prolog

1045 Words
Suara ayam dan burung tidak mampu membangunkan seorang gadis yang masih bergelung di bawah selimut abunya padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi kurang beberapa menit. Tiba-tiba pintu diketuk bersamaan menggeliat nya tubuh kecil itu. Dengan keadaan setengah sadar ia bangkit menuju pintu kamarnya yang sedari tadi terus-menerus diketuk. "Udah pagi sayang," seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu kamar dengan posisi berkacak pinggang. "Tapi Jeni masih ngantuk mami," rengek nya seperti anak kecil. "Anak gadis ga boleh bangun siang." "Sekarang kamu mandi, terus turun ke bawah kita sarapan sama-sama," Mami Rina mendorong Jeni memasuki kamar mandi. Sebelum keluar dari kamar putrinya Rina menggelengkan kepalanya saat melihat betapa berantakan nya kamar anak gadisnya itu. Di dalam kamar mandi Jeni menggerutu tak jelas sambil menyabuni tubuhnya. Dibangunkan secara paksa benar-benar tidak enak. Sekarang Jeni merasakan pening di kepalanya. "Kenapa coba harus ada mandi? Kenapa ga habis bangun tidur langsung makan aja ga usah pakai mandi? Mana dingin banget lagi ini," Jeni mencak-mencak sendiri di bawah guyuran shower. Setelah selesai mandi Jeni membuka lemarinya dan meraih dress rumahan berwarna biru dengan tali di pinggang. Tidak lupa Jeni juga memoleskan bedak di wajahnya dan memakai lib balm di bibirnya. Saat menuruni tangga dahinya mengerut saat mendengar suara gaduh di meja makan. Saat melihat siapa yang sedang berbicara bersama mami nya Jeni langsung berlari menuju pria paruh baya yang sudah memakai pakaian rapi itu. "Papi," Jeni menubruk tubuh Liam. Liam yang sempat terkejut setelah nya tersenyum sambil membalas pelukan anak gadis nya. "Kangen ga sama papi?" Tanya Liam sambil mengecup pipi kanan Jeni. "Ih masih nanya, ya kangen dong," balas jeni. "Papi kapan pulangnya? Kenapa Jeni ga tau?" Jeni cemberut. "Tadi malam. Pulangnya sama kakak kamu," jawab Liam dengan dagu menunjuk seorang lelaki yang duduk di sebrang mereka. Jeni menatap seorang lelaki yang asik dengan sarapan nya. Matanya menatap tajam lelaki itu yang dibalas sama. Jeni mengalihkan pandangannya dengan dengusan pelan. Tanpa ingin menanyakan kabar lelaki yang berstatus kakak nya itu Jeni kembali mengajak Liam berbincang. "Papi," Jeni menarik ujung lengan kemeja yang dipakai Liam. "Hmmm?" Liam berdehem sambil tersenyum menatap Rina karena tahu gelagat anaknya. "Jeni boleh ga keluar malam ini?" Jeni memeluk lengan Liam. "Kemana?" "Mau ngumpul sama temen-temen. Udah dua bulan setelah lulus kita ga pernah ngumpul bareng." "Boleh." "Yes," sorak Jeni bahagia. "Tapi, harus ditemenin kakak," Liam memberikan penekanan pada kata kakak. Jeni terdiam, "loh, aku udah gede Pi ga perlu harus dijaga." "Mau atau engga?" Jeni cemberut mendengar perkataan papinya yang tidak bisa diganggu gugat "iya iya." Liam tersenyum puas dengan pandangan menatap anak lelakinya yang sama sekali tidak tertarik dengan percakapannya bersama Jeni. Setelah selesai sarapan Jeni kembali ke kamarnya langsung merebahkan diri di kasur empuk miliknya sambil menatap langit-langit kamar. "Enaknya jadi pengangguran," ucap Jeni sambil memeluk guling dengan wajah bahagia. Setelah dua bulan kelulusan SMA, Jeni memilih tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal mami dan papinya sudah berulang kali membujuk dirinya agar mau kuliah tapi Jeni tetap pada pendiriannya. Gadis bermata sipit itu banyak sekali meraih penghargaan di sekolahnya oleh karena itu Rina dan Liam sangat menyayangkan Jeni tidak melanjutkan pendidikannya. Saat asik melamun tiba-tiba pintu kamarnya terbuka membuat Jeni terperanjat mendapati seorang lelaki berdiri menjulang tinggi di depan pintu. Mata tajam lelaki itu menyorot dirinya membuat Jeni tak nyaman. "Pemalas," kata itu meluncur saja dari bibir Reza saat melihat betapa berantakan nya kamar Jeni. Mata Jeni melotot mendengar nya. Gadis itu berdiri menghampiri Reza dengan dagu diangkat merasa tidak terima dikatai pemalas oleh kakaknya. "Ga sopan masuk kamar orang ga ketuk pintu dulu," marah Jeni. Reza menunduk memandangi adiknya yang jauh lebih pendek dari dirinya tanpa ekspresi. Dengan santainya Reza berjalan menuju meja belajar dan mengambil laptop Jeni lalu nyelonong keluar dari kamar. Jeni menganga melihat kelakuan semena-mena Reza"ih nyebelin," Jeni menghentakkan kakinya kesal. Jeni menatap kamarnya dengan tajam. Dengan penuh tekad Jeni mengambil pakaian kotor yang ia tumpuk di sofa lalu memasukkan nya ke keranjang pakaian kotor, memasukkan kemasan cemilan di atas nakas yang juga ia tumpuk ke dalam tempat sampah di kamarnya. Tidak lupa Jeni menata rapi make up miliknya yang berhamburan di meja rias. Terakhir Jeni mengepel lantai di kamarnya. "Hah," Jeni melempar tubuhnya ke sofa dengan napas ngos-ngosan. Meraih remot AC dan menghidupkan nya. "Cape juga," ia menyeka peluh yang ada di pelipisnya. Ponselnya yang ada di atas ranjang menyala. Jeni berjalan mengambil ponselnya dan merebahkan tubuhnya di kasur . "Halo Win." Jeni menempelkan ponsel ke telinganya. "Jen, nanti malam bawa laptop ya gua mau minta foto kita waktu di pantai kemarin." Ucapan Wina sukses membuat Jeni membeku. Jeni melempar ponselnya ke sembarang arah lalu berlari dengan cepat ke luar kamar dan langsung masuk ke kamar yang ada di depan kamarnya tanpa permisi. Jeni mengambil paksa laptopnya yang sedang digunakan oleh Reza. Alis tebal lelaki itu menungkik menatap Jeni bingung. Jeni menggaruk kepalanya sambil tersenyum canggung, "aku lagi butuh laptop buat anu. Aku bawa," Jeni langsung masuk ke kamarnya dengan tangan membawa laptopnya yang masih menyala. Reza menatap punggung Jeni datar. Lelaki itu melepas kacamata yang ia pakai lalu berjalan ke balkon kamarnya. Reza menikmati angin sore dengan rokok yang ia apit di antara telunjuk dan jari tengah nya. Waktu begitu cepat berlalu. Kemarin malam terakhir ia menghirup udara di Amerika setelah empat tahun lebih menetap di sana mengurus cabang perusahaan milik papinya. Dan sekarang ia kembali ke Indonesia. Entah bagaimana perasaan lelaki itu sekarang. Ada rasa senang yang Reza rasakan saat dapat kembali tinggal bersama keluarganya setelah sekian lama hidup seorang diri di negara orang. Matanya menajam saat melihat Jeni sedang berjalan mengendap-endap menuju pagar rumah. Dengan cepat Reza bangkit menghampiri Jeni yang dari gelagatnya seperti orang hendak kabur. Memilih mengikuti Jeni dari pada menahannya Reza berjalan dengan santai di belakang mengikuti gadis itu yang sudah Reza ketahui tujuan nya kemana. Jeni berjalan menuju sebuah gerobak pedagang kaki lima yang ada di pinggir jalan. Senyum manis terlihat jelas tersungging di bibir tipisnya saat melihat seblak kesukaannya. Reza berhenti tidak jauh dari pedagang seblak dengan mata tidak lepas dari gerak-gerik Jeni. "Nakal," Reza berucap saat melihat Jeni memakan seblak. Rina dan Liam sangat melarang Jeni memakan seblak. Selain karena mie tidak baik bagi tubuh, juga gadis itu memiliki penyakit maag yang akan kambuh jika memakan makanan yang pedas-pedas. Untuk kali ini Reza tidak akan menghalanginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD