PART 3

1782 Words
Malam mulai berlarut. Gerimis diluar sana menambah dinginnya malam. Zee masih setia bersimpuh di atas sajadah memohon petunjuk kepada Allah. Tentang hatinya, tentang perjodohan dari orangtuanya. Hati Zee ragu, Zee belum begitu mengenal bagaimana sosok Azzam. Dulu saat Azzam pergi meninggalkan desa, Zee masih kelas 4 SD. Dulu Zee hanya sebatas tahu dia bernama Azzam, teman dari kakaknya, Zain. Zee mengambil ponselnya, berencana untuk menghubungi Zain dan bertanya soal Azzam. Barangkali Zain masih sering berkomunikasi dengan Azzam. "Assalamualaikum," sapa Zain diseberang sana, menerima panggilan dari Zee. "Waalaikumsalam, Zee ganggu Mas Zain enggak?" "Enggak, Zee. Ada apa? Tumben malam-malam telepon Mas?" "Besok Mas Zain ada waktu?" Zee memutuskan untuk berbicara langsung dengan Zain dengan mengajaknya bertemu. Zee merasa akan lebih leluasa daripada berbicara lewat telepon. "Emm.. Sore Mas free, Zee. Ada apa?" "Pengen ketemu. Mau ada yang diomongin," "Oke. Tempat biasa, ya?" "Oke, Mas. Sudah, ya, Mas? Assalamualaikum," "Waalaikumsalam." Hati Zee sedikit saja merasa lebih lega. Akhirnya Zee menemukan sedikit solusi dengan mendiskusikan hal ini dengan kakaknya. Meskipun keputusan sepenuhnya ada pada Zee, tapi tidak ada salahnya Zee meminta pendapat kepada Zain. *** Zee mengedarkan pandangannya mencari Zain. Semalam, Zee sudah berjanjian dengan Zain disebuah rumah makan yang menjadi tempat favorit kakaknya itu. Zee tersenyum setelah melihat Zain, bersama istrinya yang bernama Kamila, dan juga anak dari Zain yang begitu menggemaskan, Aufar, yang baru berusia satu tahun. "Assalamualaikum, ponakan aunty yang ganteng," bukannya menyapa kedua kakaknya terlebih dahulu, Zee justru menyapa bocah kecil yang sedang memakan biskuit kesukaannya itu. "Waalaikumsalam, aunty-nya Aufar yang cantik," Kamila menjawab salam dengan dengan suara ala anak kecil. Zee terkekeh pelan, kemudian menyalami Zain dan Kamila. "Sudah lama ya, Mas, Mbak?" Tanyanya. "Belum, kita aja belum pesan makan," jawab Zain. "Mau ngomongin apa, sih? Tumben banget," lanjutnya Zain penasaran. Pasalnya, Zee tidak pernah mengajaknya berbicara serius sampai mengajaknya bertemu seperti ini. Kecuali saat Zee meminta pendapat saat Zee ingin mendirikan sebuah tempat bimbel dulu. "Biar Zee istirahat dulu lah, Mas. Pesan minum dulu," ucap Kamila memperingatkan Zain yang tidak sabaran. Setelahnya memanggil pelayan untuk mencatat pesanan Zee. "Langsung aja ya, Mas," ucap Zee setelah memesan makanan kepada pelayan. "Emm.. Mas Zain masih ingat dengan teman Mas yang namanya Azzam?" Zee bertanya langsung tanpa berbasa-basi. Zain mengerutkan keningnya, mencoba mengingat nama yang disebutkan oleh Zee. "Azzam Mahendra?" tanya Zain setelah mengingat nama Azzam. Zee mengendikkan bahu tanda Zee tidak tahu nama panjang dari Azzam. "Enggak tahu nama panjangnya, yang jelas dia teman Mas Zain waktu SMP. Dulu kayaknya juga sering main kerumah, tapi Zee lupa gimana wajahnya," jelas Zee. "Iya dia Azzam Mahendra," tegas Zain. Sesaat kemudian, Zain memicingkan matanya menatap Zee curiga. "Kenapa nanya soal Azzam?" Zee yang ditatap seperti itu oleh Zain merasa salah tingkah. Mendadak lidahnya kelu untuk menyampaikan niat bapak dan ibu mereka yang akan menjodohkannya dengan Azzam itu. "Kenapa?" Tanya Zain sekali lagi. "Emm.. Bapak sama ibu," ucap Zee menggantung. Kamila yang sejak tadi asyik dengan anaknya kini juga mulai memperhatikan percakapan kedua kakak-adik itu. "Bapak sama ibu kenapa?" Tanya Zain tak sabar. "Mereka mau jodohin Zee sama Azzam itu, Mas," Zee menundukkan kepalanya. Zain dibuat melongo dengan ucapan Zee. Begitupun dengan Kamila yang tak kalah terkejutnya. "Zee ngajak ketemu Mas Zain itu sebenarnya mau tanya sama Mas Zain, Azzam itu gimana orangnya, barangkali Mas Zain masih sering berkomunikasi sama Azzam itu." "Mas sudah lama enggak berkomunikasi sama Azzam, Zee. Sejak dia pindah, sejak itu juga Mas udah lost contact sama dia. Apalagi jaman dulu belum ada hp, belum secanggih sekarang," tutur Zain panjang. Zee menghela napas panjang. Harapannya mendapat sedikit informasi tentang Azzam tak terwujud karena satu-satunya sumber informasinya ternyata sama sekali tidak tahu lagi kabar tentang Azzam. Zee semakin bingung. "Kapan keluarganya akan datang kerumah?" Tanya Kamila. "Minggu depan, Mbak," Zee melihat kedua kakaknya. "Oke. Selama seminggu ini Mas akan berusaha mencari informasi tentang Azzam. Meskipun Azzam dulunya sahabat Mas, tapi Mas harus tahu bagaimana Azzam yang sekarang," putus Zain membuat mata Zee sedikit berbinar. "Makasih, ya, Mas," ucap Zee tulus. Dengan langkah tertatih Farida membuka pintu rumahnya yang diketuk oleh seseorang. Farida menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa nyeri pada perutnya. Saat pintu terbuka, telah berdiri sesosok paruh baya yang masih terlihat muda diusianya berdiri membelakangi pintu. "Ibu?" Wanita yang dipanggil "ibu" oleh Farida itu pun menoleh lalu tersenyum ke arah Farida, menantunya. Ya, wanita itu adalah Wulan, ibu dari Azzam. "Sakit lagi?" Tanya Wulan dengan memapah menantunya masuk kedalam rumah. "Sudah mendingan, Bu," jawab Farida canggung. Wulan dan Hardi adalah mertua yang baik bagi Farida. Bagi Farida, mereka sudah seperti orangtua kandung baginya, tanpa embel-embel "mertua". "Azzam belum pulang?" "Belum, Bu. Sebentar lagi mungkin," Farida dan Wulan duduk berdampingan diatas sofa yang berada diruang tamu. "Farida buatkan minum dulu, ya, Bu." "Eh, enggak usah. Kamu duduk sini aja, nanti kalau ibu haus ibu ambil sendiri," ucap Wulan sambil menarik tangan Farida meminta Farida untuk duduk kembali. "Ibu mau bicara," lanjut Wulan membuat Farida bertanya-tanya dalam hati. Perasaan Farida menjadi tidak enak. Farida merasa apa yang akan ibu mertuanya bicarakan pasti tidak jauh dari soal anak dan Mas Azzam diminta untuk menikah lagi. "Farida, minggu depan bapak sama ibu berencana mengajak Azzam untuk ke Karanganyar menemui wanita yang akan menikah dengan Azzam. Tapi maafkan kami karena kami tidak akan mengajak kamu," Ucapan Wulan membuat Farida terperangah. Farida berfikir kenapa mereka tidak mengajaknya pergi menemui gadis itu. Bagaimanapun juga Farida ingin melihat seperti apa wanita yang akan menikah dengan suaminya. Suaminya akan menikah. Farida akan memiliki seorang madu. Bohong kalau Farida bisa sepenuhnya ikhlas dengan kenyataan itu. Nyatanya, Farida tak sekuat itu. Hatinya sakit? Tentu saja. Tak rela? Sudah pasti. Tapi Farida sadar, bahkan sangat sadar bahwa ia tak mampu memberikan apa yang kedua orangtua Azzam mau. "Jangan sedih Farida. Keluarga mereka tidak tahu kalau gadis itu akan dijadikan istri kedua. Mereka tahunya Azzam itu belum pernah menikah. Jadi kalau kamu ikut, jujur kami enggak tahu mesti bilang kamu siapanya Azzam. Karena yang mereka tahu Azzam itu anak tunggal," Wulan mencoba menghibur Farida. "Farida, maafkan kami yang harus memutuskan semuanya seperti ini. Meminta Azzam untuk menikah lagi. Ibu tahu dan paham bagaimana perasaan kamu, tapi ibu harap kamu juga paham dengan perasaan kami." Sebagai sesama perempuan, Wulan juga mengerti dengan apa yang Farida rasakan. Tapi Wulan dan Hardi sudah rindu akan hadirnya seorang cucu yang akan mewarnai hari tua mereka. Mengharapkan Farida bisa hamil? Entah sampai kapan mereka akan menunggu. Saat ini pun dokter sudah memvonis bahwa Farida akan sulit untuk memiliki seorang anak. *** Farida berdiri didekat jendela kamarnya. Setelah pembicaraannya dengan ibu mertuanya yang diakhiri dengan pelukan hangat yang diberikan untuk Farida kemudian berpamitan, Farida menangis tersedu merenungi nasibnya. Dia mempunyai suami yang sempurna. Azzam baik, Azzam setia, Azzam begitu mencintainya. Kedua mertuanya pun juga terlihat begitu menyayanginya. Kehidupan yang mewah ia dapatkan dari keluarga Azzam meskipun harta bukan alasan Farida memilih seorang Azzam. Segalanya sempurna, tapi tidak dengan nasib Farida. Memiliki penyakit, tidak bisa memberi keturunan untuk Azzam, tidak bisa melayani dan menjadi istri yang sempurna untuk Azzam. Bahkan Azzam akan menikah lagi. Dosa apa yang telah aku lakukan ya Allah? Sampai-sampai Engkau menghukumku sampai seperti ini.. "Ngelamunin apa, sih? Sampai suaminya salam enggak dijawab?" Farida tersentak kala sepasang tangan kekar itu memeluk pinggangnya dari belakang, diikuti dengan kecupan-kecupan kecil di tengkuknya. "Mas Azzam sudah pulang? Maaf, tadi aku enggak dengar," Farida berbalik menatap Azzam, meraih tangan Azzam dan membawanya ke bibir untuk dicium. "Waalaikumsalam, Mas. Sudah aku jawab, kan?" Canda Farida diiringi dengan kekehan kecil dan membuat Azzam mencium pipi Farida gemas. "Ada yang kamu pikirkan?" Tanya Azzam dengan menatap lekat kedua mata Farida. Farida menghirup napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya pelan. Berharap dapat melegakan sesak di dadanya. "Ada apa?" "Tadi ibu kesini," Farida menyandarkan kepalanya di d**a bidang suaminya, mencari ketenangan dan kekuatan dari Azzam. Azzam sudah bisa menebak apa yang dikatakan oleh ibunya sampai membuat Farida seperti ini. "Apa yang ibu katakan?" Tangan Azzam mengelus kepala Farida pelan. Sesekali memainkan beberapa helai rambut Farida yang tak tertutup jilbab. "Minggu depan Mas Azzam mau diajak ke Karanganyar, bertemu dengan gadis itu. Tapi.. Tanpa aku." Rahang Azzam mengeras mendengar apa yang telah diucapkan oleh Farida. Azzam tak menyangka kalau orangtuanya benar-benar akan menikahkannya dengan gadis itu. "Aku sudah bilang kalau aku tidak akan menikah lagi, Farida," Azzam melepas pelukannya dan berjalan menuju kamar mandi. Dia butuh air dingin untuk meredakan emosinya yang meledak tiba-tiba. Farida yang melihat hal itu hanya bisa terdiam. Farida paham bahwa Azzam butuh waktu. Ia akan berbicara lagi dengan Azzam kalau Azzam sudah merasa lebih baik. "Mas," panggil Farida yang melihat Azzam keluar dari kamar mandi. "Jangan berbicara denganku kalau hanya ingin membahas tentang hal yang sama," jawab Azzam ketus tanpa melihat Farida yang duduk diatas ranjang. "Duduk dulu sini, Mas," Farida menepuk sisi sebelahnya yang kosong. Azzam menurut meskipun wajahnya masih belum bisa bersahabat. Farida tak hilang akal, dia memegang kedua pundak Azzam dari belakang dan memijatnya pelan. Itu cara pertama untuknya agar bisa berbicara baik-baik dengan Azzam. "Berpoligami itu diperbolehkan dalam agama kita, Mas. Asalkan yang utama bisa adil, lalu dengan alasan karena istri pertamanya tidak bisa melakukan kewajibannya sebagai istri. Itu artinya, dalam hal ini Mas bisa berpoligami," tutur Farida selembut mungkin tanpa menghentikan aktifitasnya memijat pundak suaminya. "Farida..." Ucap Azzam yang mulai jengah. "Jangan potong pembicaraanku dulu, Mas," protes Farida. "Kalau ditanya aku ikhlas apa enggak? Rela atau enggak? Ya aku enggak rela Mas, sebenarnya. Ikhlas, aku sedang mencobanya. Perempuan mana yang rela berbagi suami. Tapi aku tidak mau dianggap memikirkan diri aku sendiri, Mas. Aku memikirkan keinginan bapak dan ibu. Aku yakin kamu juga menginginkan seorang anak dari darah daging kamu sendiri, kan? Jangan bohong, Mas. Aku tahu hati kamu yang paling dalam. Tidak ada salahnya untuk menuruti keinginan orangtuamu, Mas." Azzam yang kini sudah berbalik menghadap istrinya, menatap lekat kedua mata Farida. Azzam tahu ada luka dan harapan yang bercampur menjadi satu didalam sana. Entah terbuat dari apa hati istrinya itu sampai ia bisa merelakan suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Bagi Azzam, tak mudah untuk menerima permintaan Farida dan kedua orangtuanya. Azzam begitu mencintai Farida. Tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menikah lagi hanya demi mendapatkan seorang keturunan. Apa yang dikatakan Farida memang benar. Seorang laki-laki bisa menikah lagi atau berpoligami dengan syarat tertentu. Yang utama karena sang istri tidak bisa melayaninya lahir dan batin, sampai tidak bisa memberikan keturunan. Tapi Azzam tak ingin membagi hatinya untuk yang lain. Bagi Azzam, cukup Farida di dekatnya. Menemani Farida berjuang melawan sakitnya sampai dokter menyatakan bahwa Farida sehat. Itu harapan Azzam satu-satunya. Untuk adil? Bagaimana Azzam bisa melakukannya sedangkan hatinya hanya tertaut pada Farida? Tidak ada hati yang bisa adil dalam mencintai. Pasti akan condong pada salah satu diantaranya. Yang pasti, hanya akan ada satu nama dihati Azzam. Farida Hesnia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD