Ikhlas

1015 Words
Elang sebelumnya tak pernah merasakan debaran semacam ini pada siapa pun, termasuk Rania. Rasa yang ia miliki untuk Rania adalah rasa sayang entah dalam artian bagaimana, dirinya juga tak paham. Namun, ia berpikir mungkin itu yang dinamakan rasa cinta. Elang dan Rania berdansa menikmati alunan musik yang begitu romantis, sementara tamu yang lain menyantap hidangan yang sudah tersedia. Semua makanan nikmat itu sudah terhidang di atas meja keluarga Sucipto. Namun, tak ada niat sedikit pun untuk Ahana menyentuhnya. Dadanya terasa nyeri dengan tangan yang seperti mati rasa. "Aku tidak bisa terus seperti ini," batin Ahana memantapkan diri. Gadis cantik itu berdiri sembari berkata, "Aku ke toilet sebentar." Ahana langsung berjalan cepat karena ia tak ingin melihat pertunjukan manis yang membuat hatinya terasa tersayat. Ahana menatap wajahnya di depan kaca wastafel. Bayangan kebahagiaan Rania dan Elang begitu nyata muncul dalam ingatannya. "Aku harus bagaimana? Aku tak bisa, jika terus seperti ini, dia sekarang sudah menjadi adik iparku, aku tak boleh terus membuat perasaan ini tumbuh semakin besar," ujar Ahana dengan tatapan mata tertuju pada pantulan wajahnya di cermin. Ahana merogoh ponsel yang berada di dalam dompetnya untuk mengirimkan pesan singkat pada sang ibu sambung. "Aku kembali lebih dulu, Ma! aku merasa tak enak badan lagi," bohong Ahana pada Indah yang berada di seberang ponselnya. Setelah selesai, Ahana langsung keluar dari tempat itu dan kembali ke kamarnyanya. Tanpa orang sadari, gadis sulung dari keluarga Sucipto tersebut sudah berada di depan balkon kamarnya sembari melihat pemandangan taman rumah tersebut. Senyum Ahana terpancar begitu jelas. "Pertemuan kami diawali di tempat itu," gumam Ahana dengan ingatan yang mulai berputar kembali saat ia menolong Elang, membantu luka pria tersebut, agar tertutup dengan robekan bajunya. Kata demi kata ia tulis di dalam sebuah buku, dengan pulpen yang tak asing. Buku pemberian sang ayah dan pulpen pemberian Elang. Kedua benda itu adalah barang kesayangan gadis tersebut. Semua keluh kesah yang tak dapat ia curahkan pada orang lain, tertulis dengan jelas di sana. "Tuhan ... jika memang engkau tak mentakdirkan perasaan ini akan berlabuh pada pemiliknya, tolong bantu aku melupakan dan menghapusnya sampai tak ada lagi rasa yang tersisa yang nantinya akan menggerogoti perasaanku!" Ahana memohon dengan mata terpejam dan memeluk buku hariannya di d**a. Setelah acara pertunangan selesai, keesokkan harinya, kedua keluarga langsung merundingkan tanggal pernikahan Elang dan Rania karena hal penting tersebut sudah diputuskan oleh kedua mempelai untuk segera naik ke pelaminan. Ahana tak mau ikut andil dalam obrolan itu, ia lebih memilih berada di bagian dapur untuk menyiapkan hidangan bagi keluarga Bimantara. Sayup-sayup terdengar oleh telinga Ahana obrolan para orangtua. "Pernikahan akan dilaksanakan 1 bulan lagi," ujar Edi dengan nada suara begitu bahagia. Ahana tersenyum sembari melanjutkan pergulatannya di dapur dengan alat-alat masaknya. Keesokan harinya, tepat setelah hari kelulusan Rania, gadis itu sudah bersiap akan pergi. "Mau ke mana, Nak?" tanya Indah yang membawa hidangan makan siang ke meja makan. "Aku mau keluar dengan teman-teman, Ma!" "Untuk apa masih keluar, kau sudah akan menikah, lebih baik persiapkan pernikahan kalian saja," cegah Indah, agar Rania tak meneruskan niatnya. "Justru ini salam perpisahan dariku pada teman-teman karena setelah ini aku akan menjadi nyonya Bimantara jadi, aku akan membuat waktuku satu hari ini untuk teman-teman," jelas Rania yang masih kukuh dengan keinginannya. "Tapi ka--" "Aku pergi ya, Ma!" Rania berteriak, kemudian sudah menghilang dibalik pintu masuk rumahnya. Indah menyentuh dadanya karena perasaanya merasa tak enak hari ini. "Semoga saja semua keluargaku dalam keadaan baik-baik saja," harap Indah memanjatkan doanya pada sang maha pencipta. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Namun, Rania masih belum juga pulang. Indah dan Edi sangat cemas karena putrinya tak biasanya seperti ini. Ahana yang baru saja turun dari kamarnya merasa aneh karena kedua orang tuanya masih belum tidur. "Ayah dan Mama belum tidur?" tanya Ahana dengan santainya. "Adikmu belum pulang," sahut Edi tanpa banyak basa-basi. Ahana tercengang karena tak biasanya Rania berulah seperti ini. "Aku akan menghubungi semua temannya," ujar Ahana langsung berlari cukup kencang ke arah lantai atas mengambil ponselnya. Ahana mencoba menghubungi teman-teman Rani. Namun, tak ada yang diangkat satu pun. Masih ada satu teman Rania yang belum ia hubungi dan Ahana mencobanya. "Halo!" sahut seseorang diseberang ponsel Ahana. "Rania bersama denganmu?" tanya Ahana dengan rasa takut yang semakin mendera. "Ya, ini Kak Ahana 'kan?" "Betul, tolong pinta Rania pulang sekarang karena Ayah dan Mama cemas mencarinya," ujar Ahana langsung pada pokok bahasan. "Baik, Kak!" Sambungan langsung dimatikan oleh Ahana dan ia berlari kecil ke arah lantai bawah. "Rania akan segera pulang, Ma!" jelas Ahana tersenyum pada ibu sambungnya. Indah memeluk Edi karena sang putri akhirnya akan segera pulang, mengingat Rania sebelumnya tak pernah seperti ini. Selang beberapa menit, akhirnya mobil Rania sudah terparkir di tempat parkir rumah mewah tersebut. Semua anggota keluarganya menyambut kedatangan Rani. Namun, raut wajah Rania tak seperti biasanya. "Kau kenapa, Nak? apa kau tak enak badan?" tanya Indah pada putrinya. "Ti-tidak, Ma!" sahut Rania gugup. Pandangan mata gadis itu terlihat kosong seperti ada banyak hal yang ia pikirkan dan yang jelas semua itu terlihat melalui ekspresi wajah anak kedua dari Edi. "Kau pasti lelah, istirahatlah, Nak!" pinta Edi langsung membawa putrinya ke kamarnya di lantai atas, tepat di seberang kamar Ahana. Ahana hanya bisa menghela napas panjang karena dirinya sudah lama menerima semua sikap tak adil sang ayah. "Jika aku yang pulang selarut ini, ayah pasti akan marah besar," pikir Ahana dalam diamnya. Di dalam kamar, Rania langsung berlari ke arah kamar mandi dan memperhatikan wajahnya di depan cermin wastafel. "Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa semuanya bisa jadi begini? Seharusnya tadi aku tak pergi," racau Rania dengan berbagai macam ingatan yang kini mulai menyelimuti isi kepalanya. Suara ketukan pintu kamar terdengar, dan Rania segera keluar dari kamar mandi. Ia berlari menuju arah pintu kamar yang terus diketuk tanpa henti. Tanpa banyak berpikir, Rania membuka pintu itu dan ia sungguh terkejut saat melihat siapa yang datang ke kamarnya saat ini. "Ke-kenapa datang ke kamarku di jam seperti ini?" tanya Rania. Tangan gadis itu sudah gemetar bukan main karena ia takut apa yang sudah ia lakukan diketahui oleh seseorang atau mungkin sudah ada yang melaporkan kepada keluarganya. Pikiran Rania semakin berkelana tak tentu arah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD