PART 4

1634 Words
Hari semakin berlalu, itu tandanya hari dimana Azzam akan datang ke rumah Zee semakin dekat. Zee belum bisa menentukan arah hatinya. Terlebih lagi Zain yang diharapkan bisa mendapatkan informasi lebih soal Azzam nyatanya tak menemukan apapun tentang lelaki itu. Zain bilang, Azzam menghilang seperti ditelan bumi. Tak ada satupun informasi yang Zain dapatkan sekalipun dari teman-temannya dulu. Hal itu membuat Zee berpikir lebih keras lagi. Bagaimana mungkin dirinya akan hidup dengan orang yang sama sekali tak ia ketahui kepribadiannya? Azzam memang teman Zain. Tapi selama ini dia tak ada komunikasi apapun dengan Zain. Hidup terus berjalan, zaman terus berubah. Dulu, Zee tahu kalau Azzam itu anak yang baik di masa kecilnya meskipun Zee tak terlalu akrab dengan Azzam. Zee berharap Azzam yang sekarang masih sama dengan Azzam yang dulu. "Kamu sudah istikharah?" Tanya Riska, sahabat dekatnya. Riska adalah satu-satunya sahabat yang tahu semua tentang Zee. "Sudah setiap hari, Ris," Zee menghela napas pelan. Rasanya seperti ada beban berat yang menimpa kedua pundaknya. "Terus sudah dapat jawabannya?" "Aku masih ragu. Padahal keluarga Azzam akan datang dua hari lagi. Tapi melihat harapan kedua orangtuaku agar aku menerima Azzam, rasanya aku tak sanggup menolaknya, Ris," "Ikuti kata hati kamu, Zee. Kalau tidak, ya kamu berhak menolak. Ini semua berhubungan dengan masa depan kamu. Menikah itu bukan suatu hal yang kecil." Riska benar. Dalam hal sebesar ini Zee tak ingin salah dalam mengambil keputusan. Beberapa hari ini, kedua orangtuanya terlihat begitu antusias mempersiapkan segala hal untuk menyambut Azzam dan keluarganya. Setiap pembicaraan pasti berujung pada Azzam dan keluarganya. Semua itu membuat Zee tak kuasa menolak. Zee mengambil napas pelan, menghembuskannya perlahan. Pilihan orangtuanya pasti yang terbaik. Mereka tidak akan mungkin menjerumuskan Zee ke tempat yang salah. Zee percaya kedua orangtuanya tak akan memilih pendamping yang salah untuk Zee. "Aku akan menerimanya, Ris. Bismillah," ucapan Zee membuat Riska yang sedang fokus merekap laporan keuangan mendongak seketika. Fokusnya buyar mendengar hal itu. "Kamu yakin? Lalu... Rayhan?" Tanya Riska ragu. Mata Zee memanas mengingat Rayhan. Laki-laki itu, sudah membawa separuh hatinya. Zee mendongakkan kepalanya dan mengedipkan matanya berkali-kali mencoba menahan air matanya agar tak terjatuh. "Aku dan Rayhan tidak ada hubungan apa-apa, Ris. Kami cuma teman," jawab Zee dengan tersenyum miris. Zee dan Rayhan saling suka, saling memendam perasaan, tapi Allah belum mengijinkan mereka untuk bersatu. "Tapi kan kalian..?" Tanya Riska menggantung. "Kami enggak ada hubungan apa-apa." Rayhan yang sejak percakapan itu dimulai sudah berdiri dibalik pintu ruang kantor tempat bimbel Zee, merasakan dadanya begitu sesak. Awalnya Rayhan hanya ingin mengambil ponselnya yang tertinggal. Tapi siapa yang menyangka kalau Rayhan justru akan mendengarkan percakapan Zee dengan Riska. Salahnya memang yang tak berani mengambil tindakan. Orangtuanya melarangnya menikah dalam waktu dekat karena memang Rayhan belum punya pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarganya nanti. Harusnya Rayhan bisa membuktikan bahwa ia mampu. Bukan berdiam pasrah dan menuruti kedua orangtuanya dan membuatnya terjebak dalam rasa yang tak tersampaikan kepada Zee. Kini, Rayhan terlambat. Rayhan tak lagi memiliki harapan. Zee dijodohkan dengan orang lain, dan Zee menerimanya. Itu berarti dalam waktu dekat Zee akan menikah. "Assalamualaikum. Maaf, mau ambil ponsel," "Waalaikumsalam, Rayhan?" Ucap Zee dan Riska bersamaan. Zee dan Riska begitu terkejut melihat Rayhan yang tiba-tiba masuk. Tak seperti biasanya, Rayhan hanya tersenyum tipis bahkan tak melihat Zee sama sekali. Zee yang merasa aneh dengan sikap Rayhan mencoba mengejar Rayhan yang telah keluar ruangan dengan tergesa. "Ray?" Panggilan Zee membuat Rayhan berhenti. "Ada apa?" Tanya Rayhan datar. "Kamu dengar?" Tanya Zee tanpa melihat Rayhan. "Iya. Selamat, ya? Aku pulang dulu," pamit Rayhan yang tak ingin berlama-lama melihat wajah Zee yang hanya akan membuat perasaannya semakin dalam dan juga semakin sesak. "Ray?" Suara Zee menghentikan langkah Rayhan. Zee menghirup nafas dalam-dalam. Berharap bisa mengurangi rasa sesak yang ia rasakan. Menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakannya agar tak terdengar oleh Rayhan. "Maafkan aku," tutur Zee dengan suara serak karena menangis. "Berhentilah menangis, Zee. Semua bukan salahmu. Selamat, ya? Aku pulang dulu. Assalamualaikum." Rayhan sadar, ini adalah kesalahannya yang tak pernah memberi Zee kepastian. "Waalaikumsalam," Tangis Zee pecah seiring menghilangnya Rayhan dari pandangannya. Ini salah. Zee tahu ini salah. Menangisi seseorang yang belum bahkan tidak berhak ditangisi adalah suatu kesalahan. Adanya perasaan yang mereka biarkan tumbuh subur dalam hati mereka adalah suatu kesalahan. Harusnya mereka bisa mencegah rasa itu tumbuh. Menahannya sampai waktu yang halal yang akan menyuburkannya. Mungkin ini peringatan bagi mereka. Allah merasa cemburu pada mereka yang lebih memikirkan perasaan pada lawan jenis yang belum berhak mereka cintai daripada mendekatkan diri pada Allah. Riska yang melihat hal itupun tak bisa berbuat banyak kecuali membisikkan kata sabar dan meminta Zee untuk terus beristighfar. *** Zee menatap bayangannya sendiri didalam cermin. Merias tipis wajahnya dengan bedak tabur dan mengoles bibirnya dengan lip balm berwarna pink alami untuk menutupi wajah pucatnya karena akhir-akhir ini Zee kurang tidur. Zee menggunakan gamis berwarna maroon dengan jilbab berwarna pink. Membuat penampilannya malam ini begitu cantik dan manis. Malam ini, Azzam dan keluarganya akan datang. Meskipun ayahnya berkata kalau Zee setuju akan langsung diadakan lamaran, rasanya itu seperti basa-basi saja. Nyatanya, selama seminggu ini ayahnya hanya bertanya sekali saja tentang keputusan yang ia ambil. "Bapak harap, kamu bisa memikirkan lagi tentang perjodohan ini, Zee. Bapak sama ibu cuma mau yang terbaik buat kamu," ucap Wahyudi beberapa hari yang lalu. Zee menghela napas. Ayahnya seolah memberi pilihan, tapi sebenarnya semua keputusan ada pada ayahnya. Wahyudi tahu kalau Zee tidak akan menolak apa yang telah Wahyudi putuskan. Selama ini Zee adalah anak yang penurut, jadi sudah pasti Zee juga akan menurutinya dalam hal perjodohan ini. Zee tersenyum menyemangati dirinya sendiri. Kalau Zee mengatakan akan menolak perjodohannya karena Zee tidak mencintai Azzam, rasanya itu terlalu klise. Nyatanya, dirinya dan Rayhan sebenarnya saling mencintai, tapi tak bisa bersatu. Cinta itu datang karena terbiasa. Terbiasa bersama, terbiasa melihat, terbiasa berkomunikasi. Zee yakin cinta akan datang seiring dengan berjalannya waktu. "Aunty-nya Aufar sudah siap?" Zee tersenyum tipis dan mengangguk merespon pertanyaan kakak iparnya yang berjalan mendekatinya sambil menggendong Aufar. "Turun, yuk. Tamunya sudah datang," ucap Kamila seraya menggandeng tangan Zee. *** Disinilah Azzam sekarang. Diruang tamu berukuran 4x6 meter bernuansa hijau toska. Raga Azzam disini, tapi hati dan pikirannya bersama Farida. Azzam teringat senyuman Farida saat Farida melepasnya pergi. Azzam tahu ada banyak luka dibalik senyuman itu meskipun Farida berusaha menutupi semuanya. 'Saat ini aku yakin kamu pasti sedang menangis, sayang,' pekik Azzam dalam hati. Kalau bukan karena orangtuanya yang mengancamnya bahwa mereka tidak akan mewariskan harta mereka kepada Azzam kalau Azzam tidak memiliki anak, Azzam tidak akan menuruti keinginan orangtuanya yang menurutnya gila ini. Orangtuanya mengatakan bahwa mereka akan mewariskan harta mereka ke salah satu pantai asuhan yang ada di Semarang. Bukan Azzam gila harta atau mementingkan harta, Azzam hanya tidak rela kalau apa yang mereka bangun dari nol akan jatuh ke tangan orang lain. Menjadi donatur tetap tak akan jadi masalah bagi Azzam, asal tidak mewariskan kekayaannya yang Azzam sendiri turut mengembangkannya. Awalnya, Azzam tak peduli siapa gadis yang akan menjadi istri keduanya. Tapi mengetahui bahwa gadis itu adalah dari Zain, teman kecilnya dulu, membuatnya begitu terkejut. Azzam tak menyangka kalau orangtuanya akan memilih Zidni sebagai menantu kedua mereka. Meskipun begitu, sampai saat ini Azzam belum melihat sosok Zain lagi. Orangtua Zain berkata bahwa Zain sedang ada seminar di Jogja, jadi tidak bisa hadir. "Ya ampun, Mbak Fatimah. Ini Zidni? Zee? Kamu sudah besar, Nduk. Cantik sekali." Lamunan Azzam buyar mendengar suara ibunya yang begitu mendayu memuji seseorang. Sejak tadi, Azzam tak begitu antusias dengan para orangtua yang mengobrol, berbasa-basi, berbincang ngalor-ngidul. Azzam terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. "Terimakasih, Budhe," ucap Zee pelan dengan senyuman tipis dibibirnya. Mengambil tangan kanan Wulan dan menciumnya takzim. Azzam tidak bisa mengelak, Zee gadis yang cantik, santun dan anggun dalam balutan pakaiannya. Bukan berarti Azzam langsung jatuh hati dengan gadis itu. Azzam hanya sebatas kagum. Terakhir Azzam melihat Zee, Zee masih kelas 4 SD. Masih kecil dan polos. Azzam tak menyangka kalau sekarang Zee tumbuh menjadi gadis yang cantik dan santun. "Jadi bagaimana, Mas?" Tanya Hardi tanpa berbasa-basi. "Apa Zidni bersedia?" Wahyudi tertawa, menepuk bahu Hardi yang duduk tak jauh darinya. "Sabar dulu, Di. Kita tanya anaknya dulu." "Bapak ndak sabaran sekali. Azzam saja sabar lho, Pak." Semua orang tertawa mendengar Wulan yang menggerutu. Tentu saja kecuali Zee dan Azzam. Rasanya, keduanya ingin berlari saja dari tempat itu. "Bagaimana, Nduk? Apa kamu menerima Azzam?" Tanya Wahyudi pada Zee yang sejak tadi terus menunduk. "Maksud Bapak?" Tanya Zee tak mengerti. Apakah ini maksudnya mereka sedang lamaran? Tanya Zee dalam hati. "Azzam dan kedua orangtuanya datang kesini untuk melamar kamu untuk menjadi istri Azzam. Apa kamu bersedia?" Tubuh Zee menegang. Apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Zee tak punya waktu lagi untuk menghindar. Zee tak punya kesempatan untuk pergi. Sekilas Zee melirik Azzam yang sejak tadi hanya diam. Azzam begitu tampan, relatif bagi seorang lelaki. Tapi entah kenapa Zee merasa Azzam sendiri juga enggan dengan perjodohan ini. Lalu pernikahan macam apa yang akan mereka jalani nanti? Zee kembali menunduk. Mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Meremas-remaskan kedua tangannya yang berkeringat. "Zee.. Ikut apa kata Bapak saja." Para orangtua serentak mengucapkan alhamdulilah mendengar jawaban dari Zee. Berbeda dengan Azzam. Laki-laki itu sontak mengepalkan tangannya sampai urat-uratnya terlihat. Azzam berpikir bagaimana Zee dengan mudahnya menerima perjodohan ini? Zee cantik, pintar. Dia pasti bisa mencari laki-laki lain yang juga mencintainya. Juga laki-laki yang belum menikah. Ahh.. Azzam lupa. Kedua orangtuanya sudah pasti melakukan segala cara agar keinginan mereka bisa terpenuhi. Termasuk dengan menutupi status Azzam didepan orangtua Zee. Mereka seolah tak lagi memikirkan resiko. Apa yang akan terjadi kalau sampai rahasia besar ini bisa terbongkar? Harusnya mereka sadar bahwa serapat-rapatnya menutupi sebuah bangkai, pasti baunya akan tercium juga. Cepat atau lambat. Azzam menghela napas panjang. Setelah ini, kehidupannya dengan Farida akan berubah. Begitupun dengan kehidupan Zee. Zee hanya bisa berharap, laki-laki yang akan menjadi imamnya itu bisa membimbingnya sampai ke surga. Membimbingnya menjadi wanita yang lebih baik lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD