2. Melihat Senyummu

1790 Words
Hujan yang turun semakin deras melanda wilayahnya siang itu. Hapsari resah menunggu kabar dari suaminya. Pada awal tahun dua ribuan, ponsel belum banyak seperti zaman sekarang. Alat komunikasi jarak jauh yang digunakan adalah pesawat telepon yang biasanya dipasang di kantor-kantor, rumah, dan wartel (warung telepon). Sehingga perasaan resah yang dirasakan Hapsari melanda relung hatinya yang terdalam. “Mas Aga, semoga Mas baik-baik saja.” Hapsari berbicara dalam hatinya. Ia termenung melihat suasana hujan lebat disertai angin kencang di luar jendela. Gendis sudah tertidur pulas ketika hujan berhenti siang menjelang sore itu, tetapi Hapsari masih belum dapat memejamkan matanya. Kedua asisten rumah tangganya pun sudah beraktivitas seperti hari-hari biasanya. “Hari makin sore, tapi Mas Aga belum juga pulang ... aku semakin khawatir.” Hapsari masih mondar-mandir di kamarnya sembari berbicara sendiri. Hapsari yang merasa resah memutuskan untuk beribadah pada Allah, karena waktu telah memasuki Asar. Dengan berdoa, hati Hapsari menjadi lebih tenang. Ia menoleh pada putrinya yang sedang terlelap tidur. Tok! Tok! Suara Mbok Ijah memanggil Hapsari diiringi ketukan pintu. “Bu, wonten telepon saking kantor.” Wanita paruh baya itu masih memanggil Hapsari. “Iya, Mbok ... Sebentar!” Hapsari bergegas melipat mukena yang ia pakai dan ke luar menemui si mbok. Hapsari membuka pintu dan langsung berjalan untuk menerima telepon dari kantor suaminya. “Assalamualaikum, selamat sore?” Jantung Hapsari berdebar kencang saat menerima telepon itu. “Wa’ alaikumsalam, Bu ... ini dari Kantor. Sebelumnya saya minta maaf kalau apa yang saya sampaikan membuat Ibu jadi gelisah, ini saya disuruh Pak Mandor, mengabarkan pada Ibu kalau lokasi lahan baru perusahaan Pak Adiwilaga terkena musibah tanah longsor.” “Innalillahi, ya Allah ... Pak Adiwilaga bagaimana? Keadaannya? Apa Bapak ada di situ?” Hapsari merasa sangat tidak tenang. “Ibu, lebih baik Ibu ke mari saja! Kelihatannya Pak Adiwilaga masih di lokasi kejadian.” “Oh, ya sudah terima kasih! Saya segera ke sana.” “Baik, Bu ... Assalamualaikum.” “Wa’ alaikumsalam.” Hapsari menutup teleponnya. Tampaknya suasana sore itu semakin membuat Hapsari gelisah. Ia langsung saja berganti pakaian dan memanggil sopir pribadinya untuk mengantarkan Hapsari ke lokasi tanah longsor, tempat pembukaan lahan perkebunan teh milik suaminya. “Mbok Ijah ... Mbak Murni ....” Suara Hapsari terdengar memanggil mereka. “Nggeh, Bu.” Mbok Ijah dengan segera menghampiri majikannya. “Mbok tolong panggilkan Mas Ripin buat antar saya ke perkebunan, nanti tolong sampaikan ke mbak Murni buat nemenin Gendis, mungkin saya pulang agak malam, tolong ya, Mbok!” Hapsari meminta tolong pada asisten rumah tngganya. “Nggeh, Bu ... mangke kulo sanjng teng Murni.” (“ Iya, Bu ... nanti saya sampaikan ke Murni.”), Mbok Ijah melihat kegelisahan di wajah Hapsari. “Makasih ya, Mnok!” Hapsari bergegas. “Hati-hati, Bu.” Mbok Ijah merasa ada sesuatu yang tidak biasa. *** Sopir pribadi keluarga Adiwilaga yang bernama Ripin mengantar Hapsari ke perkebunan. Sepanjang perjalanan, Hapsari merasakan firasat tidak enak dalam hatinya. Namun, Hapsari tetap berpikir positif untuk menenangkan hatinya. Lahan perkebunan yang terkena musibah longsor berada tidak jauh dari kantor milik Adiwilaga. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang lebih tiga puluh menit dari rumahnya. Setibanya Hapsari di lereng perkebunan, dirinya mendapati banyak garis polisi di sana. Sepertinya longsoran yang terjadi lumayan besar di sana. Langkah Hapsari gontai ketika melihat banyak orang di sana. Termasuk tim sar gabungan beserta relawan yang sedang mencari sesuatu di sana. “Pak, bagaimana keadaan suami saya?” Hapsari menghampiri salah satu orang kantor yang berada di sana. “Eh, Bu ?” Pegawai di kantor Adiwilaga menyadari kedatangan Hapsari. “Pak Bagus, bagaimana keadaan di sini? Lalu suami saya di mana? Apa sedang ikut melihat lokasi?” Hapsari sangat tercengang melihat keadaan lokasi longsoran. Pria itu bergeming, tanpa tahu harus menjelaskan seperti apa pada istri dari bosnya. Bagus masih menunduk ketika Hapsari kembali mengulangi pertanyaannya. Riuh suara warga dan tim gabungan dalam mencari para korban membuat Hapsari semakin lemas. Terlebih karena Bagus belum menjawab pertanyaannya. Sudah beberapa menit berada di sana, tetapi Hapsari tidak mendapati suaminya tampak berada di sana. “Pak Bagus ... apa yang sebenarnya terjadi? Di mana suami saya, Pak?” Hapsari menarik lengan baju Bagus. Ripin sopir pribadi keluarga Adiwilaga tengah menyadari sesuatu yang ganjil. Dirinya mencoba menenangkan majikannya yang sudah mulai mencurigai sesuatu hal yang buruk terjadi pada suaminya. Keadaan semakin tak terkendali ketika beberapa tim sar terlihat membawa kantung jenazah korban tanah longsor tersebut. Gerimis mulai turun kembali sore itu. Hapsari tidak peduli dirinya yang mulai basah terkena gerimis gang semakin rapat. “Di mana suami saya? Bagus, jawab!” Hapsari mulai berteriak tidak tenang. Sementara beberapa warga di sana mencoba menenangkan Hapsari. “Bu, saya minta maaf ... sejak hujan lebat itu, Pak Adiwilaga beserta beberapa pegawai dan buruh belum kembali dari lokasi, hingga bencana itu terjadi.” “A—pa? Mas Aga ... Bagus, jangan bercanda! Saya mohon, katakan di mana suami saya? Ya Allah ... Mas Aga ... Mas ....” Hapsari melangkah gontai menuju lokasi longsoran. Beberapa wanita yang merupakan penduduk sekitar berusaha menghentikan langkah Hapsari, tetapi hal itu tidak bisa dihentikan. “Jangan halangi saya, Bu! Saya mohon! Saya mau bertemu suami saya....” mereka masih berusaha menghentikan Hapsari. “Bu, jangan ke sana! Bahaya, Bu! Apa lagi gerimis kembali turun ... Ayo, Bu! Kembali ke sana!” salah seorang wanita itu membujuk Hapsari. “Tapi suami saya butuh pertolongan saya, Bu! Saya mohon tolong suami saya ... Aaarrrggghhh!” teriak Hapsari di antara ketidakmampuannya untuk menahan kepedihan, kehilangan, dan air mata. Bagus sangat tidak tega mengatakan hal itu pada Hapsari. Lantaran keluarga Adiwilaga dikenal sebagai keluarga yang ramah dan peduli pada lingkungan serta warga sekitar. Kebaikan hati Adiwilaga menyisakan luka kehilangan dari orang-orang yang menyayanginya. Hapsari memaksa berlari ke arah runtuhan bukit itu. Di antara rintik hujan, Hapsari kehilangan akal sehatnya. Ia menerobos garis polisi, hingga beberapa tim sar gabungan berusaha menenangkannya dan menahannya untuk tidak terlalu jauh berjalan. Lantaran bukit itu masih labil dan takut akan ada longsor susulan. Hapsari menangis di antara rintik hujan. Tak terlihat, tapi hatinya terasa pedih. Hapsari masih berusaha menerobos barikade, hingga dirinya tak berdaya jatuh bersimpuh di atas tanah itu. Ia masih berusaha menggali dengan tangannya. Pikirannya kacau dan telah kehilangan akal sehatnya. Sesuatu yang pasti, Hapsari kehilangan orang yang sangat ia cintai. Rasa tidak percaya yang membuncah, membuatnya shock dan sesak. Kini Hapsari di bawa pulang karena pingsan. Hapsari masih dalam alam bawah sadarnya. Seakan dirinya berada di padang rumput yang sangat luas dengan bunga Dandelion beterbangan tersapu angin. Hapsari melihat sekelilingnya yang indah dan damai. Kemudian ia mendapati seseorang yang tengah berdiri di salah satu penjuru arah. Jantung Hapsari seakan berdebar melihat sosok itu. Seorang pria yang gagah dan tegap memakai pakaian berwarna putih sedang berdiri membelakangi Hapsari. Namun Hapsari sangat paham dan mengenali sosok itu. Hapsari tidak bisa membedakan mana kenyataan atau halusinasi. Ia tetap berjalan menghampiri pria itu. Angin yang berdesir menyapu beberapa helai rambut Hapsari yang menutupi wajahnya. Hapsari sudah berdiri tepat di belakang pria itu. Tubuhnya meremang seketika, karena Hapsari memahami siapa pria yang berada di hadapannya. “Mas Aga?” Hapsari menepuk bahu pria yang sangat mirip dengan suaminya. Pria itu membalik badan dan kini tatapan Hapsari tertuju pada wajah pria itu. Hapsari tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk pria yang berdiri di hadapannya. “Mas Aga, kenapa diam saja?” “Mas? Ini benar-benar nyata kan, Mas?” Pria itu masih terdiam tak berbicara. Hapsari semakin memeluknya dengan erat. “Mas ... kenapa diam saja? Mas ini kenyataan kan, Mas? Aku takut kehilangan Mas Aga.” Hapsari masih memeluk erat suaminya. Sosok yang menyerupai Adiwilaga pun memeluk erat Hapsari. Ikatan batin antara mereka berdua terasa sangat mendalam. Hingga Hapsari bingung membedakan kenyataan dan juga halusinasi. Namun perasaan nyaman itu membuat Hapsari yakin jika sosok pria yang berada dalam pelukannya adalah Adiwilaga. Hapsari melepas pelukannya. “Mas kenapa tubuhmu tiba-tiba terasa sangat dingin?” Hapsari melihat sosok itu semakin pucat. “Mas jawab, Mas! Jangan diam saja! Mas apa tidak merindukanku?” Hapsari merasa ada yang berbeda dengan sosok Adiwilaga saat itu. Pria itu hanya menatap Hapsari dengan raut wajah pilu. Matanya menyimpan sejuta kerinduan mendalam pada Hapsari. Namun tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata. Tangan kembut Hapsari perlahan mulai diraih dan digenggam sosok yang mirip dengan Adiwilaga. “Aku selalu mencintai dan merindukanmu ... jaga cinta kita dalam jiwa Gendis, maafkan aku yang tak bisa lagi menjagamu dan juga Gendis, percayalah! Cinta Mas padamu, akan sampai pada keabadian,” ujar pria yang menyebut dirinya sebagai Adiwilaga. “Mas? Apa yang kamu bicarakan?” Hapsari merasakan getaran pilu dalam hatinya. “Aku selalu mencintaimu, Hapsari.” Tatapan penuh kebingungan Hapsari dibalas ciuman mesra sosok Adiwilaga. Hapsari tak mampu berkata apa pun. Ciuman hangat yang selalu ia rasakan dari Adiwilaga. Namun Hapsari merasa ciuman itu adalah ciuman terakhir dari Adiwilaga. Sosok Adiwilaga melepas ciuman pada ranum halus Hapsari. Ia menatap kembali mata Hapsari dan mencium keningnya. “Selamat tinggal, Sayang ... ikhlaskan kepergianku.” Suara terakhir dari sosok Adiwilaga sebelum sosok itu hilang bersama angin yang berdesir di padang rumput Dandelion. “Mas?” “Mas, Aga?” “Mas, jangan pergi!” “Mas Aga!” Hapsari memanggil-manggil nama suaminya. “Mbak ... Mbak Sari, Mbak?” suara seseorang terdengar oleh Hapsari. Seketika Hapsari bingung dari mana datangnya sumber suara itu. “Mbak ... sadar Mbak!” suara itu kembali terdengar, tapi Hapsari masih dalam alam bawah sadarnya, hanya saja ia dapat mendengar suara seseorang. “Bu ... bangun, Bu!” suara Mbok Ijah membuat Hapsari tersadar jika apa yang barusan ia lihat dalam alam bawah sadarnya hanya halusinasi. “Mbak?” suara itu terdengar lagi. Kini Hapsari berusaha kembali pada kesadarannya. Matanya masih terpejam, tapi telinganya sudah mampu mendengar suara di sekitarnya. Ia berusaha membuka mata setelah mendengar suara Gendis. “Mama ... Mama ....” suara Gendis mampu membuka mata Hapsari. Perlahan Hapsari membuka matanya dan mengingat semua yang terjadi padanya. Ia melihat Gendis sudah duduk di sampingnya. Ia tersenyum pada Hapsari. Senyuman itu membuat Hapsari tersadar bahwa ia harus menghadapi kenyataan. Walau pahit sekalipun, Hapsari berharap dirinya bisa menerima semua yang telah terjadi. Hapsari berharap jika suaminya masih hidup. Ia melihat ada istri dari adik iparnya, adik ipar, serta dua asisten rumah tangganya. Mereka berkumpul mengelilingi Hapsari. “Mbak? Sudah mendingan? Ini Mbak diminum dulu!” Laksmi memberikan segelas teh manis hangat pada Hapsari. Laksmi adalah istri dari adik ipar Hapsari yang bernama Adiwijaya. Hapsari mengangguk dan perlahan meminum teh manis hangat yang diberikan Laksmi padanya. Hapsari sudah meminum teh manis hangat itu. “Dek, sejak kapan kalian datang?” Hapsari bertanya pada Laksmi. “Setelah Magrib kami tiba di sini, Mbak yang sabar ya! Tim sar masih mencari keberadaan Mas Aga.” Laksmi yang lemah lembut mampu menenangkan hati Hapsari. Pasalnya Hapsari berharap jika suaminya masih bisa selamat dari bencana itu. “Berapa lama aku pingsan, Mbok?” Hapsari menatap Mbok Ijah. “Dari tadi sore, Bu ... kulo khawatir sanget ningali Ibu pingsan.” Mbok Ijah sangat mengkhawatirkan keadaan Hapsari sore tadi. “Dek, belum ada kabar lagi tentang Mas Aga?” Hapsari kembali menanyakan informasi terkini. “Belum, Mbak ... tadi sore hujan turun lagi, jadi pencarian dihentikan sementara waktu ... Laksmi harap, Mbak Hapsari bisa tegar apa pun yang terjadi, walau berat ... lihat Gendis, Mbak!” Laksmi menyadarkan Hapsari tentang semua yang terjadi adalah keputusan Tuhan yang tidak dapat dihindari. Hapsari menatap Gendis yang kini berada dalam dekapannya. Sorot mata polos dari Gendis, membuat Hapsari menguatkan diri untuk tetap tegar apa pun yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD