Menghindar

1079 Words
Livia meringkuk di ranjang setelah Luna meninggalkan kamarnya. Menutup mata meski isak tangis tak dapat dia sembunyikan, bibirnya bergetar karena tangis, dari matanya yang memejam itu air terus mengalir membuat semakin lama dadanya semakin sesak. Nathan tak berhenti menghubunginya, namun Livia juga tak bisa menerima panggilan tersebut, sebab dia masih takut membuat Nathan sedih karena keputusan yang sudah dia ambil. Livia terus memejam berharap alam mimpi dapat menjemputnya, hingga beberapa saat kemudian Isak tangis itu tak lagi terdengar, menyisakan dengkuran dengan nafas yang sesekali tersengal efek tangis yang sejak tadi menyelimutinya. Di pagi hari Livia terbangun dan turun dari kamarnya, dia tersenyum saat melihat Nadhira, Aarav, Luna dan Gio duduk bersama di meja makan. "Pagi semua, maaf aku telat," sapanya dengan ceria. "Pagi," jawab Luna dan Gio. Sementara Nadhira memalingkan wajahnya dan Aarav hanya mengangguk. "Via, kamu liburan mau kemana?" tanya Luna saat Livia mendudukkan dirinya di meja makan. "Aku gak kemana- mana, dua hari di rumah, soalnya lusa mau berangkat lagi," ucapnya dengan wajah yang masih penuh senyum. Susah payah Livia menyembunyikan kesedihannya, dia bahkan harus menutupi mata bengkaknya karena terlalu banyak menangis dengan mengompreskan sendok dingin ke matanya, dan itulah alasannya kenapa Livia datang terlambat ke meja makan. "Bukannya liburannya biasanya dua minggu? Atau seenggaknya satu minggu? Kok lusa?" Livia tersenyum mendengar percakapan Luna. "Iya, sih. Tapi kebetulan ada temenku yang sakit, jadi aku gantiin dia." Luna mendesah kecewa "Aku pikir kamu bisa temenin aku ke Paris untuk persiapan peragaan busana disana." "Maaf ya, lain kali deh." "Tapi ini spesial loh buat aku." Luna memelas. "Luna makan dengan tenang, jangan bicara terus!" Nadhira menyerukan kekesalannya, tetap saja melihat Livia yang seolah tak terjadi apapun dia merasa kesal. "Maaf, Ma." Luna menunduk. "Dan kamu Livia, setelah makan, ikut Mbak ke kamar!" Livia mengangguk sementara Luna mengerutkan keningnya "Mama mau bicara apa sana Via?" tanya Luna, tentu saja mengingat masalah semalam Luna takut Nadhira kembali salah paham. "Bukan apa- apa, dan bukan urusan kamu." "Ma, Mama jangan marah sama Via lagi, kemarin Mama cuma salah paham." bela Luna lagi. Nadhira menatap Luna dengan tegas "Mama bilang ini bukan urusan kamu!" Luna menatap Nadhira dengan kecewa lalu beranjak dari duduknya, "Luna, abisin makan kamu!" Nadhira semakin kesal sebab Luna terus membantahnya, gadis itu bahkan pergi tanpa menyentuh makanannya. "Lihat, ini pengaruh kamu?" Livia mendongak saat Nadhira menuduhnya. "Sayang, sudah." Aarav menarik Nadhira agar kembali duduk, lalu dia menatap Gio, putranya yang sejak tadi hanya diam "Gio, bujuk Kakak kamu buat makan lagi!" "Ish, ngerepotin aja." Meski menggerutu pria berkemeja navi itu memacu langkahnya ke kamar Luna, sebenarnya dia tahu itu hanya pengalihan Aarav saja agar dia tak perlu tahu urusan mereka. "Livia, Mas mau tanya sama kamu." Aarav menatap Livia dengan pancaran sayang, bagaimana pun anak gadis di depannya ini sudah hidup bersama mereka selama hampir 20 tahun. Livia yang sejak tadi menunduk menegakkan wajahnya seolah dia bersiap dengan pertanyaan Aarav. "Sebenarnya gimana perasaan kamu sama Nathan?" Livia menatap Nadhira sesaat dan merasa miris saat Nadhira tak mau melihat ke arahnya. "Aku gak memiliki perasaan apapun sama Nathan, Mas." hati Livia serasa tertusuk ribuan pisau saat dusta itu keluar dari mulutnya. Sungguh dia begitu mencintai Nathan. "Terus ngapain kalian ciuman kemarin?" Nadhira angkat suara. "Mbak salah paham aja, dan maaf aku gak tahu Luna suka Nathan, jadi, mulai sekarang aku janji, bakalan menjaga jarak dari Nathan." Nadhira menatap Livia, saat yakin jika Livia tak menyembunyikan apapun Nadhira menghela nafas. "Mbak harap kamu gak bohong." Livia mengangguk. Tanpa Nadhira tahu Livia terlalu pintar menyembunyikan kesakitannya dalam hati "Maafin aku, Mbak." Livia menunduk. "Mbak minta maaf, sudah menampar kamu, Mbak cuma takut..." "Aku tahu Mbak benci sama wanita yang menghancurkan hubungan orang lain, jadi wajar kalau Mbak salah paham, Mbak gak salah." Livia mengangguk, karena sejak awal dirinya yang salah. "Kalau gitu aku ke atas dulu, Mbak, Mas. Aku mau siapin keberangkatan aku Lusa, kalau gak siap- siap takutnya ada yang ketinggalan." Livia tersenyum dan meninggalkan meja makan. Nadhira menghela nafas lega, sementara Aarav masih menatap kepergian Livia, hingga gadis itu tak terlihat lagi barulah dia tersenyum menatap Nadhira "Jangan terlalu khawatir." "Aku cuma takut, Mas. Aku gak mau ketenangan keluargaku berubah kacau." Aarav menggenggam tangan Nadhira dan mengelusnya lembut. Livia memasuki kamarnya dan menatap kopernya yang masih utuh bahkan belum di buka sama sekali sejak datang, lalu dia membukanya untuk mengeluarkannya satu persatu dan menggantinya dengan yang baru sebab dia akan kembali bekerja. Sebenarnya masih ada waktu satu minggu ke depan, namun tadi pagi Livia memilih meminta jadwal lebih awal sebab dia juga tak tahu apa yang akan dia lakukan jika dirumah, terlebih dia ingin mengindar dari Nathan dan belum siap jika harus menjelaskan tentang apa yang terjadi, jadi Livia ingin menenangkan hatinya sebelum menghadapi kenyataan hidupnya yang tak akan seperti mimpinya pada awalnya. *** Luna mencebik saat Gio masih duduk di tepi ranjang dengan memainkan ponselnya "Ngapain sih kamu kesini?" "Disuruh Papa, katanya Kakak harus makan." Luna mengerutkan keningnya "Dari tadi kamu gak ada ngomong gitu?" "Ya, karena aku tahu kalau Papa lagi suruh aku biar Kakak gak kesana dulu." Luna melipat tangannya di d**a memicingkan matanya lalu meraih tasnya dengan kasar "Terserah aku mau kerja," ucapnya dengan segera pergi. Gio berdecak lalu mengikuti langkah Luna, dia juga harus pergi kuliah, jadi dia mengikuti langkah Luna keluar kamar. "Pak Sapto, mobilku mana!" Luna mengeluarkan seruannya pada supir yang sedang membersihkan sebuah mobil. Gio yang ada di belakangnya berdecak "Kamu manja Kak, tinggal ambil aja kenapa sih." Gio berjalan ke arah garasi lalu membawa mobilnya, sementara mobil Luna di bawakan supir dan membuka pintu untuknya di kursi kemudi "Makasih, Pak Sapto," ucap Luna ramah, "Sama- sama Non." lalu dia mulai melajukan mobilnya. **** Pintu kamar Livia terketuk hingga dia bergerak untuk membukanya "Ada apa Bi?" tanyanya saat melihat pelayan di depannya. "Non, ada yang cari," ucapnya dengan sopan. "Siapa?" "Mas Nathan." Livia menegang. "Bibi bisa bilang aku gak ada." Livia belum siap untuk bertemu Nathan. "Lah, gimana dong Non, orangnya udah bibi suruh masuk." Livia meremas tangannya gugup "Bilang aja aku pergi sama Luna." "Iya deh, Non." pelayan tersebut pergi, sementara Livia memilih kembali menutup pintu, dan melihat dari jendela. Benar saja disana terlihat mobil Nathan, pria itu mengenakan jas lengkap mungkin karena dia juga ingin pergi bekerja. Livia menatap punggung Nathan yang terlihat lesu saat pria itu akan memasuki mobilnya, Livia menyentuh jendela kamarnya, dimana dia melihat Nathan, seolah sedang menyentuh punggung itu, lalu meneteskan air matanya "Maafin aku, aku pasti akan menyakiti kamu, nanti. Tapi aku harap kamu mengerti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD