bc

Tirai Cinta

book_age18+
433
FOLLOW
1.0K
READ
love-triangle
family
friends to lovers
goodgirl
confident
inspirational
heir/heiress
drama
bxg
small town
like
intro-logo
Blurb

Gendis Paramitha adalah seorang kembang desa di sebuah desa terpencil penghasil bunga potong. Masa lalu yang pernah ia lalui bersama ibunya, membuat Gendis menyamar menjadi sosok yang baru, untuk menutupi jati diri yang sebenarnya.

***

Seiring berjalannya waktu, Gendis bertemu dengan seorang pemuda sederhana yang selalu memberikan motivasi padanya, bernama Tama. Hingga suatu ketika, pesanan bunga yang datang dari kota mengantarkan Gendis masuk ke dalam kehidupan Marchel seorang pengusaha kaya raya yang terobsesi pada Gendis. Tentunya Tama tidak tinggal diam, mereka bersaing memperebutkan cinta Gendis.

Pertemuan Gendis dengan Marchel, mengantarkan Gendis pada gerbang masa lalunya. Satu persatu tirai kehidupan yang selama ini Gendis rahasiakan, mulai terbongkar. Namun setelah rahasianya terbongkar, Gendis justru harus berhadapan pada dilema cinta segitiga.

Siapakah sebenarnya Gendis Paramitha? Hubungan apa yang membuat Marchel mengantarkan Gendis pada masa lalunya? Pada siapa Gendis akan melabuhkan cintanya? Pada Tama, seseorang yang selalu memberikan semangat pada Gendis? Atau pada Marchel, sosok yang membuat Gendis kembali menemukan jati dirinya?

Cover vector by Riandra_27

Background dan font by PicsArt Premium

chap-preview
Free preview
1. Awal Bersamanya
Suara senda gurau bahagia terdengar dari sebuah ruang keluarga yang cukup besar, di dalam rumah megah milik Adiwilaga. Ia adalah seorang juragan perkebunan teh yang berasal dari salah satu wilayah penghasil teh di Jawa Tengah. Rumah megah dua lantai berdiri kokoh di sebuah desa yang rata-rata penduduk desanya bermata pencaharian sebagai buruh perkebunan teh. Banyak saudagar teh yang kaya di wilayah itu. Salah satunya adalah Adiwilaga. Pria gagah dan berwibawa yang memiliki seorang istri dan anak. Istrinya bernama Hapsari dan buah hati mereka bernama Gendis Paramitha yang masih balita. Mentari pagi mulai menghangatkan ibu pertiwi. Mengusir gumpalan kabut yang muncul sejak temaram subuh tadi. Hangat mentari pagi ini di sambut senyuman bahagia keluarga Adiwilaga yang tengah bersarapan sembari berbincang ringan di ruang makan. “Mah ... kelihatannya Gendis sudah semakin pintar.” Adiwilaga tersenyum melihat Hapsari yang duduk bersebelahan dengan Gendis. “Alhamdulillah, Pah ... udah bisa dibilangin, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh ... makin pinter pokoknya.” Hapsari mengusap kepala Gendis. “Berarti udah bisa tambah momongan dong?” Adiwilaga menggoda istrinya yang masih terlihat cantik karena memang masih berusia 26 tahun. Adiwilaga dan istrinya terpaut tujuh tahun lebih tua Adiwilaga. “Papah ini bisa aja ngerayu Mamah!” Hapsari yang tersipu, merona pipinya. “Wajar kan kalau Papah godain?” Adiwilaga mengedipkan sebelah matanya pada Hapsari. “Pah ... pagi-pagi sudah genit!” Hapsari hanya tersenyum malu pada suaminya. “Eh ... Papah serius, Mah! Gimana kalau kita bulan madu lagi? Biar asik kalau nambah momongan, Mah!” Adiwilaga kembali tersenyum, lalu menyantap sarapan yang ada dalam piringnya. “Nanti Gendis sama siapa, Pah?” Hapsari tidak mau berpisah dari Gendis. “Ya kita ajak, Mah! Sekalian sama Mbak Murni dan Mbok Ijah, buat mengasuh sekaligus jagain Gendis kalau kita lagi indehoy.” Goda Adiwilaga pada istrinya. “Ih, Papah? Genit! Pagi-pagi sudah bahas indehoy!” Pipi Hapsari semakin memerah, lantaran suaminya menggodanya. “Lho, Mamah ini ... wajar, kan? Soalnya Mamah ini lope-lopenya Papah, Mamah ini makin cantik, aura keibuannya membuat Papah selalu kangen sama Mamah.” Adiwilaga mengelus dagu Hapsari. “Udah, ah! Pagi-pagi udah gombalin Mamah!” Hapsari semakin tersipu. “Mau ya, Mah? Kan seminggu lagi urusan pembukaan lahan teh Papah yang baru, insya Allah sudah selesai, jadi Papah bisa ajak Mamah jalan-jalan, sekalian bulan madu bikin dedeknya si Gendis.” Adiwilaga kembali menatap istrinya dengan mengedipkan mata. “Hmmm... Apa sih yang enggak buat Papah? Mamah gak bisa nolak, soalnya Papah selalu punya cara buat luluhin hati Mamah!” Hapsari jual mahal dan meledek balik suaminya. “Makin gemes sama Mamah yang makin hari makin cantik.” Adiwilaga merasa bahagia karena usulannya diterima oleh sang istri. Pagi itu Adiwilaga sangat bersemangat pergi bekerja. Hari ini Adiwilaga dan timnya masih dalam tahap pembukaan lahan teh baru di lereng perbukitan. Pengerjaan pembukaan lahan sudah hampir delapan puluh persen. Rencananya penanaman teh akan berlangsung saat musim peralihan setelah musim hujan agar tingkat keasaman tanah menjadi normal. Teh merupakan salah satu komoditas terbesar di Indonesia. Hasil dari perkebunan dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan. Bahkan semua bisa masuk pasar dunia, karena teh sudah menjadi konsumsi dunia. *** Hujan yang mengguyur wilayah itu sangat lebat. Untung saja siang menjelang sore Adiwilaga sudah sampai di rumahnya. Adiwilaga baru saja selesai membersihkan dirinya dan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melingkar di perutnya dan menutupi sebagian dari tubuhnya. Hapsari sedang berbaring sambil membaca majalah di awal tahun dua ribuan. Adiwilaga melangkah menuju istrinya yang kini sedang berbaring membelakangi Adiwilaga. Seketika Hapsari terkejut saat suaminya mengecup leher Hapsari dan merengkuhnya dalam pelukan Adiwilaga. Tatapan keduanya menyiratkan perasaan cinta yang mendalam. Hujan lebat masih terdengar deras di luar jendela. Kamar utama memiliki pemandangan yang asri. Banyak pohon rindang di halaman rumah mereka. Pagar yang tinggi membuat rumah itu terlihat semakin megah dan privasi. Sehingga kamar tidur utama yang berada di lantai satu, memiliki jendela yang banyak dan besar. Pemandangan hijau nan asri terlihat dari dalam kamar. Suasana yang menghanyutkan membuat mereka berdua terhanyut dalam belaian kelembutan. Adiwilaga memeluk erat Hapsari, seakan dirinya tidak ingin berpisah dengan istrinya. Adiwilaga selalu memuja kecantikan istrinya dan bertutur kata lembut. Perhatian Adiwilaga pada keluarga membuat Hapsari selalu merindukan suaminya. Tatapan keduanya membuka celah menggelora dalam sanubari mereka. Bertemunya bibir mereka menjadi awal buaian hangat akan kerinduan sepasang suami istri itu. Tidak ada celah sedikit pun yang Adiwilaga berikan untuk Hapsari memalingkan tatapannya dari dirinya. Lantunan merdu Hapsari membuat Adiwilaga semakin beringas. Perrmainan Adiwilaga atas Hapsari membuat Hapsari terbuai dalam kenikmatan surga dunia di antara rintik hujan dan suhu udara yang pas untuk memadu kasih. Adiwilaga sangat memuja kecantikan istrinya. Adiwilaga sudah hafal setiap jengkal yang ada pada tubuh Hapsari. Rengkuhan lembut membuat Hapsari selalu nyaman bersama Adiwilaga. Bagi Adiwilaga memuji istri adalah pahala yang luar biasa. Begitu pula Hapsari yang selalu melayani suami dengan penuh cinta dan kasih sayang. Mereka terus b******u di antara kenikmatan dan bahagia. Hingga membuat mereka merasakan puncak kenikmatan surga dunia. “Mah ... Love you!” Adiwilaga yang masih menindih tubuh Hapsari tersenyum menatap mata indah nan lentik istrinya. “Love, you too.” Hapsari tersenyum sembari meraba bibir suaminya yang baru saja memujinya. Pasangan yang saling mencintai dan berbahagia karena putri kecilnya semakin tumbuh besar, pintar, dan menggemaskan. Sedang menginginkan menambah momongan. *** Keesokan harinya, mereka bersantap di meja makan seperti biasa. Pagi yang cerah menghangatkan hati dua insan yang saling mencinta. “Pah, tumben minta dibuatkan sarapan nasi pecel?” Hapsari merasa heran karena suaminya yang tidak biasa. Sarapan nasi pecel, tiba-tiba seperti orang mengidam meminta sarapan nasi pecel beserta bakwan. “Papah lagi pengin aja, Mah! Kayaknya enak makan nasi pecel pagi-pagi ... takutnya besok Papah gak bisa sarapan nasi pecel lagi.” Adiwilaga tersenyum menatap Hapsari. “Ih, Papah! Pamali ah bilang begitu! Mbok yao nek ngomong iki sing bener ngono lho, Pah!” Hapsari kesal lantaran suaminya mengatakan hal itu. “Lha bener, kan? Pada hakikatnya, manusia hanya menunggu giliran untuk kembali pada Sang Pencipta.” Adiwilaga semakin mempertegas pernyataannya. “Uwis toh! Pagi-pagi mbok ya ngobrolin sesuatu yang bikin semangat, Pah!” Hapsari tidak mau memperpanjang percakapan tadi. “Ya, maaf ... Mah! Nanti mungkin Papah bakal pulang lebih sore, Mamah tolong jagain Gendis, ya!” “Pah ... biasanya juga setiap hari Mamah jagain Gendis, Papah ini lho! Aneh banget pagi-pagi ... kayak mau pamit ke mana aja!” Hapsari kesal dengan cara bercanda suaminya pagi itu. “Mamah kalau lagi manyun lucu, deh! Papah bakal kangen sama Mamah.” Ucapan Adiwilaga untuk istrinya membuat Hapsari yang sedang manyun langsung tersenyum dan memeluk suaminya. “Pah ... Mamah gak marah sama Papah ... cuman takut kehilangan Papah, gara-gara Papah ngomong kayak tadi! Ojo ngono, Pah! Mamah kan jadi takut!” Hapsari jujur pada Adiwilaga. “Mah ... apa pun yang terjadi, Mamah akan tetap selalu ada dalam hati Papah ... walau maut memisahkan kita sekalipun.” Adiwilaga semakin mempererat dekapannya pada Hapsari. “Aw ... sakit, Mah!” Adiwilaga terperanjat dari pelukannya. Lantaran Hapsari mencubit perut Adiwilaga. “Papah! Udah Mamah bilang jangan ngomong yang aneh-aneh! Masih saja ngomong yang aneh-aneh! Udah ah, sebel!” Hapsari kembali manyun dan membereskan piring setelah selesai sarapan. Adiwilaga hanya tersenyum melihat tingkah istrinya. *** Hari semakin siang dan cuaca semakin mendung. Hapsari yang sedang bermain dengan Gendis mulai merasa gelisah, teringat suaminya yang masih berada di lereng perbukitan, lantaran sedang membuka lahan baru untuk perkebunan tehnya. Hapsari berjalan ke arah jendela. Ia melihat langit berwarna gelap. Tiupan angin yang cukup kencang membuat suasana semakin mencekam. Hapsari dan dua asistennya menutup semua daun jendela yang ada di rumahnya. Suara petir mulai terdengar, walau gerimis baru saja turun. “Mbok Ijah, Mbak Murni, udah sini aja temani saya!” Hapsari terlihat cemas melihat suasana siang itu. “Nggeh, Bu.” Mbok Ijah duduk menemani Gendis. “Kulo damelaken teh anget nggeh, Bu!” Mbak Murni yang melihat majikannya cemas, berinisiatif membuatkan teh manis hangat. Hujan semakin lebat dan petir kian menyambar. Angin kencang yang berembus seakan memberi pertanda bahwa hati Hapsari mulai gelisah memikirkan suaminya. “Perasaanku tidak enak, semoga Allah selalu melindungi keluargaku.” Doa Hapsari dalam hatinya. Di luar sana hujan yang turun semakin lebat. Angin yang bertiup mulai kencang, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Hapsari semakin tidak enak hati memikirkan suaminya. Banyak pertanyaan dalam hatinya. Bagaimana keadaan suaminya? Bagaimana keadaan di sana? Semua pertanyaan membuncah dalam benak Hapsari.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.2K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Wedding Organizer

read
47.0K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

True Love Agas Milly

read
197.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook