PART 5

2268 Words
Pernikahan Zee dan Azzam akan dilaksanakan seminggu lagi. Terhitung dua minggu dari hari lamaran kemarin. Setiap malam selalu Zee sempatkan untuk sholat istikharah dan sholat tahajud untuk menenangkan hatinya. Semakin hari Zee juga semakin yakin atas keputusannya menerima lamaran Azzam. Beberapa hari ini Azzam lebih intens menghubungi Zee. Untuk menanyakan mahar apa yang Zee inginkan. Dan juga menanyakan berbagai produk kosmetik, ukuran sepatu, sampai ukuran pakaian dalam untuk dijadikan seserahan. Sampai-sampai Zee merasa malu menjawabnya. Kalau bukan karena orang tua Azzam yang menyuruhnya, Azzam tidak akan melakukan hal itu. Semua dilakukan oleh Azzam semata-mata hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya ada di balik pernikahan mereka. Zee sendiri tidak terlalu ikut campur dalam persiapan pernikahan mereka. Semua diurus oleh kedua orangtuanya dan orangtua Azzam. Zee meminta agar pernikahannya dengan Azzam dilaksanakan sesederhana mungkin. Hanya mengundang kerabat dan orang-orang terdekat. Sampai saat ini pun Zee masih aktif mengajar dan mengurus tempat bimbelnya. Keputusan Azzam untuk membawa Zee ke Semarang sebenarnya begitu mengganggu pikirannya. Siapa yang akan mengelola tempat bimbelnya kalau Zee pindah ke Semarang? "Bagaimana kalau si Zikri saja suruh mengelola tempat bimbel ini, Zee? Sayang loh, baru saja maju tapi sudah mau kamu tinggal," usul Laras saat Zee meminta pendapat kepada teman-temannya. Orangtuanya beberapa hari yang lalu juga mengatakan hal yang sama. Tapi yang bersangkutan, Zikri, belum mau karena merasa belum mampu. "Zikri belum mau. Katanya belum mampu, kan masih SMA," jawab Zee. "Minta tolong aja sama Rayhan. Jiwa dia kan jiwa pemimpin banget," usul Riska. "Bener, tuh," Mila menyetujui. Diikuti Laras dan Kayla yang mengangguk setuju. Hati Zee mencelos mengingat nama Rayhan. Lelaki itu, sudah beberapa hari ini Zee tidak melihatnya. Izinnya tidak masuk karena sedang ada kesibukan lain. Zee merasa tidak enak hati kalau harus menitipkan tempat bimbel ini kepadanya. Sudah menyakitinya, masih bisa memberinya tanggungjawab atas tempat bimbelnya. Zee tak mau dibilang tidak punya hati. "Kapan rencana kamu mau fitting baju, Mas? Lusa kamu sudah harus ke Karanganyar, kan?" Pertanyaan Farida membuat nafsu makan Azzam hilang seketika. Sejak Azzam memberitahukan bahwa Zee menerima lamarannya, Farida tidak ada henti-hentinya membahas tentang pernikahan Azzam dengan Zee. Tentang bagaimana nanti setelah menikah, dan tentu dengan antusiasnya membayangkan kalau Zee akan segera hamil dan Azzam akan memiliki seorang anak. "Tuxedo-ku sudah banyak. Aku tidak perlu fitting baju lagi," jawab Azzam dengan nada datar.. "Enggak bisa begitu, Mas," protes Farida. "Dulu pas kamu nikah sama aku, kamu pakai tuxedo baru bahkan dirancang langsung oleh Pak Wiguna Adiwijaya. Masak nikah sama Zee kamu pakai tuxedo bekas," lanjutnya sambil bersungut merasa tak terima. Wiguna Adiwijaya adalah seorang desainer yang cukup terkenal di Semarang, dan sudah merancang pakaian artis ibukota. Azzam heran, istrinya ini sebenarnya punya hati atau tidak? Kalau punya hati, apa Farida tidak merasa sakit hati dengan pernikahan suaminya? Kenapa sekarang justru dia yang begitu heboh dengan semuanya? "Farida, mana ada orang yang mau tanya tuxedo yang aku pakai masih baru atau sudah bekas? Sudahlah, manfaatkan yang sudah ada saja. Tidak perlu membeli yang baru," putus Azzam tanpa bisa diganggu gugat. *** Tiga hari sebelum pernikahan digelar, Azzam dan keluarga sudah berada di Karanganyar. Menginap disalah satu penginapan karena rumah yang mereka miliki saat masih di desa sudah mereka jual untuk menambah modal. Hati Azzam terasa berat meninggalkan Farida. Meskipun Farida melepasnya dengan senyuman, tapi Azzam yakin saat ini wanita itu sedang menangis. Beruntung ada Arinda, adik dari Farida yang diminta Azzam untuk menemani Farida selama Azzam di Karanganyar. Beruntung Arinda adalah orang yang tidak terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Jadi Arinda percaya saja saat Azzam mengatakan ada urusan pekerjaan diluar kota selama seminggu lebih. *** Farida melepas kepergian suaminya dengan senyuman setelah malam sebelumnya Farida begitu semangat mengemasi segala keperluan Azzam yang akan Azzam gunakan selama Azzam di Karanganyar. Bahkan menyiapkan baju yang akan Azzam kenakan saat ijab kabul hari minggu besok. Setelah Azzam dan kedua mertuanya tak terlihat lagi, tangis Farida pecah tak dapat ditahan lagi. Selama ini Farida selalu menyembunyikan tangisnya dari Azzam. Meyakinkan Azzam bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi Farida hanyalah manusia biasa. Merasa tidak ikhlas dan merasa sakit hati saat suaminya menikah lagi itu sudah pasti. Farida hanya mencoba untuk mengikhlaskan, mencoba untuk sabar, dan mencoba berdamai dengan keadaan. "Ada yang Mbak Farida sembunyikan dari aku, ya?" Tanya Arinda saat mereka sedang asyik menonton TV. "Maksud kamu apa, dek?" Tanya Farida tak mengerti dengan ucapan adiknya. Lebih tepatnya berpura-pura tidak mengerti. "Jangan dikira aku enggak tau ya, Mbak, kalau Mbak Farida selalu menangis saat sendirian?" Tubuh Farida menegang. Farida tak menyangka kalau adiknya sering melihatnya menangis. Arinda dan keluarganya memang tak ada yang tau kalau Azzam akan menikah lagi. "Oh.. Emm.. Mbak cuma.. Kangen aja sama Mas Azzam," jawab Farida terbata. Mencoba mencari alasan agar Arinda tidak curiga. "Yakin?" Arinda menatap lekat kedua mata Farida. Membuat Farida yang ditatap seperti itu jadi salah tingkah. Matanya bergerak gelisah mencoba menghindari tatapan mata Arinda. "Mbak enggak bisa bohong sama aku. Katakan ada apa?" Lanjut Arinda. Apa ini yang dinamakan sebuah ikatan antar saudara? Bisa mengetahui apa yang dirasakan tanpa harus menunggu untuk bercerita. "Mbak? Jawab aku!" Arinda menekankan suaranya karena Farida tak kunjung membuka suara. "Arinda, Mas Azzam... Mas Azzam.." tiba-tiba d**a Farida terasa sesak mengingat bahwa besok suaminya akan mengucapkan janji suci atas wanita lain. Mulai besok Farida bukanlah satu-satunya istri yang Azzam miliki. "Mas Azzam kenapa?" Tanya Arinda tidak sabar. "Besok, Mas Azzam akan menikah lagi," Setelah itu, pecahlah tangis Farida. Farida menangis sejadi-jadinya di pelukan Arinda. Kini Farida merasa bebannya sedikit berkurang karena bisa melampiaskan tangisnya dengan leluasa. Merasa lebih ringan karena sudah membagi beban dihatinya. Arinda yang mendengar hal itupun merasa marah, kesal, tidak terima menjadi satu. Arinda tidak terima kakak iparnya memilih menikahi wanita lain, apalagi dengan keadaan kakaknya yang sedang sakit. "Kenapa Mbak Farida mengijinkannya. Mbak Farida ini bodoh atau apa?" Teriak Arinda dengan penuh emosi. "Mbak punya alasan untuk mengijinkan Mas Azzam menikah lagi, Rin," air mata Farida masih saja beruraian. "Alasan apa? Karena Mbak enggak kunjung hamil? Karena Mbak sakit? Itu bukan alasan Mbak. Mbak Farida juga enggak mau kan sakit begini? Harusnya Mas Azzam mengerti itu, bukan malah menikah dengan wanita lain," ucap Arinda berapi-api. Farida semakin tersedu. Kenyataan ini begitu menyakitkan. Farida merasa lelah harus terus berpura-pura baik-baik saja. Tapi semua demi kebahagiaan orang-orang disekitarnya. Mereka yang menginginkan hadirnya seorang anak. Mereka yang ingin mendengarkan tangisan seorang bayi. "Jangan menghakimi aku, Rin. Aku sendiri sebenarnya juga tidak mau seperti ini. Orangtua Mas Azzam menginginkan hadirnya seorang cucu. Mas Azzam sendiri pasti juga menginginkan seorang anak. Dan aku tidak bisa memberikan itu," Farida berteriak mencoba melepaskan beban yang selama ini ia pendam sendiri. "Aku ini penyakitan, Rin. Bahkan aku tidak mampu melayani suamiku secara lahir dan batin. Apa aku harus egois dengan melarang Mas Azzam menikah lagi? Sedangkan aku tidak mampu mewujudkan impian mereka," Farida semakin tersedu. Menepuk dadanya sendiri untuk melegakan sesak yang ia rasakan. Arinda memeluk Farida erat. Mereka menangis bersama. Arinda begitu salut dengan kesabaran dan keikhlasan Farida. "Lepaskan bebanmu, Mbak. Aku akan terus disini untuk mendengarkan Mbak Farida. Mbak Farida tidak akan pernah sendiri. Akan ada aku, Mbak," Arinda semakin erat memeluk Farida. Ia biarkan kakaknya menangis sampai puas. Perlahan, tangis Farida mulai mereda. Bersama itu pula Farida tertidur dengan lelapnya. Arinda menatap sedih wajah kakaknya yang terlihat pucat. Penyakit yang ia derita, sampai pengorbanannya merelakan suaminya menikah dengan wanita lain, membuat Arinda merasa prihatin. Kalau saja kedua orangtua mereka masih hidup, mereka pasti juga tidak akan terima melihat anaknya seperti ini. Zee terlihat begitu anggun dan cantik dalam balutan gaun berwarna putih gading yang menjuntai. Riasan make up yang terlihat begitu natural membuat Zee terlihat manglingi. Jilbabnya menutup bagian depannya sampai ke perut. Mahkota kecil dipasangkan diatas kepalanya membuatnya terlihat bak bidadari turun dari kahyangan. Hari ini adalah hari yang begitu mendebarkan bagi Zee. Sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Antara bahagia dan juga sedih. Zee merasa bahagia, hari ini dia akan menikah. Tapi Zee juga sedih, setelah pernikahannya, Zee harus rela berpisah dengan keluarganya karena harus mengikuti Azzam tinggal di Semarang. Masalah tempat bimbel, Zee menitipkannya pada Kamila, kakak iparnya. Sesekali Zee akan datang untuk melihatnya. "Tangan kamu dingin banget, Zee?" Ucap Riska yang menggenggam tangan Zee untuk menenangkan hati Zee yang merasa begitu gugup. "Aku gugup banget, Ris," jawab Zee pelan. Tes tes.. Bismillahirrahmanirrahim.. Ucapan yang terdengar dari luar sana, membuat jantung Zee berdebar hebat. Sebentar lagi.. Sebentar lagi semua akan berubah. "Azzam Mahendra," "Saya." "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak kandung saya Zidni Ilman nafiah binti Wahyudi Utomo dengan mas kawin emas seberat dua belas gram dan uang tunai sebesar dua belas juta seratus sembilan ribu lima ratus rupiah dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Zidni Ilman nafiah binti Wahyudi Utomo dengan mas kawin tersebut tunai." "Saksi, sah?" Sah Sah Sah "Alhamdulillah.." Kini, status Zee telah berubah. Tanggungjawab atas dirinya bukan lagi pada ayahnya, tapi berpindah pada Azzam, suaminya. Surga nerakanya ada pada Azzam. Seluruh hidupnya kini milik Azzam. Setetes air mata jatuh membasahi pipi Zee. Zee tak menyangka akan secepat ini sampai pada titik ini. Menikah, dan akan menjalani kehidupan rumah tangga. Rasanya baru kemarin Zee masih meminta ibunya untuk menyuapinya saat makan. Rasanya baru kemarin Zee meminta ibunya untuk menyisir dan mengepang rambut panjangnya. Rasanya baru kemarin Zee merengek di gendongan ayahnya meminta boneka Barbie yang baru. Kini dirinya telah menjadi seorang istri. Kini dirinya sudah bukan lagi milik ayah dan ibunya. "Aunty, kita keluar, ya? MaasyaaAllah, cantik sekali aunty Aufar ini?" Kamila yang baru saja masuk ke kamar Zee mengajak Zee keluar. Memberi sedikit candaan untuk mencairkan suasana agar Zee tak terlalu gugup. Berjalan menuruni tangga secara perlahan, Zee di apit oleh Riska dan Kamila. Semua mata memandang Zee takjub. Kecantikan alami yang Zee pancarkan mampu membius setiap mata yang memandang. Kecuali Azzam. Laki-laki yang kini berstatus sebagai suami Zee tersebut hanya memandang Zee datar. Tak ada binar di kedua mata Azzam. Hanya sesekali tersenyum tipis menanggapi godaan orang-orang disekelilingnya. Zee dibimbing untuk mencium tangan Azzam. Fotografer memintanya untuk menahan posisi tersebut beberapa saat untuk didokumentasikan. Selanjutnya, Azzam diminta untuk mencium kening Zee. Mau tak mau, dengan berat hati Azzam melakukannya. Fotografer mengarahkan hal yang sama. Tak ada debaran kala Azzam mencium kening Zee. Semua terasa hambar. Berbeda dengan Azzam, Zee justru gugup luar biasa. Ini pertama kalinya Zee disentuh oleh laki-laki lain selain ayah, kakak, dan juga adiknya. Selanjutnya, MC meminta Zee dan Azzam untuk memasangkan cincin secara bergantian. Lalu menandatangani berkas pernikahan. Tak lama setelah itu, seorang ustadz berdiri didepan para tamu undangan untuk menyampaikan beberapa nasehat pernikahan. "Menikah itu adalah ibadah, maka kalau nikahnya baik akan mendapat pahala tapi kalau tidak baik akan mendatangkan dosa." "Ibadah itu syaratnya ada tiga, yang pertama adalah niat, kedua ikhlas semata-mata karena Allah jangan karena melihat hal-hal yang sifatnya materi, karena nanti akan menyesal. Dalam sebuah hadits walaupun dloif, disebutkan siapa yang nikah karena materi maka akan hilang, jika menikah karena kecantikan maka kecantikannya akan susut." "Ketiga, yaitu ada contoh dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Menurut Nizar Abhazah dalam bukunya yang berjudul Bilik-Bilik Cinta Muhammad, rumah adalah tempat kita menghirup ketenangan dan kebahagiaan hidup tersimpan di balik hubungan harmonis sepasang suami istri, siapa diantara kita yang tidak mendambakan rumah yang tenang, istri yang sehaluan, dan anak-anak yang berbakti, sebagai buah hati dan cahaya kebahagiaan, maka kita harus mengikuti rumah tangga Rasulullah.* "Rumah Nabi adalah rumah sakinah dan berlimpah rahmah, semua merasakan ini, keluarga merasakan, pembantu merasakan, tamu merasakan,  dan siapapun yang datang ke rumah beliau. Allah menyatakan dalam Al-Qur’an surah Al-Anbiya ayat 107: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Dan selanjutnya lebih dalam mencontoh Rasulullah adalah rumah atau rumah tangga jangan hanya mementingkan bentuk luar, bangunan rumah yang bagus, baju yang bagus, bukan itu. Karena rumah Rasulullah sama sekali tidak mementingkan bentuk luar, beliau tidak tertarik untuk membangun rumah dengan sesuatu yang menyengsarakan akal, hati dan jiwa penghuninya." "Rumah yang ideal bagi beliau adalah rumah yang penghuninya  berdiri kokoh diatas nilai keimanan dan moralitas, rumah yang diliputi kebahagiaan, dilimpahi cinta dan kasih sayang , rumah yang setiap individu di dalamnya berdiri sama, tidak ada belenggu yang mengikat jiwa, tidak ada kekurangan yang mengancam keutuhan rumah tangga. Bentuk lahir mungkin penting tapi jangan jadikan sebagai satu-satunya ukuran." "Nasehat yang berikutnya adalah, sebagai seorang istri mungkin ada yang punya kelebihan dibanding suaminya, tetapi ketika sudah berumah tangga maka hendaknya seorang istri tetap harus mentaati suami." "Suamilah nanti yang akan mengatur istri, bukan istri mengatur suami, sudah tentu dalam batas-batas yang hak, kalau tidak hak jangan diikuti. Karena memang Rasul pernah bersabda, celaka suami yang menjadi budaknya istri, jadi walaupun istri punya kelebihan, dalam rumah tangga Allah sudah mengatur suami yang bertanggung jawab kepada istri atau kepada keluarga, bertanggung jawab dalam seluruh aspek rumah tangga, yaitu nafkah dan lainnya." "Sedangkan istri bertanggung jawab hanya di dalam rumah saja, seperti kebersihan rumah, pakaian, dll." "Nasehat terakhir adalah berbakti kepada orang tua. Boleh mencintai istri atau suami tapi jangan sampai melupakan orang tua. Tapi istri berbeda dengan suami, kalau suami berbakti kepada kedua orangtua tidak boleh dikalahkan cinta kepada istri. Tapi kalau istri cinta kepada suami bisa mengalahkan cintanya kepada orang tua." "Jadi apabila seorang istri berbakti kepada suaminya berarti sama saja berbakti kepada orang tuanya. Itulah kunci sukses berumah tangga. Kalau ada hal yang tidak mengenakkan jangan sampai orang tua tahu, misalnya banyak hutang atau ada problem rumah tangga." "Memberi kabar kepada orang tua itu yang baik-baik saja, karena orang tua itu tanpa diberi tahu juga sudah tahu paham dan ngerti kalau anaknya punya masalah. jadi rumah tangga yang bahagia kuncinya adalah berbakti kepada orang tua." Semoga kita semua menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Aamiin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD