehidupan Shasha maupun Ainar. Terutama dari segi materi. Mempunyai latar belakang sebagai anak konglomerat dengan dompet tebal tidak membuat sang gadis menjadi tinggi hati. Hingga Shasha pun heran mengapa sahabatnya memilih untuk menghabiskan waktu dengan kalangan menengah ke bawah dari pada sesama konglomerat. Tak jarang gadis itu ikut mampir untuk membeli jajanan di pinggir jalan bersama Shasha. Kadang, Shannon pun menginap di rumah Shasha untuk menemani Ain. Padahal, rumahnya sendiri pun lebih dari cukup untuk menampung mahasiswa universitas mereka. Dibandingkan dengan Shasha, Shannon terlihat lebih anggun dan juga cantik. Namun, ada sedikit kesan kekanak-kanakkan di balik tingkahnya. Gadis itu bahkan tidak menyadari tingkat pesona yang ia miliki. Banyak kakak tingkat yang diam-diam mendekati Shannon. Namun, sang gadis lebih memilih berpura-pura tidak tahu. Kembali, kini Shannon menatap sang tuan rumah dengan wajah penuh rasa bersalah. Setelah mendengar alasan mengapa ia kabur dari rumah, Shasha langsung mengomel tiada henti. Beruntung, Ainar sudah tertidur, bocah itu tidak perlu mendengar umpatan kasar kakaknya. Tentu, Shannon pun sadar itu adalah kesalahannya, tapi ia tidak mempunyai pilihan lain selain mengadu pada Shasha. Hanya pada Shasha ia bisa menceritakan segala hal tanpa sedikit pun kecanggungan. “Aku bisa jelaskan,” ungkap Shannon. “Aku tidak mau di—” “Dijodohkan?” potong Shasha. Menebak sandiwara konyol Shannon setiap sang ayah berencana mencarikan pendamping hidup untuk putrinya. Shasha yang lelah dengan alasan konyol Shannon hanya bisa menghela napas dan memijat pangkal hidungnya. Tentu, yang ada di kepalanya sekarang hanya ada satu kata. Frustrasi. “Shannon,” tekan Shasha. “Kau baru saja menggali kuburan untukku.” Seketika, Shannon menipiskan bibir. “Shasha, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ... hanya....” Walau bibirnya ingin bersuara, tapi hatinya menolak. Shannon tahu benar alasan mengapa ia menolak setiap perjodohan. Karena kini, hatinya telah mengukir satu nama pria yang mencuri hatinya. Alvin Xu. Walau begitu, ia sadar diri bahwa pria yang ia cintai malah mencintai sahabatnya sendiri. Miris, tapi apa yang bisa ia lakukan selain meratap? Ia juga tahu bahwa Shasha pun menaruh rasa yang sama pada Alvin. Walau keduanya tidak pernah mengucap dalam bentuk kata, tapi tetap saja semua terlihat dari sorot mata mereka. Perih, tapi ia tidak ingin berperan sebagai tokoh jahat yang hanya ingin menebar garam pada temannya sendiri. Dibanding dirinya, Shasha lebih membutuhkan Alvin. Tentu, Shannon mengerti bahwa selain masalah materi, Shasha pun merana secara batin. Tidak ada keluarga yang mendukungnya, bahkan teman sebaya mereka pun menjauhinya. Shannon bahkan takut jika Shasha terguncang lebih dari ini, gadis itu mungkin akan langsung hancur. “Tolong, ini sudah ke tiga kalinya kau kabur dari rumah,” ujar Shasha. “Saat terakhir kali kau dijemput ayahmu, apa kau tahu bagaimana reaksinya saat menatapku? Tatapan ayahmu seolah ingin mencekikku sampai mati.” Shannon tersenyum kecut. “Wajahnya memang garang, tapi dia tidak seburuk itu.” “Benarkah? Lalu bagaimana ceritanya kau bisa kabur dari rumah jika ayahmu 'tidak seburuk itu'?” ucap Shasha, jengkel. “Jika beberapa hari lagi aku ditemukan mengambang di Sungai Yangtze, itu salahmu Shannon.” Seketika, manik indah Shannon membulat. “Astaga, ayahku tidak akan melakukan hal sekejam itu hanya karena aku menginap di rumahmu.” Memijat pangkal hidung, kepalanya begitu panas. Seolah otaknya kini mendidih. “Ah, baiklah. Aku tidak peduli dengan semua ocehanmu. Cepat bereskan masalahmu dan jangan tarik aku di dalam alasan konyolmu.” Ia tahu ayah Shannon tidak terlalu menyukainya. Selain karena Shasha bukan orang berdompet tebal, ia juga bukan berasal dari kalangan elit. Shasha yakin ayah Shannon melihatnya sebagai kutu yang menempel pada putri semata wayangnya. Sebuah keberadaan yang membuat pengaruh buruk pada putrinya. Seseorang yang hanya memanfaatkan dompet tebal Shannon untuk memenuhi kebutuhannya. Walau begitu, ia tak bisa menyangkal semua itu. Faktanya, selain Alvin, hanya Shannon yang membantu keluarganya secara finansial. Ia tidak bisa menolak, karena ia harus memberi nafkah pada sang adik. Jika hanya dirinya, mungkin Shasha memilih untuk menahan rasa lapar dan haus daripada meminjam sejumlah uang pada kedua sahabatnya. Menghela napas, manik sayunya menatap sosok sang sahabat yang kini sedang sibuk bernegosiasi dengan sang ayah lewat pesan WeChat. Tersenyum tipis, entah mengapa ia merasa sedikit iri dengan Shannon. Jelas, walau ayah Shannon benar-benar keras, tapi Shasha yakin semua itu adalah bentuk kasih sayang sang ayah yang ditujukan untuk putrinya. Sebuah kasih sayang yang tidak akan pernah ia dapat dari ayahnya sendiri. “Ah, aku iri,” ujar Shasha sembari menatap Shannon. “Kau beruntung mempunyai ayah yang sangat menyayangimu.” Seketika, Shannon tersenyum pahit. Ia tahu betapa bejad ayah Shasha. Ia juga tahu segala macam cobaan yang dilimpahkan pada Shasha adalah ulah dari sang ayah. Dirinya yang selalu mendapat kasih sayang penuh dari orangtua, mungkin tidak akan pernah bisa membayangkan betapa perih penderitaan Shasha. Orang yang seharusnya menjadi cahaya dan harapan Shasha, malah menjadi sumber dari segala penderitaan. Sungguh, ia tidak bisa membayangkan betapa hancur perasaan sahabatnya. “Jika bukan karena kau dan Kak Alvin, mungkin aku tidak akan bisa melalui semua ini,” lanjut Shasha sembari tersenyum lemah. Sebelum Shannon bisa menanggapi kata-kata Shasha. Suara pintu rumah yang diketuk membuyarkan keduanya. Shasha pun langsung bangkit dan berjalan menuju pintu depan. Saat pintu itu terbuka, sosok familiar pun menyapa. “Kak Alvin?” Manik kelam pria itu menatap sedih pada Shasha, seolah tahu betapa pedih hati gadis di depannya sekarang. “Pak Chen memecatmu, bukan?” Ah, tentu Alvin tahu. Pria itu mengambil tempat kerja paruh waktu yang sama dengannya. Mungkin Pak Chen yang memberitahunya saat pergantian shift. “Begitulah,” jawabnya, canggung. Menipiskan bibir, Alvin merasakan sengatan di d**a. Ia tidak akan bertanya mengapa Shasha bisa sampai di pecat padahal gadis itu adalah orang yang mempunyai jiwa pekerja keras dibanding dengan pelerja lainnya. Pak Chen bahkan tak memberitahu alasan jelas mengapa Shasha bisa dipecat. Semua begitu janggal, tapi ia tidak mau bertindak gegabah. Hati Shasha mungkin lebih remuk darinya. Gadis itu pasti membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. “Apa kau punya cukup uang untuk hidup?” tanya Alvin. “Aku bisa meminjamkanmu—” “Tidak usah, Kak,” potong Shasha. “Aku masih punya uang untuk makan beberapa hari ke depan. Jangan khawatir,” Shasha tersenyum lemah. Tidak ada yang boleh terlibat masalahnya dengan Fabian Lin. Pria itu bisa melakukan apa saja padanya, tapi jika Alvin atau Shannon terseret, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. “Shasha?” Menoleh, gadis itu mendapati Shannon yang menatap heran padanya. “Kau tidak mengatakan padaku kalau kau baru saja dipecat,” ujar Shannon dengan raut kecewa. “Aku juga ingin membantumu!” Ah, betapa bahagia dirinya. Walau sang ayah—satu-satunya pilar yang seharusnya memberinya kekuatan, malah membuat neraka baginya, ia masih memiliki teman yang siap membantunya kapan saja. “Maaf. Aku tidak ingin Ain mendengar kabar buruk ini,” jelas Shasha. “Kebetulan, Shannon ada di sini,” timpal Alvin. “Bisakah kau menjaga Shasha dan Ain? Aku akan membantu Shasha mencari pekerjaan paruh waktu yang lain.” Melihat Alvin yang begitu peduli pada Shasha memang perih, tapi akan lebih perih lagi jika ia membiarkan Shasha menanggung semuanya sendirian. Untuk kesekian kalinya, Shannon mencoba untuk menahan perasaan yang kini menguar. Ia tahu, cinta memang tidak bisa dipaksakan. Jika sahabatnya yang mendapatkan cinta dari Alvin, maka itu sepenuhnya adalah kehendak takdir dan Tuhan. Ia tidak bisa mengubah hal semacam itu. “Tentu,” jawab Shannon dengan senyuman. “Aku ada di sini untuk hal itu.” “Shannon,” panggil Shasha, merasa tidak enak hati. “Anggap saja bayaran karena kau sudah memperbolehkanku menginap di sini.” “Ayahmu akan membunuhku,” ujar Shasha, khawatir. “Aih, itu tidak akan terjadi,” sangkal Shannon. Melihat kebaikan Shannon, Alvin menjadi sedikit lega. Setidaknya, ada orang lain yang mau berbagi menanggung beban Shasha. “Aku akan mengabarimu jika aku mendapatkan lowongan pekerjaan paruh waktu. Kau tidak usah khawatir dan nikmatilah waktumu untuk bersantai. Kau sudah berjuang keras selama ini.” Tersenyum haru, Shasha hanya bisa mengangguk. “Terima kasih.” Walau begitu, Alvin harus tetap mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa bahwa Shasha menyembunyikan sesuatu darinya. Pria itu melangkah pergi setelah memberi salam pada Shasha. Setibanya di perempatan gang, ia membuka ponselnya dan menelepon salah satu kontak di ponselnya. “Ada apa, Tuan Muda?” “Tolong cari tahu informasi tentang Shanaya Yin. Apa yang terjadi padanya selama beberapa hari ini dan siapa saja orang yang terlibat dengannya beberapa hari ini.” “Baik, Tuan Muda.” “Jika ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan padaku secepatnya.” *** Bekerja di perusahaan ternama memang sebuah kehormatan. Tentu, itu adalah mimpi dari banyak orang. Hanya saja, semua itu sama sekali tidak dirasakan oleh Kiel Shu. Walau perusahaan tempat ia bekerja adalah perusahaan ternama, tapi bekerja di bawah seorang pemimpin yang kurang waras benar-benar memberikan kerugian mental untuknya. “Setelah makan siang, jadwal Anda adalah bertemu dengan klien dari Jerman. Saya sudah menyiapkan mate—” “Bagaimana dengan Shanaya Yin?” potong Fabian dengan raut bosan. Tidak mengindahkan ocehan Kiel yang sangat berarti untuk masa depan perusahaan. Berdeham pelan, Kiel mencoba untuk menahan emosi. “Masih belum ada pergerakan.” Fabian mungkin tidak tahu, tapi Kiel sudah menghitung berapa kali pria itu menanyakan tentang Shanaya Yin semenjak pagi hari. Empat puluh tujuh kali. Kiel bersumpah itu bukanlah jumlah yang wajar untuk menanyakan kabar seseorang dalam sehari. “Cih, lama,” gerutu Fabian. “Seharusnya aku menyeretnya ke altar sembari menodongkan pistol ke kepalanya.” Tersenyum kecut, Kiel berdoa sang tuan muda tidak melakukan hal segila itu. Jika semua itu menjadi nyata, mungkin Kiel yang terlebih dahulu mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri. Menyerah menangani tingkah Fabian Lin. “Ngomong-ngomong soal orang yang aku pesan untuk mengawasi Shanaya Yin, apa kau sudah menemukannya?” Beruntung, sang pemimpin tidak lagi mengoceh tentang hal gila yang akan ia lakukan pada Shanaya Yin. Mengambil sebuah dokumen, Kiel pun memberikan beberapa lembar kertas yang berisi informasi tentang calon pegawai baru mereka kepada Fabian. “Nathan Feng, dia sudah lama berpengalaman menjadi bodyguard elit. Menguasai beberapa bahasa dan aliran bela diri. Untuk informasi tambahan, saya bisa menjamin bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya karena saya mengenalnya sejak kecil,” jelas Kiel. Respon Fabian hanya sebuah anggukan pelan. Pria itu mengamati foto yang terpampang dalam dokumen dengan teliti. Entah mengapa walau ia puas dengan latar belakang Nathan Feng, ada sedikit hal yang menganggu pikirannya. Seketika, ia meletakkan dokumen itu di meja dan menunjuk foto Nathan Feng. “Ada satu hal yang tidak aku sukai dari pria ini,” ujar Fabian dengan raut serius. Mengernyit, Kiel menatap penuh tanya. Berdoa sang bos tidak mempersulit keadaannya. “Dia terlalu berkarisma untuk ukuran seorang mata-mata. Dia terlalu mencolok,” ujar Fabian. “Pastikan dia menggunduli rambutnya sebelum menemuiku.” Alasan Fabian yang sebenarnya adalah ia tidak ingin Shanaya terpesona sengan wajah Nathan Feng. Ia akui, pria itu terlalu memesona untuk ukuran seorang bodyguard. Ia tidak akan membiarkan pria lain yang mempunyai potensi meluluhkan hati pujaan hatinya berkeliaran begitu saja! Ia akan memastikan wajah Nathan Feng akan turun pangkat seketika. Dengan begitu, Shanaya tidak akan mungkin jatuh hati pada sosok Nathan Feng jika kebetulan keduanya bertemu di masa depan. “Anu ... bukankah akan lebih mencolok jika digunduli?” “Kiel,” tekan Fabian. “Aku tidak membayarmu untuk mempertanyakan perintahku.” Walau Kiel merasa kasihan pada temannya, ia tidak akan bisa melemparkan argumen untuk berdebat dengan Fabian. Menghela napas, sang asisten hanya bisa meratapi betapa tidak beruntungnya orang-orang yang bekerja di bawah Fabian Lin. Tentu, ia adalah salah satunya. “Baiklah. Aku akan mengabari Nathan Feng secepatnya.” *** Satu hari yang sulit ia lewati. Walau berkali-kali ia harus menderita darah tinggi saat menghadapi sang tuan muda, tapi tetap saja Kiel tak sanggup jika meninggalkan pekerjaannya. Ia takut jika Fabian Lin menjadi semakin gila. Jujur, selama ini hanya dia yang bisa tahan lama di samping Fabian. Asisten sebelumnya selalu resign setelah beberapa hari bekerja dengan Fabian. Tidak, ia tidak melebih-lebihkan, faktanya Fabian Lin memang benar-benar memberikan kerugian mental yang begitu dahsyat. Melangkah lesu, pria itu menekan password untuk membuka pintu apartemen-nya. Saat kakinya melangkah masuk, saat itu juga ia mendengar suara yang menyapanya. Sayangnya, Kiel hanya ingat bahwa dirinya tinggal sendirian. “Kiel Shu....” Tersentak, Kiel yang kaget pun langsung panik. “Gyaaa!! Setan!!” Berusaha untuk lari, tapi sayang kakinya tersandung meja dan tubuh kokoh itu langsung jatuh tersungkur. Saat dahinya beradu dengan lantai, saat itu juga suara rintihan terdengar. “Akh! Sialan!” umpatnya sembari berusaha untuk berdiri. Kepalanya terasa semakin pusing. Sebelum ia bangkit sepenuhnya, telinganya terlebih dahulu ditarik hingga pria itu merasakan ngilu yang membuatnya kembali merintih kesakitan. “Aduh, akh! Sakit, g****k! Apa-apaan ini?! Siapa orang yang berani—” Saat ia menoleh, saat itu pula raut Kiel menjadi semakin pucat. Sosok familiar yang begitu mengerikan ada di depan mata. Entah mengapa, tiba-tiba Kiel merasa bahwa nyawanya berkurang separuh. “Tu-Tuan besar,” cicit Kiel seraya menatap memelas. “Ke-kenapa ada di sini??” “Kiel Shu,” tekan sang pria berambut putih. “Berani-beraninya kau melemparkan umpatan padaku, kau mau aku lempar dari balkon?” Mampus. Batin Kiel tak henti mengutuk kebodohannya sendiri. Perlahan, pria tua itu melepas telinga Kiel yang kini terasa ngilu. “Ma-maafkan saya, Tuan Besar! Saya tidak tahu kalau itu Anda!” ungkap Kiel, seraya memohon ampunan. Charles Lin—satu-satunya orang yang bisa menandingi Fabian. Pria berambut putih itu adalah kakek Fabian Lin, sekaligus pemimpin Hexagon Group yang pertama. Walau pria itu kini berumur lebih dari tujuh dekade, semangatnya masih berkobar layaknya generasi muda. Sifatnya memang keras. Namun di balik semua kata-katanya yang menusuk, sosok Charles Lin dikenal sebagai pria yang penyayang. Kembali pada Charles dan Kiel. Pria tua itu kini melangkah pelan menuju sofa. Ditatapnya sosok Kiel yang kini masih mengucap maaf. Menghela napas, sungguh ia terganggu dengan umpatan Kiel. Walau begitu, ia pun maklum karena semua itu salahnya. Faktanya, ia memasuki kediaman Kiel tanpa pemberitahuan dan izin. “Baik, duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujarnya, santai. “Te-terima kasih, Tuan Besar!” ucap Kiel, ia pun segera mengambil tempat tepat di depan sang tuan besar. “Apa yang bisa saya bantu, Tuan Besar?” Sang pria tua menghela napas sebelum mengutarakan niatnya. “Aku ingin mencari tahu gadis macam apa yang sudah membuat cucuku menjadi lebih gila.” Ya, ia akui Fabian memang gila. Namun, setelah ia mendengar bahwa cucunya kini sedang mengejar seorang gadis, cucu kesayangannya malah menjadi lebih gila. Bahkan Hexagon pun menjadi nomor dua. Padahal, seumur-umur Fabian menjabat sebagai pemimpin, pria itu benar-benar menganggap Hexagon seperti anak sendiri yang begitu dimanja. Dengan perubahan yang begitu bertolak belakang, bagaimana bisa ia diam dan hanya menatap saja? Baik Hexagon atau pun Fabian, bisa hancur kapan saja hanya karena seorang gadis! Tentu, Charles Lin tidak akan membiarkan semua itu terjadi. “Kirimkan file tentang gadis itu ke e-mailku,” ucap Charles Lin, seolah menahan amarah. Melihat tatapan mata sang Tuan Besar yang begitu tajam bukanlah pertanda baik. Walau begitu, Kiel pun tidak bisa melindungi Fabian maupun Shanaya jika sang tuan besar berencana melakukan sesuatu pada mereka. Tentu sang asisten cemas, tapi ia tidak mempunyai pilihan lain selain menuruti kata-kata sang tuan besar. Beberapa saat kemudian, e-mail masuk pun diterima. Sebuah dokumen dan beberapa gambar terlampir di e-mail tersebut. Sang pria berambut putih menatap sekilas foto Shanaya Yin sebelum bangkit dan beranjak. Sementara Kiel yang masih khawatir, langsung mengutarakan pertanyaannya. “Tu-Tuan Besar, apa yang akan Anda lakukan??” Tersenyum penuh makna, Charles Lin melirik Kiel sebelum melontarkan kata-kata. “Mengeksekusi Shanaya Yin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD