3. Masih Membekas

1434 Words
Hapsari harus menelan pil pahit setelah mendapati kabar bahwa suaminya sudah berpulang kepada Sang Pencipta. Jenazah Adiwilaga ditemukan menjelang subuh. Hapsari hanya bisa mematung mendapati kenyataan pahit yang harus dia jalani bersama putri kecilnya—Gendis. Hapsari ingin berteriak untuk meluapkan kesedihan, karena ditinggal orang yang sangat dia cintai. Namun dia sadar. Hal itu tidak akan pernah bisa mengembalikan Adiwilaga ke dunia ini. Hingga dirinya berusaha merelakan takdir yang akan membawanya kepada masa depan. Hapsari masih mematung di depan gundukan tanah berhias nisan bertuliskan nama Adiwilaga. Dia masih berharap kalau semua itu hanyalah mimpi. Namun semuanya adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Wanita itu masih berada di samping makam suaminya. Rintik hujan yang mulai turun seakan menemani Hapsari untuk menyembunyikan kepedihannya. Remuk redam perasaan Hapsari pagi itu. Dia terus melantunkan doa sebagai pengantar Adiwilaga menuju keabadian. “Mbak! Gerimis semakin deras, sebaiknya kita segera pulang! Kasihan Gendis dari tadi menangis terus!” ucap Laksmi kepada iparnya. “Kalian kembali saja ke rumah! Aku masih rindu sama Mas Aga! Titip Gendis, ya Laksmi!” Hapsari berusaha mengatakan hal itu sembari menahan air mata yang mulai menggenang di kelopak matanya. Laksmi bergeming sejenak menatap raut wajah Hapsari. Dia menyadari kepedihan yang begitu mendalam yang dirasakan oleh kakak iparnya. “Biar nanti Pak Ripin menjemput Mbak di sini, ya! Mbak jangan melamun! Aku pulang ke rumah dulu ya Mbak! Kasihan Gendis soalnya!” Laksmi wanita yang begitu lemah lembut berusaha menenangkan Hapsari dan dia memberi waktu kepada Hapsari untuk berada di makam suaminya. Mendengar Laksmi berpamitan. Hapsari hanya mengangguk bersama wajah pucatnya yang kian terlihat layu. *** Hapsari merasa takdir begitu cepat menemani kebersamaan mereka. Bahkan saat ini Hapsari menyandang status janda beranak satu. Pikirannya semakin berkecamuk ketika mengingat masa depan putrinya. Rasa kehilangan masih begitu lekat di dalam benak Hapsari. ‘Bahkan sampai saat ini aku masih mengingat bagaimana Mas Aga menyatakan cinta dan melamarku. Sikapnya lembut dan membuatku nyaman, serta merasa tenang berada di sisinya. Namun takdir berkata lain. Kebersamaan kami begitu cepat berlalu. Mungkin aku pun belum bisa memberikan perhatian dan kasih sayang yang banyak untuknya,' batin Hapsari yang masih terluka mendapati kenyataan pahit. ‘Kamu pergi dalam keadaan baik, Mas! Seperti ucapanmu dalam mimpiku semalam. Cinta di antara kita tidak akan pernah berakhir, semua tumbuh bersama kebahagiaan Gendis. Apa Mas tahu? Saat ini aku bingung bagaimana caranya untuk menghadapi masa depan tanpa kamu, Mas! Rasanya terlalu egois, jika aku ingin menyusulmu! Walaupun kita sudah berada di tempat yang berbeda. Aku yakin cinta kita tetap satu! Semoga doa-doaku, doa orang yang menyayangimu, mampu menerangi jalanmu di sana,' Hapsari sudah tidak dapat lagi membendung tangisannya. Air matanya melebur bersama bulir rintik hujan yang turun pagi itu. Alam seakan berusaha menyembunyikan kepedihan yang dirasa oleh Hapsari. *** Hari-hari Hapsari terasa sepi sepeninggal suaminya. Gendis adalah satu-satunya penyemangat yang dimiliki oleh Hapsari saat itu. Wajah polos balita yang usianya menginjak 3 tahun menjadikan gendis bak malaikat dalam hati Hapsari. Namun tetap saja Hapsari terlihat berbeda dari biasanya. Dia sering terlihat melamun atau pun berdiam diri ketimbang bersama Gendis Adi Wijaya dan Laksmi memutuskan untuk tinggal di rumah mendiang Adiwilaga. Seperti permintaan Nyonya Bestari—Ibunya. Beliau pun ikut tinggal di sana sampai 40 hari setelah kepergian Adiwilaga. Mereka semua berusaha menghibur hati Hapsari sepeninggal Adiwilaga. Namun kebersamaan mereka tampaknya menumbuhkan benih-benih kecemburuan di hati Laksmi. Wanita itu sudah menikah dengan Adiwijaya selama 2 tahun tapi belum juga dikaruniai momongan. Sedangkan mertuanya—Nyonya Bestari selalu menyanjung Hapsari ketimbang Laksmi. Tentu saja Laksmi merasa khawatir. Dia takut kalau ibu mertuanya meminta Adiwijaya untuk menikahi Hapsari. Hal itu terus bergentayangan di dalam benak Laksmi. Hingga pada suatu hari setelah 1 bulan sepeninggal Adiwilaga. Hapsari tengah menemani gendis di ruang keluarga. Gelak tawa bocah balita itu seakan memberi warna baru di rumah Adiwilaga. Suaranya terdengar hingga dapur. Tepat saat Laksmi tengah membantu itu Mbak Murni untuk menyiapkan sarapan pagi. Kebetulan, di sana Nyonya Bestari sedang membuat teh untuk dirinya sendiri. “Dengar tuh! Ramaikan kalau ada anak di rumah! Suasananya jadi nda sepi. Terus kalau ada anak, hubungan suami istri jadi makin harmonis, kan! Bener kan Mbak Murni?” Nyonya Bestari tengah menyindir Laksmi yang sampai detik ini belum ada tanda-tanda untuk memiliki momongan. “Nggih Nyonya!” jawab Mbak Murni yang hanya bisa menjawab “iya”, karena asisten rumah tangga itu mengetahui bagaimana tabiat Nyonya Bestari yang terkadang berbicara ceplas-ceplos dan tidak memikirkan perasaan orang lain. “Harusnya kamu sama Adi Wijaya itu usaha! Pergi ke dokter lah! atau ke alternatif! Emangnya kamu nda ingin cepat punya momongan?” ucapan pedas Nyonya Bestari rupa-rupanya menusuk hati Laksmi yang tengah memotong wortel. ‘Ya Allah, hati ini rasanya pedih mendengar Ibu berkata seperti itu. Ingin menjerit tapi nggak mungkin!’ batin Laksmi sembari tetap mengulas senyum walaupun hatinya terasa sangat pedih. “Saya sama Mas Wijaya juga maunya seperti itu, Bu! Ingin seperti orang-orang yang sangat mudah diberi rezeki momongan setelah menikah. Tapi apalah daya kami, Bu? Usaha sudah kami jalani, pergi ke dokter, tanya sama orang yang sudah berpengalaman, juga ke alternatif. Tapi mungkin belum rezeki kami, Bu! Kami bisa apa?” Laksmi menyatakan pembelaannya atas ucapan Nyonya Bestari. “Masih kurang! Banyak-banyak usaha, berdoa! Terus kalau orang tua lagi ngomong mbok ya didengerin! Tuh lihat kakak ipar kamu! Mungkin usaha sama doa dia waktu ingin punya momongan, bener-bener tulus dari dalam hati! Jadi begitu nikah sama mendiang Aga, enam bulan kemudian langsung positif hamil! Sering-sering aja kamu ngobrol sama Hapsari! Coba tanya pengalamannya gimana! Sama-sama perempuan kan enak kalau ngobrol! Soalnya Ibu lihat kamu itu lebih sering diam kalau ketemu sama Hapsari! Padahal Hapsari itu orangnya cepat nyambung kalau diajak ngobrol! Apalagi sekarang, Putra pertama Ibu udah nda ada. Pasti hati Hapsari hancur! Udah punya anak juga, Ibu kasihan sama dia! Mumpung kamu masih di sini, kamu sering-sering aja ajakin dia ngobrol biar dia lupa sama rasa kehilangannya saat ini!” ucap Nyonya Bestari yang selalu berbicara panjang lebar seperti tidak memandang siapa dan kondisinya bagaimana terhadap lawan bicaranya. “Iya, Bu.” Laksmi hanya bisa berpura-pura tersenyum di atas sakit hatinya. “Ya sudah! Ibu mau minum teh dulu! mau menemani Hapsari!” Nyonya Bestari pergi ke ruang keluarga untuk menemani Hapsari. Sedangkan Laksmi dan Mbak Murni masih berjibaku di dalam dapur. ‘Ya Allah, semoga aku kuat dengan keadaan ini. Aku tahu tidak ada siapa pun yang bisa menghindar dari musibah tanpa seizin-Nya. Seperti Mbak Hapsari yang kehilangan Mas Adiwilaga. Aku juga paham Mbak Hapsari butuh teman biar dia bisa sedikit melupakan rasa kehilangannya. Tapi melihat sikap Ibu yang sepertinya lebih menyayangi Mbak Hapsari ketimbang aku, ada rasa cemburu dan aku takut kalau Mbak Hapsari jadi maduku!’ ucap Laksmi di dalam hatinya sembari terus memikirkan ucapan mertuanya. *** Senja hari itu benar-benar mengingatkan Hapsari pada mendiang suaminya yang meninggalkannya hampir 40 hari. Semburat jingga kemerahan tampak merona di ufuk barat. Hapsari berdiri di balik jendela sembari menikmati kabut yang terasa menembus pori-porinya setelah wilayah itu diguyur hujan lebat. Hapsari terkesiap dari lamunannya ketika dia mendapati adik iparnya—Adiwijaya menyapanya. “Mbak Sari?” Adiwijaya menyapa kakak iparnya karena dia takut kalau Hapsari dibiarkan melamun akan mengganggu kesehatan mentalnya. “Wijaya?” Hapsari dengan ramah mengulas senyum pada adik iparnya itu. “Mbak Sari kelihatannya melamun?” Adiwijaya memang tipe orang yang peduli, peka, dan selalu memperhatikan orang lain. “Nggak melamun, kokSebenarnya aku masih sulit untuk mengikhlaskan segalanya. Tapi aku berusaha mencoba demi masa depan Gendis. Entahlah aku bisa kuat atau tidak,” ucap Hapsari masih merasa gelisah memikirkan mendiang suaminya. “Tapi kalau Mbak Sari lebih banyak melamun, aku takut Mbak Sari susah untuk mengikhlaskan.” Adiwijaya merasa khawatir kalau sampai Hapsari depresi. “Aku bukan wanita tegar! Bahkan sampai saat ini aku belum bisa memberikan permintaan terakhir Mas Aga! Kamu bayangkan saja! Rasanya itu berat! Orang yang biasa menemaniku susah senang bareng, sekarang aku harus menjalani hidup tanpa dia.” Hapsari kembali terlihat murung. “aku ngerti, Mbak! Lebih baik Mbak Sari menghabiskan waktu bersama gendis! Sebagai pelipur lara sepeninggal mas Aga!” Adiwijaya berusaha agar Hapsari tidak terbawa arus suasana yang justru membuatnya semakin terpuruk. Mendengar apa yang dikatakan oleh Adiwijaya, Hapsari hanya menatapnya dan seakan tidak memedulikan ucapan Adiwijaya. Hapsari kembali menatap ke arah langit senja. Ternyata percakapan itu tidak sengaja diketahui oleh Laksmi. Hatinya semakin carut-marut. Dilanda cemburu dan juga rasa takut kehilangan. Semua terasa lebih rumit daripada sebelumnya. Laksmi hanya takut Hapsari menggantikan posisinya untuk Adiwijaya. ‘Semakin hari aku melihat kedekatan Mas Wijaya dengan Mbak Hapsari, membuat aku semakin takut kalau iparku jadi maduku!’ ucap Laksmi dalam hatinya yang tidak sengaja memergoki kedekatan mereka dari balik dinding.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD