PART 6

1703 Words
Farida terduduk lemas dibibir ranjang sembari memandangi foto pernikahannya dengan Azzam. Air matanya tak berhenti mengalir. Ia meratapi nasibnya hidupnya dan pernikahannya. Hari ini, suaminya mengucapkan janji suci atas perempuan lain. Kini, dirinya bukanlah satu-satunya untuk Azzam. Farida bukan satu-satunya ratu yang berada di istana cinta Azzam. Lima tahun lalu, Farida begitu bahagia saat Azzam dengan lantangnya mengucapkan janji suci atas dirinya. Farida merasa bahwa dirinya perempuan yang paling berbahagia karena bisa menikah dengan Azzam. Farida yakin, perempuan yang saat ini dinikahi oleh Azzam juga merasakan hal yang pernah Farida rasakan dulu. "Aku yakin saat ini kamu juga seganteng dan segagah ini, Mas," ucapnya sendu dengan mengusap foto Azzam yang mengenakan jas pernikahan. "Gadis itu pasti juga sangat cantik," lanjutnya dengan mengusap air matanya yang mengalir deras. ### Tidak ada pesta pernikahan yang mewah. Sesuai dengan permintaan Zee, pernikahan dilakukan secara sederhana dengan mengundang kerabat, tetangga, dan teman dekat saja. Tidak ada acara resepsi besar. Padahal kedua orangtua Zee menginginkan adanya pesta. Mengingat Zee adalah anak perempuan satu-satunya. Selepas dhuhur, Zee dan Azzam beristirahat didalam kamar Zee. Zee merasa jantungnya berdebar keras, karena ini adalah pertama kalinya Zee berada dalam ruangan tertutup bersama seorang laki-laki. Meskipun Azzam adalah suaminya sendiri, tapi Zee belum terbiasa dengan kehadirannya. Sejak lamaran sampai menikah, mereka hanya bertemu satu kali saat lamaran dulu. Meskipun Azzam sering mengiriminya pesan untuk bertanya perihal pernikahan, hal itu tak membuat kecanggungan antara mereka hilang. Zee melihat bayangan suaminya yang terpantul pada cermin. Azzam laki-laki yang nyaris sempurna dalam penampilannya. Tapi mengingat Azzam yang jarang sekali tersenyum sepanjang acara tadi, membuat Zee merasa bahwa ada sesuatu yang Azzam tutupi. Sikap diam dan tak banyak bicara yang Azzam tunjukkan, membuat Zee merasa bahwa ada benteng besar yang sengaja Azzam bangun diantara dirinya dan juga Azzam. Azzam masih fokus pada ponselnya. Hati Azzam merasa tidak tenang sama sekali. Pasalnya, sejak kemarin ponsel Farida tidak dapat dihubungi. Terakhir Farida menghubunginya hanya untuk mengatakan kalau Farida menyayanginya dan berdoa agar acaranya hari ini berjalan lancar. "Kalau Mas Azzam mau istirahat, silahkan. Saya mau ke bawah dulu," ucapan lembut Zee membuyarkan lamunan Azzam. Azzam mendongak menatap Zee yang kini sudah menghapus riasannya dan berganti pakaian. Entah kapan Zee melakukannya, Azzam tak peduli. "Iya," Azzam mengangguk dan tersenyum tipis. Terlihat begitu dipaksakan. "Mas mau minum," Zee menawari. "Nanti saja," jawab Azzam pendek. Lalu berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Zee menghela napas pendek. Entah kenapa hatinya terasa berdenyut nyeri melihat sikap Azzam yang seolah acuh kepadanya. Mengenyahkan perasaannya yang tak menentu, Zee berjalan keluar dan bergabung dengan keluarganya yang masih berkumpul dirumahnya. *** Farida terbangun saat waktu menunjukkan pukul 15.30. Setelah lelah menangis, Farida tertidur dengan memeluk foto pernikahannya dengan Azzam. Farida teringat dengan ponselnya. Sejak kemarin, Farida sengaja mematikan ponselnya agar Azzam bisa fokus pada acaranya. Farida begitu merindukan Azzam. Tapi sekuat hatinya ia menahannya untuk tidak menghubungi Azzam. "Mbak, sudah bangun?" Kedatangan Arinda membuyarkan lamunan Farida. Farida menyambutnya dengan senyuman untuk menutupi kesedihannya. Farida tak ingin membuat Arinda semakin terbebani dengan keadaannya. "Mbak sholat dulu, ya, Rin?" Arinda mengangguk. Farida berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Keluar dari kamar mandi, Farida melihat Arinda sudah menyiapkan mukenah dan sajadah untuknya. "Terimakasih, lho, Rin," ucap Farida sungkan. "Iya, Mbak. Arinda tunggu di bawah, ya, Mbak. Aku sudah siapkan makan untuk Mbak Farida. Sejak pagi Mbak belum makan, kan?" Farida mengangguk dan tersenyum. "Iya, Rin." Farida memulai sholatnya setelah Arinda keluar dari kamarnya. Selesai sholat, Farida menengadahkan tangannya berdoa kepada yang Kuasa. Meminta untuk diberikan kesabaran, kekuatan, dan ketabahan untuk menjalani setiap ujian yang terjadi dalam hidupnya. Meminta diberikan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya. Dan juga meminta keselamatan untuk suaminya dimana pun suaminya berada. Tangis Farida kembali pecah mengingat semua yang terjadi dalam hidupnya. Farida tak pernah menyesali semuanya, termasuk keputusannya untuk mengijinkan suaminya menikah lagi. Farida percaya bahwa cinta Azzam untuknya tak akan berkurang meskipun sudah ada wanita lain. Sebelum keluar kamar, Farida mencuci wajahnya untuk menghilangkan jejak air mata diwajahnya. Sesampainya dimeja makan, Farida tak melihat Arinda disana. Hanya melihat selembar kertas berisi tulisan Arinda. "Mbak sayang, makan yang banyak, ya! Maaf Arinda tidak bisa menemani. Arinda harus ke butik karena ada klien yang datang mendadak." Farida tersenyum membacanya. Arinda adalah satu-satunya keluarga yang Farida miliki selain keluarga suaminya. Orangtuanya meninggal satu tahun setelah Farida menikah karena kecelakaan. Kerabat dari kedua orangtuanya juga tinggal ditempat yang jauh. Farida merasa bersalah pada Arinda. Sebagai kakak, Farida tak bisa menjadi tumpuan untuk Arinda. Justru kini Arinda yang harus merawatnya karena sakit yang ia derita. "Arinda.. Semoga kamu bisa mendapatkan kebahagiaan kamu secara utuh." *** Harusnya aku yang disana.. Dampingi mu dan bukan dia.. Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia.. Harusnya kau tahu bahwa Cintaku lebih darinya Harusnya yang kau pilih bukan dia.. Rayhan larut dalam kesedihan karena pujaan hatinya lebih memilih menikah dengan laki-laki lain. Alunan lagu dari salah satu band ternama menemani kesunyian yang Rayhan rasakan. Pagi tadi, Zee, wanita yang telah lama menjadi penghuni hatinya itu telah menjadi milik orang lain. Rayhan sengaja tidak datang karena merasa tak sanggup melihat Zee bersanding dengan orang lain. Dulu saat Rayhan mengutarakan perasaannya, Zee hanya meminta Rayhan untuk datang pada orangtua Zee. Zee tak ingin berpacaran. Kapan pun Allah mendatangkan jodohnya, Zee akan terima tak peduli di usia Zee yang ke berapa. Namun beberapa hari kemudian, Rayhan mengatakan kalau orangtuanya belum mengijinkannya untuk menikah karena masih terlalu muda dan belum memiliki pekerjaan tetap. Zee tak dapat berbuat apa-apa selain menerima. Juga tak ingin menunggu kapan Rayhan akan melamarnya. Bagi Zee, tugasnya hanya memperbaiki diri dan menunggu kapan waktunya tiba. Siapapun jodohnya, Zee akan menerimanya. Rayhan menyesal, tapi sudah terlambat. Sebesar apapun cinta Rayhan untuk Zee, tak akan membuat Zee menjadi miliknya. ### Zee merasakan matanya begitu berat untuk terbuka. Rasa kantuk yang menyerangnya tak dapat ia tahan lagi. Padahal suaminya belum juga masuk ke dalam kamar sejak makan malam telah usai. "Mungkin masih ngobrol dengan Mas Zain," gumam Zee menenangkan hatinya. Sebenarnya Zee ingin menunggu sampai Azzam masuk ke kamar. Tapi Zee benar-benar mengantuk dan merasa begitu lelah. Semalam, matanya hanya mampu terpejam selama dua jam. Mungkin karena Zee terlalu grogi untuk menghadapi hari pernikahannya. Perlahan, mata Zee terpejam dan terlelap tidur. Azzam yang baru saja memasuki kamar tercenung melihat gadis yang kini berstatus istrinya itu sedang tertidur lelap. Istri kedua lebih tepatnya. Azzam berjalan mendekat dan duduk disamping Zee yang sedang tidur. Azzam menatap lekat wajah Zee yang terlihat begitu cantik natural tanpa riasan make up. Zee baik, cantik, pintar, sopan dan santun. Tapi hal itu tidak membuat perasaan cinta tumbuh dalam hati Azzam. Azzam hanya merasa kasian dan merasa bersalah karena telah melibatkan Zee dalam masalahnya. Azzam mengelus pelan puncak kepala Zee yang masih tertutup jilbab. 'Bahkan kamu masih memakai jilbabmu, zee.' batin Azzam. "Maafkan aku," ucap Azzam pelan lalu berdiri dan berjalan menuju sofa panjang yang berada di kamar Zee. Azzam memutuskan untuk tidur diatas sofa. Di sepertiga malam, Zee terbangun dan mendapati suaminya tak berada disampingnya. Zee merasa bingung dan berniat keluar kamar untuk mencari suaminya. Zee bernafas lega saat mendapati Azzam tengah tertidur lelap diatas sofa. Namun mengapa Azzam memilih tidur diatas sofa daripada diatas ranjang bersamanya masih menjadi pertanyaan besar bagi Zee. Zee menyadari bahwa mungkin antara mereka belum tumbuh rasa cinta. Tapi apakah Azzam harus tidur diatas sofa? Tiba-tiba hati Zee terasa perih karenanya. *** Zee mengemasi barang-barangnya yang akan ia bawa ke Semarang untuk tinggal bersama Azzam. Pagi setelah sarapan, Azzam mengatakan bahwa mereka akan berangkat ke Semarang sore ini juga. Azzam beralasan bahwa ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan lebih lama lagi. Mau tak mau, Zee harus menurutinya meskipun dalam hati Zee belum siap berpisah dengan keluarganya, apalagi dengan kedua orangtuanya. "Sudah siap semua, Nduk?" Fatimah berjalan menghampiri Zee yang sedang menutup koper dan menarik resletingnya. "Alhamdulillah sudah, Bu." Fatimah duduk dipinggir ranjang sembari menatap anak perempuan satu-satunya itu. Bayangan masa kecil Zee terlintas begitu saja didalam benak Fatimah. Zee yang dulu manja, Zee yang tak bisa mengikat rambutnya sendiri sekalipun sudah kelas 6 SD. Zee yang tak pernah mau makan sendiri. Rasanya baru kemarin Fatimah berjalan mengantarkan Zee sekolah. Tapi kini gadis kecilnya telah tumbuh dewasa dan telah menikah. Zee tidak lagi miliknya dan milik suaminya. Tapi Zee sudah menjadi milik seorang Azzam. Laki-laki yang telah berstatus sebagai suami Zee. "Ibu tidak menyangka bahwa waktu cepat berlalu, Zee. Kamu yang dulu masih ibu gendong, ibu mandikan, ibu suapi, kini sudah besar dan sudah menikah. Bahkan sebentar lagi akan dibawa suaminya pergi." Ucapan Fatimah membuat Zee meneteskan air mata. Zee berjalan mendekati ibunya lalu memeluk ibunya erat. Hati Zee terasa berat untuk pergi. Seumur hidupnya, Zee belum pernah berpisah lama dengan orangtuanya. "Nanti Zee bakal sering pulang kok, Bu, insyaallah." "Kamu yang baik yang, Nduk, sama suamimu. Surga nerakamu ada pada suamimu. Turuti apa perintahnya selama tidak melanggar aturan Allah," ucap Fatimah memberi nasihat. Zee mengangguk dan memeluk Fatimah sekali lagi. Air matanya tak dapat dibendung lagi. Waktu perpisahan pun tiba. Zee memeluk keluarganya satu persatu sebelum meninggalkan rumah. Segala pesan dan wejangan di bisikkan pada Zee. "Hati-hati ya, Nduk. Ingat pesan ibu!" Ucap Fatimah sambil memeluk dan mencium kedua pipi Zee. "Jaga diri baik-baik, Nduk. Yang nurut sama suami," giliran Wahyudi yang memeluk Zee. "Hati-hati, ya? Kasih kabar kalau sudah sampai," pesan Kamila. "Jadi istri yang baik, dek. Jangan manja-manja," Zain menggodanya. Walaupun sebenarnya Zain juga merasa berat untuk berpisah dengan adiknya. "Jaga adikku baik-baik, Zam," pesan Zain pada Azzam yang berdiri dibelakang Zee. "Insyaallah," jawab Azzam. Terakhir, Zee memeluk Zikri. Giliran Zee yang memberi nasihat pada Zikri. Mobil yang dikemudikan oleh Azzam perlahan mulai meninggalkan rumah Zee. Zee melambaikan tangannya kepada keluarganya sebagai tanda perpisahan. Air matanya masih terus mengalir kendati keluarganya sudah tak lagi terlihat oleh matanya. "Sudah jangan menangis lagi. Kamu bisa menelepon mereka setiap saat atau pulang beberapa Minggu sekali untuk mengunjungi mereka," ucap Azzam untuk menghibur hati Zee. "Iya, Mas. Terimakasih," jawab Zee dengan tersenyum tipis. Zee tak menyangka, secepat ini ia akan berpisah dengan keluarganya. Rasanya baru kemarin ia meminta ibunya untuk mengepang rambutnya. Baru kemarin ia meminta gendong ayahnya. Sekarang berubah, Zee harus mempersiapkan diri untuk bisa melakukan hal itu kepada anak-anaknya kelak. Zee harus bisa menjadi istri dan calon ibu yang baik untuk suaminya dan anak-anaknya kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD