7. Terjerat Rayuan Mas Bram

1954 Words
Sudah satu minggu Hapsari kembali bekerja di kantor perkebunan milik mendiang suaminya yang saat ini menjadi di hak waris Gendis. Hapsari membantu Adiwijaya untuk mengelola perkebunan itu. Namun karena Wijaya sudah memiliki usaha lain, maka dia mencari seorang asisten untuk membantu Hapsari dalam mengelola perkebunan milik mendiang Adiwilaga. Siang itu ketika Hapsari hendak menemui Wijaya yang kebetulan ada di kantor. Saking terburu-burunya tidak sengaja Hapsari menabrak seseorang yang baru saja keluar dari ruangan Wijaya. Brakkk!!! “Aw!” “Maaf!” Hapsari merasa dia bersalah karena sudah menabrak seseorang yang berjalan di hadapannya. Sehingga dia berinisiatif untuk meminta maaf terlebih dahulu. Namun tatapan Hapsari bergeming sejenak setelah melihat seseorang yang tengah tersenyum kepadanya. “Mas Bram?” Ya! Siang itu Hapsari menabrak Mas Bram sesaat setelah pria Flamboyan itu keluar dari ruangan Wijaya. Seperti kesepakatan yang sudah dibuat oleh Bramantyo dan Laksmi. Hari itu Bramantyo menemui Adiwijaya. Dia memberikan berkas lamarannya sesuai dengan rekomendasi Laksmi. Ternyata hari itu Bramantyo diterima bekerja sebagai asisten Wijaya yang ditugaskan untuk membantu dan menggantikan posisinya ketika Wijaya sibuk mengurusi bisnis perkayuannya. Hal yang ditunggu Bramantyo akhirnya terjadi juga saat itu. Dia yang penasaran bagaimana penampilan Hapsari saat ini ternyata justru bertemu dengan wanita lemah lembut itu di depan ruangan Wijaya. Ditatapnya wanita itu dengan nanar. Lantaran terlihat semakin cantik dan keibuan. “Hapsari?” Bramantyo berpura-pura tidak mengetahui kalau Hapsari juga mengelola perusahaan itu. “Ya ampun! Mas Bram, kok bisa ada di sini?” Hapsari terkejut melihat mantan kekasihnya ada di sana. “Kamu juga kok bisa ada di sini?” Bramantyo sangat mahir memainkan peran. Sebagai seorang pria Flamboyan yang memiliki kharisma menawan serta daya pikat yang tinggi membuat Bramantyo bisa memainkan peran apa pun asalkan menguntungkan untuk dirinya. “Aku bekerja di sini, Mas! Membantu Wijaya mengelola perusahaan ini. Lalu kamu sendiri kelihatannya baru saja keluar dari ruangan Wijaya?” Hapsari benar-benar polos dan tidak mengetahui skenario yang dibuat oleh Bramantyo dan juga Laksmi. “Saya baru saja memberikan berkas lamaran dan diterima bekerja di sini!” Bramantyo menampakkan wajah yang terkejut seakan-akan takdir tidak sengaja mempertemukan mereka. “Oh, ya? Di bagian apa, Mas?” Hapsari merasa bahwa takdir kembali mempertemukan mereka. “Sebagai asisten Pak Wijaya. Kabarnya Beliau membutuhkan seorang asisten yang bisa diandalkan untuk membantunya mengelola perusahaan ini, saat beliau disibukkan dengan bisnis yang lain. Oh, jangan-jangan tugas saya adalah membantu kamu?” Bramantyo benar-benar memaksimalkan kemampuannya dalam menjerat perhatian Hapsari. “Mungkin ... bisa jadi, memang sebenarnya Wijaya itu memiliki bisnis lain yang sudah digelutinya sejak lama. Namun karena Mas Adiwilaga meninggal, akhirnya Wijaya dengan sungguh-sungguh membantu mengurus perusahaan ini. Lalu setelah aku pulih dari keterpurukan itu, aku berusaha untuk kembali mengelola perusahaan ini bersama Wijaya. Mungkin saja Wijaya mencari seseorang yang berkompeten agar bisa menggantikan perannya saat Wijaya harus membagi waktunya dengan bisnis perkayuannya itu.” Dengan polosnya Hapsari menjelaskan kronologis kejadian yang sebenarnya kepada Bramantyo. Padahal pria flamboyan itu sudah mengetahuinya. “Jadi ... Saat ini kamu ....” Bramantyo memainkan peran seakan-akan dia tidak tega untuk menyebut Hapsari sebagai janda. “Iya, Mas! Saat ini statusku sebagai single parent yang harus berjuang demi anak gadisku!” Hapsari yang kembali nelangsa berusaha untuk tetap tegar mengingat Gendis yang semakin hari bertambah dewasa. “Saya turut berduka, ya!” Bramantyo menampakkan wajah empati. “Iya, Mas! Itu pun sudah sepuluh tahun yang lalu. Jadi saat ini aku hanya fokus sama masa depan Gendis dan perusahaan yang sudah dirintis oleh mendiang suamiku itu.” Hapsari mengulas senyuman yang menunjukkan bahwa dia adalah wanita yang tegar. “Kalau begitu, saya akan bekerja maksimal untuk membantu kamu dan Pak Wijaya! Berarti sekarang kita jadi partner kerja.” si Pria Flamboyan itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Hapsari. “Tentu saja, Mas! Selamat bergabung di perusahaan ini.” Hapsari berjabat tangan sembari mengulas senyuman hangat kepada Bramantyo. Hari demi hari berlalu bersama embusan angin yang menerbangkan masa lalu. Mereka begitu menikmati kesibukan menjadi rekan kerja. Hingga pada suatu hari, Hapsari dan Bramantyo harus memeriksa keadaan di lapangan karena pembukaan lahan baru di sebelah lahan yang lama sudah selesai seratus persen. Penanaman bibit teh juga sedang berlangsung. Hapsari ingin melihat ke lapangan. Karena Wijaya ada kesibukan lain. Akhirnya Bramantyo menggantikan posisi Wijaya untuk menemani Hapsari pergi ke perkebunan. Setibanya di sana, Hapsari kembali teringat kejadian pahit sore itu. Jadian yang membuatnya merasa trauma selama bertahun-tahun. Langkah Hapsari semakin gontai. Ia menghentikan langkah setelah dia turun dari mobilnya. Saat itu Bramantyo baru menyadari bahwa ada kepedihan yang begitu mendalam yang terpancar dari raut wajah Hapsari. ‘Sepertinya Hapsari masih memendam luka itu. Kehilangan seseorang memang sangat menyakitkan. Makanya saya tidak mau mencintai wanita terlalu dalam. Sudah cukup kehidupan pernikahan yang buruk menjadi suatu kenangan pahit untuk saya,' ujar Bramantyo dalam hatinya sembari menatap Hapsari yang berdiri mematung di sampingnya. “Hapsari?” Bramantyo menepuk bahwa Hapsari sembari mengulas senyuman ke arah wanita itu. “Oh, Maaf, Mas! Aku hanya teringat masa lalu yang pahit itu. Sepuluh tahun lalu, di sini tempat di mana aku berdiri. Di saat itulah aku mendapati kenyataan bahwa suamiku mengalami musibah tanah longsor. Seketika hidupku merasa hampa. Tapi satu hal yang selalu menguatkanku dialah Gendis anak gadisku!” Hapsari kembali teringat tentang masa lalu itu. Sekarang pemandangan di hadapannya sudah berubah menjadi perkebunan teh yang subur. Sedangkan lahan perkebunan teh yang baru, ada di ujung perkebunan teh lama yang menjadi proyek mendiang Adiwilaga. “Tidak apa-apa! Karena kehidupan kita dimasa depan tidak bisa terlepas dari masa lalu yang penuh kenangan. Baik suka, maupun duka semua itu akan terus ikut bersama kita meraih masa depan. Tapi satu hal yang harus kamu ingat! Jangan berlarut-larut dalam kesedihan dan kenangan masa lalu yang pahit!” Bramantyo memegang kedua pundak Hapsari sembari menatapnya dengan menawan dan memberikan motivasi untuk Hapsari. Pria Flamboyan itu sangat mumpuni dalam meraih hati seorang wanita. Seperti perasaan Hapsari yang seakan-akan terhanyut dalam perhatian dan sikap lembut dari seorang Bramantyo. Namun Hapsari tersadar kalau Bramantyo sudah memiliki istri. “Maaf, Mas! mungkin aku terlalu terbawa suasana ketika kita berdekatan. Tapi aku tidak mau menjadi duri dalam pernikahanmu, Mas!” Hapsari melepaskan diri dari sentuhan kedua tangan Bramantyo yang ada di pundaknya. “Oh, saya minta maaf kalau saya malah membuat kamu merasa tidak nyaman!” Bramantyo mengulas senyum sembari terkekeh. “Memangnya ada yang lucu, ya?” Hapsari merasa ada yang janggal. “Tidak ada yang lucu, kok! Hanya saja sekarang saya sudah berpisah dengan istri saya!” ucap Bramantyo sembari menatap Hapsari. “Oh, maafkan aku, Mas! Aku benar-benar tidak tahu kalau Mas Bram sudah berpisah!” Hapsari benar-benar terkejut mendengar ucapan Bramantyo yang menyatakan bahwa dirinya sudah berpisah dengan mantan istrinya. Hal itu berarti Bramantyo sudah menduda. “Santai aja! Takdir sepertinya kembali mempertemukan kita ya! Bukan berarti saya tidak menghargai masa lalu kamu. Tapi memang kenyataannya kita kembali bertemu dengan status kita yang baru,” ucapan Bramantyo membuat Hapsari merasakan jantungnya kembali berdegup setelah sekian lama tidak pernah merasakan hal itu. “Kamu bisa saja, Mas!” Hapsari menunduk malu. “Ya sudah! Hari semakin siang dan panas makin terik! Lebih baik kita segera pergi ke lahan perkebunan yang baru! Kalau kamu merasa kembali bersedih ketika kenangan itu tiba-tiba muncul saat kamu melintas perkebunan ini, genggam saja tangan saya! Mungkin dengan begitu bisa mengurangi luka batin yang belum bisa kamu lupakan!” lagi-lagi Bramantyo memainkan peran yang membuat Hapsari terbuai dengan gombalan-gombalan pria Flamboyan yang dirasa romantis dan mampu meluluhkan hati para wanita. *** Semenjak kejadian di perkebunan itu, hubungan antara Hapsari dengan Bramantyo menjadi semakin dekat dan seakan membuka kembali kisah lama yang mulai bersemi. Hal itu sangat kentara ketika mereka berjumpa di kantor. Mereka akrab, dekat, dan intens dalam berkomunikasi. Hal itu membuat Wijaya menyimpan sebuah tanda tanya besar di dalam benaknya. Hingga akhirnya Wijaya menemui Hapsari ke ruangannya. Bramantyo sedang sibuk, karena mendapat tugas untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang harus disetorkan kepada Wijaya siang ini. Wijaya dan Hapsari berbincang-bincang di ruangan Hapsari. Setengah Wijaya menanyakan kabar Gendis, dia langsung mempertanyakan hubungan antara Hapsari hari dengan Bramantyo. “Maaf, Mbak! Belakangan ini kelihatannya Mbak Sari akrab sekali dengan Pak Bramantyo. Apa memang sebelumnya Mbak Sari mengenal Pak Bramantyo?” Wijaya Yang penasaran tidak malu untuk mempertanyakan hal itu. “Memangnya keakraban kami sangat kentara ya?” Hapsari mengulas senyuman sembari mengingat hari-hari indahnya bersama Bramantyo. “Iya kalau menurut orang lain saya nggak tahu Mbak, berdasarkan penglihatan saya dan saya merasakannya.” Wijaya terus mendesak Hapsari untuk menjawab. “Ya, memang dulu pas zamannya Cinta monyet, bisa dibilang Mas Bram adalah Cinta monyetnya aku, Jay!” “Oh, ya?” Wijaya sangat terkejut mendengarnya. “Iya, jodoh memang nggak ada yang tahu ya! Dulu Mas Bram dijodohkan dengan seseorang dan akhirnya mereka menikah. Patah hati itu justru mengantarkan aku menemukan seseorang yang mampu menjadi pelipur lara dan cinta sejatiku Mas Adiwilaga. Namun takdir berkata lain dan Mas Adiwilaga pulang lebih awal. Saking terpukulnya, Mbak sempat depresi. Tapi setelah berusaha mengikhlaskan semuanya, justru takdir kembali membawa Mbak ke dalam kehidupan Mas Bram. Ternyata Mas Bram juga berstatus duda!” Hapsari terlihat bahagia dengan senyuman hangatnya. Namun mendengar hal itu Wijaya sepertinya merasa sedikit cemburu. “Oh, kebetulan banget ya, Mbak! Tapi lihat Mbak udah kembali senyum seperti ini aku benar-benar ikut bahagia, Mbak!” Wijaya memang merasa senang melihat Hapsari bahagia tapi ada perasaan cemburu walaupun sedikit di dalam lubuk hatinya. Dia merasa kehilangan sosok Hapsari yang dewasa, keibuan, sabar, dan lembut. Tapi juga dia merasa hal itu tidak pantas. Mengingat Wijaya sudah memiliki istri yang sangat dia cintai—Laksmi. Dia tidak mau kehilangan Laksmi. ‘Entah perasaan apa yang menggelayut dalam benakku ini! Tidak jelas! Seharusnya aku ikut bahagia kalau Mbak Sari juga bahagia sama Pak Bramantyo itu. Mungkin aku merasa kehilangan sosok kakak ipar yang selama ini perhatian dan baik sama aku dan Laksmi. Mbak Sari juga sangat menyayangi Mas Aga! Mungkin aku belum siap kalau Mbak Sari menikah lagi dengan orang lain. Karena aku menganggap Mbak Hapsari satu-satunya wanita untuk kakakku. Mungkin perasaan cemburu yang muncul dari dalam hatiku seperti itu!’ ujar Wijaya dalam artinya sembari mengernyitkan dahi untuk memperjelas perasaan yang samar. “Hei! Kamu mikirin apa?” Hapsari mengernyitkan dahi sembari menatap Wijaya yang terlihat melamun. “Nggak apa-apa kok Mbak! Jadi sekarang Mbak Sari sama Pak Bramantyo udah itu?” Wijaya mengangkat kedua tangan dan kedua jarinya seperti simbol tanda petik. “Hah? Apa maksudnya?” Hapsari terkekeh melihat sikapku Wijaya. “Maksudnya Cinta lama bersemi kembali Mbak?” Wijaya sangat penasaran dengan hubungan antar Hapsari dan Bramantyo. “Ya bisa dibilang seperti itu lah! Mungkin dalam waktu dekat ini Mbak juga akan mengenalkan Mas Bram ke Gendis. Lalu setelah itu Mbak akan dikenalkan juga kepada anaknya Mas Bram. Seusia Gendis dan sama-sama cewek.” Hapsari terlihat sangat bahagia. Namun justru hal itu membuat Wijaya semakin gelisah. “Bagus lah Mbak kalau gitu! Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik buat Mbak sama Gendis. Aku harap Mbak nggak melupakan aku sama Ibu, ya! Walau bagaimanapun juga di dalam tubuh Gendis mengalir darah Mas Adiwilaga. Ya ... Rasanya ada senang, ada kehilangan juga nih kalau nanti Mbak nikah sama Pak Bramantyo.” Wijaya merasa kalau rasa cemburunya itu lebih cenderung ke arah kehilangan sosok kakak ipar yang dahulu pernah merajut kehidupan dengan kakak kandung Wijaya. “Tentu saja! Walau bagaimanapun juga, Gendis tetap cucu dari Nyonya Bestari. Mbak juga masih tetap ikut mengelola perusahaan ini sama kamu, dan Mas Bram juga nantinya!” Hapsari mengulas senyuman bahagia kepada Wijaya. Melihat hal itu Wijaya kembali merasa lebih gelisah dari sebelumnya. Walau bagaimanapun juga Wijaya harus tetap mendukung keputusan mantan kakak iparnya itu. “Semoga lancar sampai hari-H, ya, Mbak!” Wijaya hanya bisa mendoakan dan mengulas senyuman hangat sebelum dia meninggalkan ruangan Hapsari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD