Awal Penderitaan
Tetes air mata seorang gadis kecil begitu terlihat sangat jelas, kala ia memeluk tubuh tak berpenghuni milik ibunya.
"Mama kenapa tidak bangun," ujar gadis kecil tersebut yang masih berumur 3 tahun.
"Sayang! Mama sudah ada di tempat yang indah. Jadi, Ahana harus membiarkan Mama pergi ya, Nak!" bujuk seorang pria yang sudah berumur, pria itu tak lain adalah sang Ayah.
Gadis cilik itu menoleh ke arah sang ayah dan menatap penuh kepolosan. "Apakah Mama akan bersedih, jika aku menangis?" tanya Ahana.
Setetes air mata meluncur bebas dari pelupuk mata pria bernama Edi Sucipto tersebut.
"Kau benar, Nak! Mama akan merasa bersedih di sana, jika kau tak merelakan kepergiannya," jelas Edi mencoba tersenyum, meskipun ia paksakan.
Seulas senyum manis dari bibir mungil Ahana akhirnya terukir.
"Aku rela Mama pergi, asalkan Mama bisa bahagia di sana," tutur gadis kecil tersebut dengan polosnya.
Air mata para keluarga yang datang menyambung doa semakin tak dapat di bendung lagi untuk luruh begitu saja.
Ahana Camelia Saputri adalah putri dari pasangan Edi Sucipto dan Diandra Utami.
Diandra meninggal dunia karena sakit yang memang sudah cukup lama ia derita.
Setelah proses pemakaman Diandra selesai, Ahana dan Edi kembali ke kediaman mereka.
Di dalam kamar yang hanya disinari oleh lampu tidur karakter, dua manusia beda generasi tengah meringkuk saling peluk satu sama lain meratapi kesunyian yang tak biasa mereka lewati sebelumnya.
Edi memeluk putrinya begitu erat, begitu pula sebaliknya, gadis kecil itu memeluk ayahnya, seakan pria itu tak boleh meninggalkan dirinya barang sedikit pun.
Edi menatap ke arah Ahana yang sudah terlelap dalam tidurnya.
Malam ini terasa begitu panjang dan teramat sunyi karena bagian dari mereka sudah tak dapat tinggal bersama lagi.
Keesokan harinya, seorang perempuan datang dengan wajah tak dapat di deskripsikan.
"Apa benar Diandra sudah ... meninggal?" tanya perempuan bernama Indah Andriani pada satpam rumah tersebut.
"Benar, Bu! Nyonya Diandra sudah berpulang," jelas satpam tersebut mengkonfirmasi.
Indah langsung berlari ke dalam mencari keberadaan Ahana.
"Ahana!" Indah berteriak sembari berlari ke arah gadis kecil itu dan memeluknya erat.
"Tante Indah!" sapa Ahana dengan suara imut nan menggemaskan.
"Maafkan Tante karena Tante baru saja datang, Nak!" sesal Indah karena ia tak bisa hadir dalam pemakaman sahabatnya di karenakan urusan pekerjaan.
"Tante tidak salah, kok!" Ahana menjawab dengan kepolosannya.
Indah hanya bisa memeluk tubuh mungil Ahana tanpa ingin menjelaskan apa makna dari ucapannya itu karena gadis sekecil Ahana tak akan mengerti.
Rumah yang begitu besarnya terasa kosong dan sangat sepi saat kehadiran seseorang yang biasa menyiapkan semua perlengkapan Ahana dan Edi sudah tidak lagi berkumpul dengan mereka.
Hari demi hari terus mereka lalui, waktu demi waktu terus mereka lewati dengan mencoba membiasakan diri tanpa kehadiran sosok Diandra di antara kehidupan keduanya. Namun, di setiap harinya, sudah ada sosok Indah yang mulai sering berkunjung ke rumah besar itu hanya untuk sekedar melihat keadaan anak dari sahabatnya.
Perhatian Indah pada sang putri, membuat Edi tertarik dengan perempuan itu. Namun, duda tampan tersebut tak mau mengutarakan perasaannya karena masih ada perasaan Ahana yang harus ia jaga.
Ahana yang tergolong gadis kecil sangat cerdas, ia bisa melihat, jika Ayahnya cukup nyaman dengan keberadaan perempuan yang biasa ia sebut Tante Indah itu.
Ahana meraih tangan Edi dan tangan Indah bersamaan.
"Biarkan Tante Indah tinggal di sini ya, Ayah? aku merasa Mama kembali saat Tante Indah ada di sini," tutur Ahana melihat ke arah ayahnya dan Indah secara bergantian.
Tatapan polos serta memohon itu tak sanggup ditolak oleh Edi, ditambah lagi, pria itu memang sudah memiliki ketertarikan terhadap sahabat istrinya.
"Apa kau mau mewujudkan keinginan Ahana?" tanya Edi pada Indah.
Indah masih terlihat berpikir. Namun, beberapa detik berikutnya, anggukkan kepala diperlihatkan pada Edi sebagai tanda ia menerima lamaran pria itu.
Sebenarnya Diandra sudah sejak lama memberikan wasiat itu pada Indah, agar perempuan tersebut mau menggantikan posisinya sebagai ibu dan istri karena Diandra takut, jika posisi nyonya baru di rumahnya jatuh pada perempuan tak tepat dan akan berpengaruh pada buah hatinya yaitu, Ahana.
Tak butuh waktu lama, 1 tahun setelah kematian Diandra, acara pernikahan kecil-kecilan dirayakan.
Kasih sayang yang dilimpahkan oleh Indah dan Edi tak terkira jumlahnya. Ahana tak kekurangan kasih sayang sedikit pun kala itu.
Sampai tiba di mana saat seorang bayi perempuan lahir di tengah-tengah keluarga Sucipto.
Awalnya tak ada perubahan apa pun, semuanya sama seperti biasa namun, saat usia bayi kecil bernama Rania Ananda itu menginjak 5 tahun, semuanya berubah drastis.
Kasih sayang sang ayah tercurahkan pada adiknya dari pernikahan keduanya.
Sekelebat rasa iri, dibeda-bedakan, terlintas dalam diri Ahana. Namun, gadis itu mencoba berpikir positif karena ajaran itu yang selalu sang ibu katakan padanya.
"Mungkin karena Rania lebih muda dariku," gumam Ahana tersenyum manis.
Gadis cantik itu mencoba bergabung dengan Rania yang membuka oleh-oleh dari ayahnya setelah pulang dinas dari luar kota.
"Ayah sudah pulang?" tanya Ahana tersenyum pada Edi.
"Iya," sahut Edi begitu singkat karena ia sibuk memperlihatkan barang-barang yang ia belikan untuk Rania.
Ahana hanya diam. Namun, senyum palsu coba ia perlihatkan.
"Wah, mainannya bagus sekali," puji Ahana melihat mainan yang ada di tangan Rania.
"Tentu saja karena aku sudah meminta ini pada Ayah," sahut Rania tersenyum meledek pada Kakaknya.
"Rania! tidak boleh seperti itu, mama tidak pernah mengajarkan Rania bersikap tidak sopan pada Kakak, ya!" Indah menegur Rania dan ibu sambung itu langsung duduk di samping Ahana yang tersenyum ke arahnya.
"Namanya juga anak-anak." Edi membela putri bungsunya sembari mengusap lembut kepala Rania.
"Itu akibatnya, jika anak dimanja," kesal Indah pada suaminya.
Ahana hanya diam mendengarkan perselisihan kecil antara sepasang suami istri tersebut.
"Ini untuk Ahana." Edi memberikan sebuah buku pada putri sulungnya.
Rania tertawa meledek Ahana karena hanya sebuah buku saja oleh-oleh yang ia dapatkan dari ayahnya.
"Rania!" tegur Indah lagi.
"Punya Kakak Ahana hanya buku, sementara hadiah yang aku dapatkan lebih banyak dari Ayah," ledek Rania.
Sang adik menjulurkan lidahnya merasa menang dari sang kakak.
"Rania!" tegur Indah kembali pada putrinya.
"Tidak apa-apa, Ma! lagi pula, aku sudah bisa menulis. Jadi, buku ini sangat pas untuk menemaniku, 'kan?" ujar Ahana tersenyum pada semua orang di sana.
Indah tersenyum melihat Ahana yang memiliki jiwa begitu besar, sama seperti mendiang ibunya.
Ahana lebih memilih melihat televisi saja daripada harus banyak berdebat dengan adiknya, saat layar televisi itu muncul, wajah anak lelaki yang begitu tampan terpampang nyata di layar yang berukuran cukup lebar.
Ahana tersenyum melihat wajah anak lelaki tersebut. "Kenapa tersenyum? Apa anak laki-laki itu terlihat tampan?"
Suara yang begitu lantang melunturkan senyuman Ahana yang begitu manis dari bibirnya.