My cold husband 1

1125 Words
Jeni duduk di meja rias dengan tangan yang sibuk memoles makeup di wajahnya. Dapat dikatakan gadis itu cukup lihai di bidang make up. Sewaktu SMA tidak jarang ia pergi ke sekolah menggunakan make up tapi, untung saja ia tidak pernah tertangkap ibu Dewi guru BK. Malam ini ia akan pergi nongkrong bersama teman-temannya. Menggunakan celana jeans robek pada lututnya dan kaos crop, Jeni terlihat seperti anak muda pada umumnya. Rambut gadis itu ia kuncir kuda dengan anak rambut yang ia biarkan terjuntai. "Selesai," Jeni meletakkan lipstik ke tempatnya. Ia meraih tas selempang nya lalu pergi ke kamar Reza. Sedari sore tadi ia tidak melihat batang hidung lelaki itu. Jeni mengetuk pintu kamar Reza beberapa kali tapi tidak mendapatkan sahutan. Saat Jeni mendorong pintunya ternyata tidak dikunci. Di sana tepatnya di sebuah ranjang seorang lelaki sedang tidur tengkurap tanpa menggunakan baju. Jeni memandang nya sebal. Gadis itu berjalan mendekati ranjang dan menepuk-nepuk pundak polos Reza tapi tidak mendapatkan respon sama sekali dari lelaki itu. Jeni melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan lalu mencubit pinggang Reza dengan keras. "Sshhh," Reza bangun dari tidurnya sambil meringis merasakan pedih di pinggang nya. Kalau bukan karena kunci mobil ada di lelaki itu Jeni sangat malas membangunkannya. Mata sipitnya bertubrukan dengan mata sayu Reza. Keduanya sama-sama terdiam. Reza yang masih mengumpulkan nyawa dan kesadarannya sedangkan Jeni terpaku dengan mata sayu lelaki itu yang sangat jarang ia lihat, ah lebih tepatnya tidak pernah melihatnya. Mata Jeni berkedip polos saat Reza mendekatkan wajahnya sambil menatapnya intens. Gadis itu mundur beberapa langkah dengan pandangan yang ia larikan kemana-mana. "Sepuluh menit." Jeni berjengkit saat Reza menutup pintu kamar mandi dengan keras. Gadis itu mengelus dadanya pelan. Mengedarkan pandangannya menatap sekeliling kamar kakaknya setelah sekian lama dikunci. Sewaktu Reza di Amerika, lelaki itu meminta kepada Rina dan Liam agar kamarnya tetap dikunci sampai ia kembali ke Indonesia. Jeni menatap aneh pigura di atas nakas dengan posisi terbalik. Gadis itu meraihnya dan terlihatlah di sana gambar seorang wanita dengan postur tubuh yang tinggi dengan wajah bulenya nya yang sangat kontras terlihat. Saat asik menatap gambar perempuan cantik itu tiba-tiba Reza datang dan langsung merampas pigura di tangan Jeni lalu melemparkannya ke tempat sampah. Sungguh, Jeni sangat terkejut. "Loh," Jeni menutup mulutnya prihatin dengan pigura yang kacanya sudah pecah. Reza berjalan mendahului Jeni keluar dari kamar sedangkan Jeni masih terdiam bengong. Lelaki itu berhenti di ambang pintu sambil menatap Jeni jengah. Dengan malas Reza menghampiri gadis itu dan menarik nya di tangan. Jeni hanya bisa pasrah. Dalam perjalan hanya ada keheningan kedua orang itu bungkam. Jeni menatap pemandangan malam di luar kaca mobil lalu teringat akan gambar seorang perempuan tadi. Ia jadi penasaran siapa perempuan itu. Beberapa kali ia menoleh menatap Reza yang fokus menyetir. "Emm, aku boleh nanya?" Reza hanya menatap Jeni sekilas lalu kembali fokus pada jalanan. "Perempuan di gambar tadi itu siapa?" Jeni mendapatkan respon yang tak terduga. Mendadak Reza menghentikan mobil di pinggir trotoar dengan mata memandang Jeni tajam. "Diam atau turun?" Jeni terdiam mendengar suara Reza yang terdengar dingin. "Iya." Matanya menatap jalanan yang ramai kendaraan tetapi, otaknya sedang berpikir keras menduga-duga siapakah perempuan di gambar tadi. Sekitar dua puluh menit kemudian mobil hitam yang dinaiki Jeni dan Reza tiba di sebuah cafe. Reza menatap sekeliling cafe lalu menatap Jeni . Cafe yang mereka datangi saat ini sama seperti cafe pada umumnya tetapi saat melihat para pengunjung wanita yang rata-rata berpakaian minim membuat Reza berpikir negatif. Lelaki itu berjalan di belakang Jeni. Reza menatap tak suka segerombolan orang yang mereka hampiri. "Jeni," seorang gadis dengan rambut ber-cat biru memekik saat melihat kedatangan Jeni. "Ada bawa laptop ga?" Gadis dengan pakaian minim itu Wina. "Jangan bilang lupa bawa?" Lelaki yang sedang merokok itu bertanya. "Bawa dong," Jeni duduk di kursi kosong sambil mengeluarkan laptop di Tote bag yang ia bawa. "Siapa?" Lelaki yang bernama Raffi itu bertanya sambil menunjuk Reza yang masih berdiri menatap mereka. "Abang gua." Jeni dan teman-temannya asik berbincang tanpa memperdulikan Reza yang masih dalam posisi berdiri. Lelaki itu melangkah duduk pada kursi kosong tidak jauh dari Jeni dan teman-temannya. Dari sana dapat terlihat Jeni dan teman-temannya sangat akrab. "Eh, gua bawa sesuatu." Semuanya menoleh menatap Raffi bertanya. "Liat," Raffi memperlihatkan isi tasnya yang terdapat dua botol alkohol. "Gila," Rey menatap Raffi sambil menggelengkan kepalanya tidak menyangka. "Asik" Wina dan Ajeng bersorak gembira. Beda dengan temannya, Jeni malah takut. Gadis itu menatap Reza yang mengawasinya dari jauh. Jika Reza tahu ia sering meminum alkohol pasti itu akan sampai ke telinga Rina dan Liam. "Lo ga senang?" Tanya Raffi. Jeni melirik Reza menggunakan ekor matanya memberi isyarat kepada teman-temannya. Wina dan Ajeng mengangguk mengerti. Saat Jeni menoleh ke kiri ia tidak menemukan Reza di kursinya. Gadis itu menatap sekeliling cafe tapi tetap tidak menemukan lelaki itu. Dirasa sudah aman Jeni memberitahu temannya "buka sekarang mumpung Abang gua ga ada." Dengan cepat Raffi dan Rey menuang alkohol tersebut ke dalam cangkir. Mereka melakukan tos sebelum meminum nya. "Ah," minuman haram itu telah lolos di tenggorokan Jeni. Ada sekitar tiga cangkir alkohol yang Jeni minum. Di sana terlihat Ajeng sudah teler setelah meminum tiga cangkir alkohol. Jeni dan Wina masih punya kesadaran walau sedikit demi sedikit kesadaran itu mulai menghilang. Sedangkan Rey dan Raffi masih terlihat segar setelah meneguk lima cangkir lebih alkohol. "Emm" Jeni meneguk nya dalam satu tegukan. Sedetik kemudian kepala gadis itu terjatuh di sandaran kursi. Rey yang melihat Jeni sudah tepar mendekati gadis itu dan meraih tisu. Reza yang baru saja selesai mengangkat telepon dari rekan bisnisnya terkejut melihat Jeni yang tidak sadarkan diri apalagi melihat Rey yang mengusap peluh gadis itu menggunakan tisu. Dengan langkah lebar yang ia berjalan menghampiri Jeni dan teman-temannya. "Minggir," Reza menepis tangan Rey yang masih berada di wajah Jeni. Dengan sekali gerakan Reza menggendong Jeni dan membawanya ke mobil. Di dalam mobil Reza menatap Jeni dengan pandangan tak bisa diartikan. "Gadis ku sudah besar," ucapnya pelan sambil menyeka peluh di pelipis Jeni. Reza segera membawa Jeni pulang ke rumah. Saat tiba di rumah, lelaki itu berusaha menggendong Jeni dan memastikan keadaan aman. Jika Liam dan Rina tahu Jeni mabuk pasti orang tua mereka akan marah besar. Jeni direbahkan di kasurnya. Dengan taletan Reza melepas sepatu gadis itu setelah nya pergi ke kamarnya. Keesokan paginya Jeni terbangun dengan kepalanya yang sangat sakit. Bersandar di kepala ranjang Jeni masih belum mengingat apa-apa. Ketika melihat sepatu nya yang ada di dekat sofa gadis itu terdiam. Ketika sadar bahwa tadi malam ia mabuk Jeni menutup wajahnya menggunakan bantal. "Jangan-jangan gua nyerocos ga jelas tadi malam?" Mengingat kebiasaan buruknya saat mabuk membuat Jeni kalang kabut sendiri. Pikiran-pikiran negatif tiba-tiba muncul di kepalanya "gimana kalo dia ngadu ke mami sama papi?" "Gua harus samperin tuh orang." Jeni keluar kamar dan mengetuk pintu kamar di seberang kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD