Berakhir

1087 Words
Sayang, aku tahu kamu menghindar, aku gak tahu kenapa, tapi aku mulai capek, angkat teleponku, kalau enggak aku akan kasih tahu semua keluarga kamu tentang hubungan kita. Livia menggenggam erat ponselnya saat pesan ancaman itu muncul dari Nathan, pria itu bahkan mengirimkan foto butik Luna padanya seolah dia akan segera melakukan niatnya tersebut. Tak berapa lama terlihat nama Nathan kembali di layar hingga Livia terpaksa menerima panggilan tersebut. "Hallo, Sayang." terdengar helaan nafas lega dari seberang sana. "Kamu kemana aja, hah? Sumpah aku khawatir banget." Livia belum juga bersuara hingga Nathan kembali tertanya, "Kamu baik- baik aja, kan?" "Via," panggilnya lagi. Livia memejamkan matanya lalu menghela nafas "Kita ketemu di Resto And Cafe." Livia menyebutkan nama salah satu restoran, setelah itu dia mematikan panggilan tersebut. Livia turun dari kamarnya dengan tas kecil yang dia sampirkan di bahu, saat tiba di lantai satu dia melihat Nadhira baru saja memasuki rumah. "Mbak baru pulang?" Nadhira mengangguk "Kamu mau pergi?" "Iya, aku ada janji sama temen." "Siapa?" Nadhira mengerutkan keningnya, "Maaf, bukan maksud Mbak ikut campur tapi, Mbak jelas harus tahu kamu bergaul sama siapa aja." "Sama temen pramugari ku, Mbak." meski merasa bersalah, namun, jelas Livia tak mungkin berkata dia akan bertemu Nathan. Nadhira mengangguk. "Ya udah, hati- hati." Livia akan pergi, namun suara Nadhira kembali menghentikannya. "Mbak mau minta maaf, karena kesalahan pahaman itu Mbak marah dan mungkin berlebihan." Livia menundukkan wajahnya "Tapi, Mbak cuma gak mau keluarga kita jadi berantakan-" "Aku ngerti kok, Mbak." Livia menghentikan ucapan Nadhira "Lagipula wajar Mbak melakukan itu, gimana pun Luna anak Mbak." "Bukan gitu, Via." Nadhira jadi merasa bersalah sekarang. "Aku gak papa Mbak." Livia tersenyum sebisa mungkin dia menyembunyikan kesakitannya, setiap perkataan Nadhira kemarin begitu menusuknya, namun dia juga tak bisa membantah sebab itu memang terjadi, dan ya ... karena kesalahan Mamanya Nadhira kehilangan anak pertamanya, kehilangan ayahnya bahkan rumah tangganya dengan suami pertamanya hancur berantakan. Nadhira menghela nafasnya "Tapi, kamu beneran gak ada perasaan apapun sama Nathan?" Apa itu penting? Livia bergumam dalam hati. Yang penting hanyalah kebahagiaan Luna, apapun yang terjadi. Livia menggeleng, Nadhira nampak tersenyum "Bagus deh itu artinya perjodohan akan segera di lakukan, karena dari yang Mbak lihat, Nathan juga mulai mendekati Luna." Livia mengerutkan keningnya lalu tersenyum samar "Oh, bagus kalau gitu." Nadhira mengangguk "Iya, Nathan sampai sengaja datang ke kantor Luna tadi." Degh... Jadi ucapan Nathan bukan hanya sekedar ancaman untuknya. "Wa-h bagus dong, mereka ngapain aja?" "Ya, Mbak gak tahu, Mbak kan juga harus memberi privasi untuk mereka, jadi Mbak pergi duluan, tapi Nathan bilang dia bawa makan siang buat Luna." Nadhira meneliti wajah Livia yang nampak murung sesaat, lalu kembali tersenyum. "Ya udah Mbak, aku pergi dulu temenku pasti nunggu." Nadhira mengangguk lalu membiarkan Livia pergi "Kamu bohong sama Mbak, Via." Livia memang pintar memainkan raut wajah, namun Nadira bisa tahu kapan gadis itu berbohong, meski tanda kecil, Nadhira menemukan kegugupan dalam wajah itu. "Apapun yang kamu lakukan, Mbak akan mengawasi kamu." tentu saja Nadhira tak ingin membuat kesalahan terjadi pada masa depan putrinya, Luna. Livia menghela nafasnya saat memarkirkan mobilnya di depan Resto And Cafe yang mereka sepakati untuk bertemu, Livia melihat sekiranya lalu memasuki ruangan yang sudah dia pesan lewat ponsel, dia akan menunggu Nathan di dalam, namun saat masuk pelayan mengarahkannya untuk segera masuk, dan ternyata Nathan sudah datang lebih dulu. "Sayang." Livia tak bisa mengelak saat Nathan memeluknya, pria itu mendekapnya erat. Tak bisa Livia ingkari jika dia juga begitu merindukan Nathan, dia ingin menikmati pelukan hangat ini setiap hari bahkan setiap waktu, namun dia tak bisa lagi melakukannya. Livia memejamkan matanya, tangannya melingkar di punggung Nathan 'Terakhir kalinya' bisiknya dalam hati. Livia menelan ludah saat merasa hatinya tak rela, namun dia juga tak bisa terus membiarkan Nathan mengharapkannya. Livia mendorong bahu itu pelan lalu menghela nafasnya "Kamu kemana aja, aku khawatir banget, aku takut tante Nadhira marahin kamu, kamu baik- baik aja?" Nathan memberondongnya dengan pertanyaan. Livia mengangguk. "Terus kenapa kamu menghindar dari aku? Kamu tahu aku hampir gila rasanya." Livia tersenyum "Aku gak papa, aku cuma lagi berpikir aja." Livia mendudukan dirinya di kursi. "Apa? Kamu punya masalah? Kasih tahu aku." Nathan menggenggam tangan Livia, hingga Livia melepaskannya membuat Nathan semakin bingung. Saat ini pelayan mengantar makanan hingga mereka menghentikan pembicaraan. "Oke, kita bahas ini nanti, kita makan dulu." Livia masih diam dengan menunduk hingga dia mendongak dan menatap Nathan yang sibuk menuang makanan ke piring Livia. Nathan tersenyum "Kenapa?" "Aku gak bisa bohong lagi, Nath." Livia mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja. "Kenapa sih?" Nathan bisa melihat wajah Livia yang terlihat menyimpan rasa bersalah, perasaan khawatir tiba-tiba menyerangnya, namun dia melanjutkan kegiatannya memasukan satu persatu makanan ke piring Livia, hingga suara Livia kembali terdengar. "Maafin aku, selama ini aku gak mencintai kamu." tangan Nathan berhenti di udara. Hening, hingga sendok di tangan Nathan terjatuh "Maaf, aku beresin." Nathan tersenyum, bersikap seolah dia tak mendengar ucapan Livia, namun Livia ingin ini segera berakhir sebab hatinya merasa sakit. "Selama ini aku mencintai pria lain." "Kamu ngomong apa, sih, Sayang?" Nathan merapikan sendok dan lauk yang terjatuh tadi, hatinya tak karuan. "Aku tahu kamu denger, selama ini aku cuma kasihan." Nathan mengepalkan tangannya "Enggak!" Livia bergeming dengan wajah datar "Maafin aku, aku ingin segera lepas dari hubungan ini, hatiku tersiksa." "Via-" Nathan tercekat "Kamu bohong?" "Ya, aku selama ini cuma kasihan karena kamu tak menyerah mengejarku." Ya, Nathan memang mengejarnya bahkan sejak pertama kali mereka bertemu, pria itu terus mengejarnya hingga dia luluh dan mereka pun menjalin hubungan beberapa tahun terakhir, meski tanpa sepengetahuan orang lain. "Tapi, aku tertekan.." "Enggak, berhenti!" Nathan menekankan kata- katanya. "Kamu tahu kenapa aku suruh kamu ajak Luna jalan- jalan kemarin, aku mau kamu dekat dengannya, biar kita bisa putus." "Aku bilang berhenti Via!" Nathan sungguh tak terima dengan apa yang baru saja di dengarnya. "Kamu gak begitu, please." Nathan menggenggam tangan Liva, matanya menatap penuh cinta "Kamu mencintai aku ..." Livia kembali melepas tangan Nathan, sungguh hatinya terasa hancur, dia ingin segera pergi dan menangis sekencang- kencangnya. "Biarin semuanya berakhir, dan aku bisa bersama pria yang aku cintai." Livia bangkit meninggalkan Nathan yang masih tertegun. Hingga pintu ruangan privat itu tertutup Nathan tersadar dan segera mengejar Livia, Nathan berlari keluar restoran hingga matanya melihat mobil Livia menjauh "Akh, sial!" teriaknya dengan mengusap wajahnya kasar. Livia memacu mobilnya sedikit kencang hingga dia melewati jalanan sepi, dan menghentikan mobilnya begitu saja. Livia menelungkupkan wajahnya di bundaran setir lalu bahunya berguncang, tangisnya perlahan mengencang dan terisak semakin lama semakin kencang seiring sesak di dadanya yang kian menyakiti. "Maafin aku Nath, aku cinta kamu, maaf."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD